Sabtu, 31 Desember 2016 | By: SahabatRiau

"Tahun Baru"

Pagi ini sudah bukan 2016 lagi. Tidak ada yang berubah dari hari sebelumnya. Namun penanggalan masehi telah mendefinisikan hari ini adalah hari pertama ditahun 2017. Pertukaran itu sesungguhnya sederhana, hanya sebuah proses kodifikasi perjalanan dimensi waktu belaka.

Tidak ada yang baru kecuali kebaruan yang diciptakan. Pergantian tahun itu jangan dianggap sebagai satu magis yang merubah segalanya dengan aleh-aleh. Tidak, perubahan ada pada keinginan untuk berubah. Dengan bekal pengetahuan dan pengalaman masa lampau perubahan sudah cukup untuk direncanakan. Perubahan yang sesungguhnya adalah ketika perencanaan akan perubahan itu dilaksanakan dengan konsisten yang dabaringi semangat dan kekuatan.

Tahun baru adalah transformasi. Peningkatan mutu perjalanan sang musyafir, pada destinasi kehidupan. Tidak ada yang berhenti keculai dia diberhentikan oleh sang pemilik kehidupan melalui sebuah panggilan kematian. Kematian adalah keniscayaan, sehingga ianya merupakan akhir dari perjalanan panjang kehidupan. Kualitas pengembaraan ditentukan sejauhmana  perjalanan kehidupan berisi perbuatan-perbuatan baik, sehingga mereka yg memiliki kualitas perjalanan yang baik pasti mendapat kebahgian serta segala pembalasan yang baik disisi Allah SWT.

Begitu pula sebaliknya azab dan hukuman Allah SWT juga merupakan keniscayaan. Yakni bagi mereka yang lalai terlena dengan kehidupan. Bahkan mereka lebih bersedia menjadi budak hawa nafsu dan kehidupan. Waktu tidak berjalan terbalik namun bagi golongan ini mereka melakukan perubahan terbalik. Mereka melakukan pemujaan terhadap Dunia dan berharap kekal didalamnya.  Komunitas ini menjadikan tahun baru sebagai penanda yang penting untuk kehidupan yang lebih baik ditahun berikutnya. Tanpa kesyukuran dan penyesalan atas nikmat waktu yang sudah begitu banyak dibuang secara percuma ditahun sebelumnya. Mereka berpesta pora menyambutnya seakan ingin mengatakan "kami akan menyambung kelalaian dan kemaksiatan ini ditahun depan".

Saya tidak mungkin menisbahkan perayaan tahun baru dengan agama tauhid manapun. Karena tidak ada ritual yang dapat kita sandingkan dengannya. Ritual tahun baru yang terkesan pesta pora dan bahkan membebaskan segalanya yang diikat oleh agama itu, tentu merupakan ritual yang bertentangan dengan agama manapun, karena bukan agama namanya jika dia menganjurkan keburukan kepada ummatnya.

Namun bagaimana pun berubahan adalah satu keniscayaaan. Bahwa waktu adalah dimensi yang sangat kejam, karena kita tidak mungkin menjumpainya pada kali yang kedua. Detik demi detik adalah otoritasnya, tinggal apakah kita mau menyia-nyiakan kehadirannya terpulang pada diri masing-masing. Maka tidak ada kebaikan yang sempurna, kecuali kita berusaha terut menyempurnakan kebaikan itu dalam rentang waktu yang berjalan laju itu.

Cendrawasih, Pekanbaru 1/1/17


Jumat, 30 Desember 2016 | By: SahabatRiau

Nama, Karya dan " Sang Pendusta"

Meskipun sering diungkapkan, apalah arti sebuah nama. Namun kenyataannya manusia perlu dengan pengakuan. Pertanyaannya adalah kepada siapa pengakuan itu diberikan dan siapa-siapa pula yang mengakuinya akan sulit ditentukan bila nama tidak ada artinya. Biasanya muncul istilah si Anu, untuk nama yg tidak dikenal itu.

Nama merupakan entitas simbolik atas sebuah diri. Sehingga nama selalu melekat dengan sang pemilik nama tersebut. Dengan demikian, nama bukanlah sebatas pembeda seorang dengan orang lainnya. Meskipun ada nama yang sama. Namun nama seseorang selalu unik. Dan keunikan ini hanya dirasakan oleh sang pemilik nama tersehut.

Wajar bila Islam mengajarkan pentingnya tugas orang tua untuk memberikan nama kepada anaknya. Nama adalah doa, sehingga nama perlu baik, supaya kehidupan menjadi baik. Namun itu bukan berarti kebaikan akan datang begitu saja kepada mereka yang memiliki nama yang baik. 

Perlu proses dan perjuangan seseorang untuk menjadi sukses, apa lagi menjadi terkenal dengan berbagai prestasi atau keunggulan (punya nama). Inilah yang disebut dengan pengakuan. Pengakuan sangat diperlukan dalam sistem sosial mana pun. Pada masyarakat normal pengakuan diberikan kepada mereka yang memiliki prestasi atau kelebihan (suprioritas). Dalam konteks struk fungsional pengakuan itu diwujudkan dalam bentuk penghargaan. Lebih jauh dari itu struktural simbolik bahkan mengaktulisasikannya melalui simbol-simbol tertentu, bahkan simbol-simbol itu memiliki pengaruh tertentu bagi masyarakat.

Namun apa yang menarik adalah disaat dunia mengeliaat dalam sistem komunikasi dan informasi yang memuncak, terjadi kegalauan dalam menterjemahkan simbol-simbol yang ada dalam masyarakat terutama pada masyarakat alam maya. Kini simbol lebih berfungsi sebagai alat pencintaraan dan Pengesanan. 

Akibatnya terjadilah perebutan-perebutan simbol yang secara otomatis meninggalkan makna atau fungsi yang terkandung dalam simbol tersebut. Kini banyak orang yang demam  populeritas, terkenal dan diakui. Maka tidak heran bila dunia maya gegap gumpita dengan postingan status dan publikasi sosial media yang mengumandangkan tentang Aku dan Aku.

Keletihan berproses, terjawab sudah dengan kehadiran sosial media ini. Mereka yang sesungguhnya tidak melakukan apa-apa cukup meposting aktivitas tertentu, atau mengunakan simbol tertentu yang dikuatkan dengan dokumentasinya foto atau video, sudah cukup  untuk menyampaikan kepada khalayak,tentang siapa dia dan seperti apa seharusnya dia diposisikan dan diakui oleh masyarakatnya. Memang bukan berati tidak ada hal yang sesungguhnya disana. Namun wajah-wajah pencitraan jauh lebih unggul dari pada fakta yang sesungguhnya.

Cari nama tanpa karya, merupakan fenomena yang ada pada masyarakat kita. Bukan tanpa resiko, mereka yang melakukannya selalu harus siap dengan seperangkat kebohongan demi kebohongan untuk menutupi apa yang di kesankannya. Sehingga boleh jadi sepanjang hayatnya akan selalu bergandengan dengan kebohongan demi kebohongan. Padahal, hukum masyarakat sudah siap didepan mata, tinggal menunggu kapan kebohongan itu terbongkar dan sang pencitra itupun  akan disebut sebagai."Sang pendusta".

Roro Begkalis-Pakning 30/12/16


Selasa, 27 Desember 2016 | By: SahabatRiau

Karakter

Karakter terlihat dari apa yang biasanya ditampilkan seseorang. Karakter boleh jadi merupakan tabiat yang terlahir dari amalan, atau mungkin saja apa yang dikesankan. Sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang kita sebut dengan amalan. Sehingga dari amalan itu pasti melahirkan tabiat yang dapat kita sebut juga dengan karakter.

Berbeda dengan amalan yang berproses menuju kepada karakter, pencitraan pula lebih kepada apa yang seharusnya ditampilkan. Karakter yang terlahir dari pencitraan pasti brsifat sementara dan semu. Orang dapat saja mencitrakan sebagai orang baik meskipun sesungguhnya dia adalah seorang yang buruk. Topeng karakter dari sebuah pencitraan ini mirip dengan lakonan.

Sebuah lakonan memerlukan skario serta didukung oleh setingan dan sutradara. Instrumen-instrumen itu sangat diperlukan sehingga sebuah karekter akan tampil dengan pasti tanpa ada keraguan. Tidak ada karakter yang berdiri sendiri. Karena bila sebuah karakter itu tidak mendapat apresiasi dari lingkungannya maka ianya akan tertolak dan sang pemilik karakter akan teralinasi, karena sesungguhnya masyarakat itu adalah pemaksa dan sistem adalah sesuatu yg harus dipenuhi.

Karakter juga sangat berkaitan dengan peran dan fungsi sosial. Peran dan fungsi seseorang ditengah masyarakatnya menyebabkan dia harus menampilkan apa yang diharapkan masyarakat dari peran dan fungsi itu. Seorang guru misalnya dipaksa harus berkarakter mendidik, karena perannya sebagai insan pendidik dan fungsinya dalam menciptakan manusia terdidik.

Pertanyaannya adalah apakah peran dan fungsi sosial itu yang melahirkan karakter atau sebaliknya karakter yang menentukan apakah sebuah fungsi sosial itu akan berjalan baik, persis sama dengan pertanyaan "mana dulu telor atau ayam". Karena boleh jadi seseorang yang memiliki karakter pendidik, berusaha mendapatkan pekerjaan menjadi guru. Atau mungkin saja karena pekerjaannya adalah guru maka dia menjadi berkarakter pendidik.

Karakter sangat diperlukan dalam sistem sosial. Karakter tertentu untuk peran tertentu. Karakter yang dibuat-buat pasti tidak akan bertahan lama dalam sebuah peran yang dimainkan, karena jika dia tidak  merasa teralinasi dalam lingkungannya maka boleh jadi dia akan teralinasi dengan dirinya sendiri. Kondisi teralinasi itu sangat tidak membahgiakan. Transisi panjang yang pada gilirannya menyebabkan kondisi yang anomali. Sesuatu yang mungkin adalah muncualanya prustasi dan kegelisahan yang tidak berujung.

Karakter adalah kehidupan, tentang wajah hidup dan kehidupan kita. Musuh terbesarnya adalah kebohongan dan kepura-puraan. Pencitraan, tidak selamanya buruk. Namun pencitraan yang dibaringi oleh kebohongan dan kepura-puraan adalah kejahatan yang pada akhirnya menggeser keseimbangan sosial. Kondisi itu akan membawa kepada konflik, sehingga diperlukan keseimbangan baru yang sudah pasti memerlukan waktu panjang dalam perjalanan transisi yang mencekam.

Kakap,
28/12/2016
Kamis, 15 Desember 2016 | By: SahabatRiau

Logika Alakadar

Perkuliahan hari ini berlangsung dengan pemaparan tugas kelompok mahasiswa tentang perkembangan filsafat Islam. Sebagaimana biasa diskusi filsafat bagi kalangan mahasiswa selalu terasa berat dan tersendat-sendat. Maklum ada persoalan dengan wawasan dan jam terbang membaca.
Minat membaca mahasiwa tidak dapat dipungkiri masih sangat rendah. Sehingga setiap materi diskusi selalu dibahas dengan logika alakadarnya. Dulu kalau yg alakadar itu hanya pada urusan jedah, "jedah alakadarnya". Tapi kini rupanya logikapun sudah jadi alakadar.
Dengan logika alakadar itu para mahasiswa dalam diskusi tersebu mengupas pemikiran skolastik abad pertengahan dan cara berfikir Ibnu Rusdy. ya hasilnya persis seperti kuburan sunyi senyap dan hanya ada gemersik bunyi lembaran kertas yg dibalik balik.
Ruangan jadi mencekam. Lama sekali senyapnya. Tiga pertanyaan sebagai umpan balik, tidak balik-balik. Namun tiba2 muncul jugalah jawaban dari penyaji yg lumayan bagus dalam kondisi alakadar itu.
Namun tetap saja penanya merasa tidak puas dengan jawaban, dan memang setelah diluruskan terlihat bahawa diantara penanya dan penjawab sama2 terjebak dalam alakadar itu.
Menggeser logika yg alakadar menjadi argumentasi yg berlian merupakan sebuah peoses dari pendidikan terutama perguruan tinggi. Untuk itu gemar membaca dan berdiskusi merupakan budaya yang harus terus kita galakan terutama kepada para mahasiswa kita.

tulisan ini pernah dimuat di FB 21 Nov 2016
Selasa, 13 Desember 2016 | By: SahabatRiau

Takicuah di Nan Tarang

Tanpa mengetahui persis bagaimana syairnya, namun lagu berbahasa Minang ini diberi judul "takicuah di nan tarang". Minang Kabau memang meliki segudang kearifan dalam bertutur, sehingga tidak jarang istilah-istilah yang dilantunkan memiliki kedalaman makna. Inilah kekuatan masyarakat dengan kepiawaian penuturan. Sehingga petitih petatah Minang sampai saat ini masih bertahan dalam kehidupan budaya mereka.

Takicuah di nantarang adalah ungkapan untuk mempersonifikasikan sebuah keadaan tertipu dalam keadaan yang tidak mungkin untuk tertipu. Bahkan boleh jadi mereka yang tertipu itu berada dalam sebuah permainan sang penipu. Istilah ini berbeda dengan "tetipu tegak" dalam terminologi Melayu. Tetipu tegak, jelas posisi siapa  menipu  siapa. Takicuah di nan
tarang, memperlihatkan betapa liciknya sang penipu itu.

Sang Penipu mampu menutup mata mereka yang ditipunya, sehingga meraka merasa tidak dalam sebuah tipuan. Bahkan sangking lihainya, mereka yang tertipu tidak sedikitpun mengaitkan segala kesulitan yang dialami dengan sang penipu. Bahkan sebaliknya semua kesulitan akibat tipuan itu dialirkan dengan mendefenisikan sosok baru yang sesungguhnya tidak ada kena-mengena dengan tipu-menipu itu.

Barang kali itu yang menginspirasi dari istilah "takicuh di nan tarang", disaat membaca begitu banyak status dan komentar-komentar dalam jejaring sosial, istilah ini layak untuk diketengahkan. Berapa banyak hari ini mereka yang masih terlelap dalam tidurnya, tengah bermimpi tetang indahnya kebersamaan dan kedamaian disaat setitik demi setitik dan sejengkal demi sejengkal kebebasan dan kedaulatan mereka sedang direnggut dan dikuasai.

Lihatlah, saksikanlah dan rasakan secara nyata, karena fenomena sosial itu bukan tetang filosofis-teoritis namun ianya adalah nyata dan ada dalam hidupan. Boleh saja dia dirumuskan menjadi sebuah konsep atau teori, namun kenyataan adalah kenyataan. Maka sentakkanlah selimut kejumutan itu, lihat kenyataan, darimana kejahatan? Darimana penghianatan bermula? Siapa yang menghabiskan semunya yang nyaris tidak meninggalkan sedikitpun untuk generasi anak cucu kita. Siapa yang meletakan dirinya diatas hukum, sehingga hukum tidak mempan buat mereka.

Alihkan mata penglihatan dari muara ke hulu, bukan dipermukaan tapi didalaman nun jauh didasar sana, maka pasti   akan terlihat mana yang dicitrakan, dan mana yang sesungguhnya. Bangunlah dari tidur mu, tidak ada yang nyaman disana kecuali keterlenaan akibat sebuah keletihan. Letih mengayuh perahu rasionalitas yang senantiasa kalah dengan kenyataan. Letih menatang kebenaran yang ditumpahkan oleh kekuasaan. Letih mengawangi peradaban dan moral yang luluh lantak dimamah media.

Lantas, sudahlah jangan lagi menutupi secercah cahaya yang akan hadir untuk hari esok yang lebih baik. Jangan berkelit kelindan dengan bahasa dan gagasan yang menjulang kelangit. Jika tidak bersama mereka, maka beri laluan kepada mereka untuk membawa cahaya itu. Menghidupkan apa yang selama ini dimatikan. Mengumandangkan apa yang selama ini dibungkam.

Dumai, 13/12/16

Rabu, 07 Desember 2016 | By: SahabatRiau

Hipokrit

foto :http://onetrackmine.com/wp-content/uploads/2015/03/112.jpg
Diujung perkuliahan pengatar filsafat sore ini, sebuah pertanyaan saya lontarkan untuk mencairkan suasana, disaat mahasiswa yang sudah mulai loyo dan tidak sedikit yng mengantuk akibat dikuras oleh wacana-wacana berfikir keras ala filsafat. Dengan nada bertutur agak sedikit bercanda, pertanyaan itu meluncur dengan sederhana. "apakah kalian semua punya akun di facebook". Dengan cepat semua mahasiswa menjawab "punya". terus menyusul pertanyaan ku berikutnya, "apa yang anda harapakan denga menggunakan facebook?"

Pertanyaan  itu dijawab oleh mahasiswa ku dengan jawaban yang beragam, ada yang menjawabnya dengan keinginan untuk dapat informasi,  berkomunikasi, menjalin silaturrahmi, dakwah dan sebagainya, dan hampir semua jawaban mengarah kepada hal-hal yang positif. Mendengar jawaban-jawaban seperti itu, kembali saya  muncul pertanyaan yang menjentak mereka semua, "apa benar begitu?" dengan wajah yang malu-malu, mereka secara jujur bertutur, "tidak juga pak". dengan nada datar saya nyatakan, kita pasti marah jika disebut "munafik", kalau gitu istilahnya kita ganti saja dengan hipokrit.

wujudnya hipokrit nyaris menjadi sesuatu yang mendarah daging dan nyaris selalu ada dimana saja. sehingga kenyataan seperti diatas selalu ada dimana-mana. Selalu saja ketika menyatakan sesuatu dan mengharapkan sesuatu, kita mendapati suasan yang ideal. Namun itu tidak pada tataran kenyataannya. Atau sangat jarang ditemukan satunya kata dengan perbuatan. Nyaris tidak ada masyarakat yang menginginkan keburukan dan ketidak nyamanan. Tapi ketidaknyamanan itu ada dan dilakukan oleh sebagian dari masyarakat itu juga. Mereka yang baik pada tampilan namun buruk pada kenyataan, maka muncul istilah "pencitraan".

Hipokrit adalah kenyataan yang selalu ada didepan mata, disaat menyaksikan pergulatan sosial ditengah masyarakat kita. Bukan tanpa ataran, bukan tanpa budaya, bukan tanpa keyakinan, namun kehadirannya bersifat menyeluruh dan umum. Ketika orang dengan sederhana menyebut kesalahan yang dilakukannya dengan kata silaf. Ketika orang dengan tanpa malu dan masih tersenyum disaat dia sudah dinyatakan dan terbukti bersalah. 

Hipokrit memang punya tempat dimasyarakat kita. Keluar masuk partai politik tidak lagi barang tabu. Ketika mantan narapidana koruptor dengan bangga masih berkecimpung dalam partai politiknya. Ketika para selibriti yang nayata-nyata pernah terkena kasus asusila, masih memiliki pengemar dan malah tenar dimana-mana.

lantas ada apa dengan moral dan akhlak, dimana iya harus diletakan. Apakah dalam bingkai teori pengetahuan belaka, atau hanya tuntunan pribadi-pribadi saja tanpa terkonsespsikan dalam aturan sosial yang mengikat, kemana sangsi sosial, dimana moral bangsa dan bagaimana memulihkannya.
Senin, 28 November 2016 | By: SahabatRiau

Bandar Bakau (bagian 1)

Berada diujung jalan Nelayan Laut kelurahan Pangkalan Sesai Kota Dumai. Kawasan seluas 12 Hetar itu ditumbuhi oleh berbagai jenis Mangrov. Istilah Mangrov sepertinya baru dekade belekangan in dikenal oleh masyarakat dikawasan ini. Karena dulu mereka lebih akrab menyebutnya dengan Bakau, Perepat, Kedabu, Nipah dan sebagainya. Dan kawasan tempat tumbuhnya tubuhan-tumbuhan itu selalu di sebut dengan Baghan. Tempat itu sekarang bernama Bandar Bakau.

Bandar Bakau dikelola oleh sebuah kelompok  Pecinta Alam Bahari (PAB). Kelompok ini dinakhodai oleh seorang figur pejuang lingkungan yang juga pernah berkeliling Indonesia dengan berjalan kaki, yakni Darwis Mohamad Saleh. Sosok sederhana yang selalu mengenakan kaos itu, seakan menyatu dengan kawasan Badar Bakau ini, karene keseharian beliau berada disini dan bermastautin di tempat ini.

Darwis telah merubah kawasan yang dulunya menakutkan, kini menjadi kawasan kunjungan. Sebelumnya, tidak banyak masyarakat  bersahabat dengan hutan Bakau, kecuali para nelayan dan suku-suku terbelakang seperti akit, orang utan dan suku laut. Bagi mereka hutan bakau adalah sumber kehidupan mereka. Namun bagi masyarakat sekitar yang sudah maju hutan bakau jarang dikunjungi karena memang sukar untuk memasuki kawasan ini sebab terdiri dari hamparan lumpur yang ditumbuhi oleh akar-akar kayu yang menonjol, sehingga sangat tidak mungkin untuk memasukinya jika tidak dengan tujuan-tujuan tertentu yang sangat penting. Ditambah lagi biasanya kawasan ini dipersepsikan angker, tempat bermukimnya segala makhluk-makhluk halus, serta yang lebih menakutkan lagi bahwa ditempat ini terdapat sejenis ular dengan ukuran yang kecil dan pendek, yang sangat ditakuti karena bisa nya dapat menyebabkan kematian, ular ini dinamakan "ular bakau".

Pada pertengahan oktober 2016, Tim LP2M IAI Tafaqquh Fiddin Dumai, berkesempatan mewawancarai Saudara Darwis Mohamad Saleh di kediamaannya di kawasan Bandar Bakau. Wawancara seputar PAB dan Bandar Bakau itu juga dihadiri oleh Pak Udin yang juga salah seorang pengurus PAB. Pada kesempatan itu dengan ekspresi yang berat bang Wes, panggilan akrab untuk Darwis Mohammad Saleh. banyak menjelaskan tetang konsidi PAB dan pengelolaan Bandar Bakau saat ini.

Dalam setiap doa, saya selalu berharap kiranya datangkanlah orang-orang yang punya kemampuan untuk mengurus kawasan ini, yakni ikut berfikir.  Saya juga berfikir  namun lebih kepada magrov dan hal-hal lainnya. Sementara bagaimana memodernkan kawasan ini dengan segala manajerialnya memerlukan orang-orang  yang memiliki ketaqwaan kepada Allah SWT, tutur bang Wes. Kesimpulan bang Wes bahwa ketaqwaan menjadi ukuran utama bagi personil pengelola yang dia harapkan untuk Bandar Bakau tentu menarik perhatian.

Sangat beralasan mengapa bang Wes menuturkan persoalan ini. Dengan nada yang meninggi dia sempat menyatakan, "di PAB pengurus tidak semestinya hanya mengambil jabatan. Kalau orientasinya hanya itu, masih banyak  jabatan-jabantan ditempat yang lain memiliki potensi dan bergengsi. Sementara disini kita perlu pengabdian dan kecintaan kepada lingkungan terutama Bandar Bakau ini", tegasnya sambil memandang kearah hamparan pepohonan bakau yang tubuh tersusun rapi.

Bang Wes menegaskan bahwa PAB memiliki arah langkah yang jelas untuk mengembangkan kawasan Bandar Bakau. Namun menurutnya, kelemahan utama PAB ada pada faktor menejerial. selain itu dia juga mengaku memang saat ini ada masaalah dengan penataan personil di kepengurusan PAB. "Saat ini saya mulai tegas dalam penataan personil di PAB", ungkap bang Wes. Dia juga mengakui bahwa manajemen yang berjalan saat ini sangat lemah. Tidak ada standar oprasional pengelolaan, sehingga Dia menyebutnya dengan "manajemen sorang-sorang, atau standar kampung".

Darwis mengharapkan kawasan ini mendapat hibah dari pemerintah pusat menjadi kawasan pengembangan budaya dan konservasi mangrov. Dia menuturkan bahwa menteri kehutanan pada waktu itu Zulkifli Hasan, pernah menyampaikan kepada mereka suapaya pemerintah kota Dumai dapat mengusulkan hibah kawasan ini kepada pemerintah pusat untuk tujuan tersebut.

Secara legalitas dalam pengelolaan Bandar Bakau, Darwis menjelaskan bahwa sampai saat ini mereka telah mengantongi akte notaris dan surat terdaftar dari Kesbangpol kota Dumai. Selain itu mereka juga memiliki dokumen-dokumen penghargaan atas kerja-kerja pengelolaan kawasan Bandar Bakau ini baik dari pemerintah Kota Dumai, provinsi sampailah tingkat nasional.

Bersambung.....






Sabtu, 19 November 2016 | By: SahabatRiau

"Kota Industri itu bernama Dumai"

Dumai, demikianlah kota itu bernama. Tidak ada cerita yang pasti mengapa nama itu diberikan pada kota ini. Namun konon itu disebabkan ada sosok makhluk Jin yang bernama Umai yang membunuh siangkaramurka putra raja Aceh yang ingin mengambil paksa salah satu dari tujuh putri jelita, dengan senjata yang fenomenal yakni buah bakau belukap.

Namun terdapat pula cerita lainnya,  yang menceritakan bahwa penamaan itu berawal dari sebuah pangkalan atau pelabuhan kecil yang berada di Sungai Sembilan. Dimana pelabuhan itu, pemiliknya bernama Umai. Umai selalu dipanggil masyarakat disana dengan De Umai. De adalah panggilan Melayu, yang awalnya adalah Ude atau Abang. Sehingga sangking seringnya pangkalan itu disebut De Umai maka lambat laun berubah menjadi Dumai.

Namun yang meraik adalah ketika memperkenalkan Dumai kepada orang yang belum pernah berkunjung ke kota ini. Biasanya, mereka selalu memplesetkan Dumai dengan "Dunia Maya" dan ada pula yang menyamakannya dengan "Dubai". Tidak ada masalah dengan plesetan tersebut karena bernilai positif . Ketika Dumai diplesetkan dengan dunia maya, ada harapan akan peningkatan kiranya kota ini disuatu masa nanti menjadi  cyber city. Begitu juga ketika dia diplesetkan dengan Dubai, diharapkan dimasa depan kota ini akan berkembang peset setara dengan perkembangan kota Dubai yang berada di Timur Tengah saat ini.

Sebagai sebuah kota yang berada di bagian pinggang pulau Sumatera, posisi kota ini sangat strategis berhadapan langsung dengan selat Melaka. Dimana Selat ini merupakan selat dengan kepadatan pelayaran perniagaan dunia. Dengan letaknya yang strategis itu, Dumai berkembang sebagai kawasan pelabuhan, industri dan perdagangan. Terdapat banyak pelabuhan di kota ini baik yang dikelola oleh PT. Pelindo, pelabuhan khusus serta pelabuhan rakyat. Demikian juga dengan industri, telah berdiri industri pengolahan  seperti bahan bakar minyak oleh PT Pertamina, pengolahan crude palm oil (CPO) serta pengolahan lainnya.

Kehadiran industri-industri itu telah merubah kota ini. Berawal dari sebuah kampung nelayan dengan penduduk asli Melayu yang beragama Islam, kini Dumai menjadi sebuah kota yang heterogen. terdapat berbagai suku dan agama yang hidup di kota ini. Selain suku Melayu, di kota ini juga terdapat suku Minang, Batak, Jawa, Bugis, Banjar, Madura serta suku-suku lainnya, serta juga tidak sedikit terdapat masyarakat China. Demikian pula dengan agama, selain Islam sebagai agama mayoritas, di kota ini juga terdapat agama Kristen, Katolik, Budha dan Hindu. Kepelbagain itu disebabkan oleh proses migrasi penduduk akibat daya tarik industri yang berkembang di kota ini.

Kehadiran industri di kota Dumai bukan saja berdampak pada heterogenitas penduk. Namun lebih jauh dari itu, industri di kota Duma juga menyebabkan pergeseran-pergesran dalam sosio budaya masyarakatnya. Struktur masyarak buruh pabrik, pelabuhan dan pengangkutan, merupakan struktur dominan masyarakat. Sementara para pemilik modal serta petinggi perusahaan berada di Jakarta, Medan bahkan Singapura, Malaysia dan kota-kota besar lainnya.  Dengan demikian kota ini lebih dominan diwarnai oleh budaya dan psikologi buruh.

Dengan struktur sosial semacam itu menyebabkan perkembangan kota ini menjadi lamban dari sisi kebudayaan dan peradaban. Kemajuan peradaban dan budaya selalu diplopori oleh masyarakat lokal, dengan identitas budaya Melayu dan Tamaddun Islam. Namun malangnya pada kesempatan yang sama masyarakat lokal selalu kalah dengan persaingan ekonomi, sehingga sumberdaya ekonomi tidak dapat mereka kuasai, bahkan akibat keterpaksaan hidup, kini banyak aset-aset masyarakat lokal yang sudah berpindah tangan terutama pada pemilikan tanah dan properti.

Bagi masyarakat lokal perkembangan ekonomi kota Dumai tidak membahagiakan. Keadaan itu direspon secara sadar oleh masyarakat,  bahkan pemerintah kota Dumai  melalui perda kota Dumai nomor 10 tahun 2004 tentang porsi tenaga kerja lokal dan luar yakni berbanding 70 : 30, tujuh puluh persen untuk tempatan dan tiga puluh persen untuk tenaga kerja luar yang bekerja di kota Dumai. Perda itu tidak pernah terrealisasi. Namun ia menjadi saksi  bahwa ekonomi kota ini tidak berada ditangan masyarakatnya. Sehingga untuk menjadi pekerja pada industri yang ada ditempat mereka harus mengemis dan perlu dorongan politis lokal melalui perda tersebut.

Sabtu, 20 Agustus 2016 | By: SahabatRiau

Negara Bangsa : Sebuah Kontemplasi 71 tahun Kemerdekaan Republik Indonesia

Bagian 2 

Sejarah negara bagsa selalu mencatat tentang gerakan-gerakan heroic yang dilakukan menjelang kelahiran satu negara bangsa, hal ini didefinisikan dengan perjuangan kemerdekaan. Konsep perjuangan  selanjutnya berkonstribusi pula pada apa yang disebut dengan “pahlawan”. Seorang pahlawan selalu dikaitkan dengan segala upaya yang mereka lakukan untuk tegaknya perubahan menuju kepada tatanan baru yakni “negara bangsa”. Artinya para pahlawan kemerdekaan itu adalah orang-orang yang berbeda dengan zamannya. Mereka bukanlah orang yang hidup nyaman dengan keadaan dimasa mereka, meskipun merka memiliki kemungkinan untuk dapat menikmati kehidupan yang nyaman dimasa itu. Seorang pahlawan seharusnya merupakan orang yang aneh dimasanya, yakni orang-orang yang tidak berdamai dengan relitas.

Indonesia adalah sebuah negara bangsa yang diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta pada17 Agustus 1945. Negara bangsa ini sangat sempurna, dengan tanah air yang satu, bangsa yang satu dan bahasa yang satu. Inilah yang membedakan dengan bangsa-bangsa lainya di dunia. Ada negara dengan banyak bangsa, ada bangsa yang tidak memiliki negara. Indonesia telah digagas oleh para founding father kita pada tahun 1945 sebagi negara dengan konsep kesatuan dan penyatuan. Dalam konteks kepelbagaian budaya maka muncul semangat “bhinneka tunggal ika”.

Tegaknya Indonesia sebgai sebuah negara bangsa, setelah melalui sejarah panjang penjajahan. Selama tiga ratus lima puluh tahun Indonesia dijajah oleh Belanda. Bila Ibnu Khaldun membuat pengalan satu generasi itu adalah 40 tahun, maka dapat dikatakan penjajahan itu terjadi selama sembilan generasi. Sangat masuk akal bila kondisi keterjajahan itu dianggap sebagai sebuah suratan takdir, namun tidak bagi mereka yang selalu menginginkan perubahan maka sepantasnyalah mereka disebut sebagai “pahlawan”. 
Kamis, 18 Agustus 2016 | By: SahabatRiau

Negara Bangsa : Sebuah Kontemplasi 71 tahun Kemerdekaan Republik Indonesia

(Bagian 1)

Perubahsan sosial merupakan sebuah teori dalam sisiologi yang untuk pertama kalinya dikemukakan oleh Ibnu Khaldun. Konsep ini menjelaskan hasil pengamatannya terhadap bangsa Badui yang hidup di gurun pasir secara berpindah-pindah di jazirah Arab. Menurutnya, perubahan social pada masyarakat Badui itu melalui empat pase yakni pase perjuangan merebut kekuasan, pase mempertahankan kekuasaan. Pase kejayaan dan terakhir pase kejatuhan kekuasaan.

Ibnu Khaldun menegaskan bahwa pase-pase perubahan sosial itu akan ditentukan oleh variabel ruang dan waktu, namun perubahan itu bersifat terus, kontinu dan siklus. Dengan paradigma inilah agaknya Kita dapat mengatakan bahwa "sejarah pasti berulang". Pengulangan sejarah menurut Ibnu Khaldun dapat terjadi dengan ciri dan karakter sosiologi yang sama. Paradigma ini mengantarkan kepada teori sejarahnya Ibnu Khaldun yang lebih melihat sejarah sebagi sebuah proses transmisi kerifan atas sebuah tamaddun manusia, pada tiap-tiap priodeisasi sejarah. Sementara Karl Marx, dengan pendekatan sosiologi konfliknya melihat sejarah sebagai pertentangan antar kelas.  

Adalah negara bangsa (nation state) yang merupakan proses perubahan sosial dari imprialisme dan kolonialisme. Negara bangsa lahir dari sebuah gagasan  “kemerdekaan”.  Gagasan ini merupakan negasi dari “penjajahan”. Penguasaan satu bangsa terhadap bangsa lain adalah bentuk dari penjajahan. Imprialisme dan kolonialisme dalam konteks negara bangsa adalah penjajahan. Maka negara-negara bangsa harus keluar dari kedua kondisi tersebut jika ingin menjadi merdeka. Namun sudah sejauh mana negara-negara bangsa yang telah mendeklarasikan kemerdekaannya itu telah terbebas dari kedua penguasaan tersebut adalah sebuah kenyataan pahit bagi banyak negara-negara bangsa di dunia.

Tidak sedikit negara bangsa yang lahir hanya sebagai proses salin baju menuju kepada penjajahan baru. Ini sebuah keniscayaan, ketika negara bangsa lahir bukan berarti imprialisme mati. Imprialisme terus hidup dalam berbagai bentuk baru. Memanglah dia tidak mungkin lagi berwujud seperti empayer Romawi dan Persia. Tapi kehadirannya masuk dalam sendi kehidupan masyarakat dunia baik pada sektor ekonomi, sosial maupun budaya.  

Kita merdeka secara toritorial, namun terjajah dari sisi ekonomi, disaat negara nyaris tidak memiliki kewenangan sedikitpun mengatur ekonomi guna menyelamatkan masyarakat kecil. Sebagaiman tujuan awalnya mensejahterakan kehidupan rakyat. Bahkan negara terpaksa menguras keringat rakyatnya melalu pajak, serta pungutan lain seperti BPJS hanya sebuah alasan fiscal. Dan dengan alasan fiscal juga negara dipaksa menerima kejahatan dari pemilik modal besar yang bertahun-tahun tidak mau membayar pajak, namun terlindungi oleh oknum-oknum atas nama negara juga dengan melakukan pengampunan pajak.

Belum lagi banyak negara bangsa yang harus menerima kenyataan bergantung harap dengan mata uang yang tidak pernah berhenti dengan inflasi. Kenyataannya bahwa defisa negara, perdagangan luar negri, hutang luar negeri serta transaksi internasional lainnya harus mengunakan Dolar Amerika. maka wajar saja bila inflasi di Zimbabwe mencapai 500 milliar persen pada tahun 2008.


Selain itu, negara bangsa juga sangat rentan dengan pergeseran sosial budaya akibat penetrasi budaya luar yang dikomunikasikan secara masal serta disosialisasikan dengan segala kecanggihan teknologi informasi. Sistem pendidikan sebagai benteng penetrasi kebudayaan di bayak negara bangsa  seperti tidak cukup ampuh untuk menangkal perubahan tersebut. Akibatnya tidak sedikit negara-nagara bangsa yang gagal dalam menanamkan semangat kebangsaanya. 


Minggu, 07 Agustus 2016 | By: SahabatRiau

Ontologi Diklat Penelitian

Gagasan yang melimpah dan cara pandang yang beragam, itulah suasana yang melingkupi Diklat Penelitian angkatan III Pusdiklat Tenaga Pendidikan dan Keagamaan Kemenag RI tahun 2016 pada kali ini. Dengan tiga puluh peserta dari institusi perguruan tinggi dan lembaga penelitian yang berbeda dari seluruh wilayah Indonesia, tergambar beragam pemikiran yang melatarbelakangi basis keilmuannya masing-masing.

Prof. Dr. H. M. Atho Mudzhar
Gagasan baru serta metode penelitian yang beragam diperkenalkan oleh para narasumber yang memang handal dalam bidangnya masing-masing. Berawal dari materi yang dibawakan oleh Prof. Dr. H. M. Atho Mudzhar yang membahas tentang Pengembangan Teori dan Kritik Methodologi dalam Penelitian Agama. sebagai ilmuan senior dalam bidang metodologi penelitian agama, beliau sangat piawai  menyampaikan materinya.

Metodologi penelitian menurut Prof Atho merupakan integrasi dari teori dan pengukuran realitas. Teori sosial menurutnya tidak ajek seperti pada pengetahuan kealaman. Sehingga beliau tidak terlalu menguatkan pada feodalitas teori yang mendefenisikan adanya grant, midle dan small teori. Menurutnya teori itu dapat saja berubah-rubah akibat dari perkembangan penelitian yang dilakukan dalam bidang kajian tersebut.

Kualitatif jadi gini ya....."Mahal"
Materi berikutnya disajikan oleh Dr. Farida Hanum dari Balai Puslitbang Kehidupan Keberagamaan Kemenag RI. Beliau menyajikan materi tentang teknik pengumpulan dan analisis data. Secara detil beliau menjelaskan bagaimana langkah-langkah penelitian kuantitatif serta teknik analisisnya. Dia menekankan sebuah kajian kuantitatif itu "mahalnya" ada pada analisis dari pembacaan akngka-angka kuantitatif yang dihasilkan dari prangkat analisisnya. Selain itu penelitian kuantitatif itu harus benar-benar memperhatikan bagaimana istrumen penelitian itu di rumuskan.

Bersama Dr. Molyamin Aini
Sesi kuantitatif selanjutnya disambung oleh narasumber  Dr Molyamin. Beliau sangat terpesona dengan metode kuantitatif, sehingga hampir sebahagian besar penelitiannya mengunakan metode tersebut. Beliau mencontohkan tema kajiannya tentang nikah beda agama serta isu-isu tentang radikalisme. Beliau memang spesial sekali pada tema tersebut. Sehingga, gagasan-gagasan libralnya meluncur bagaikan beselancar di atas gelombang dahsyat paradigma keilmuan yang beragam. Namun tidak sedikit dari peserta yang renyah dengan hidangan akademik ilmuan ini. Tapi ada juga  peserta yang resah dan bahkan menyanggah.

Dr. Adlin Sila, MA
Suasana kuantitatif yang ruet dengan angka-angka, model persamaan dan sebagainya, berubah menjadi humanis tatkala Dr. Adlin Sila, MA, mengawal materi pelatihan dengan membawakan bahasan metode etnografi. Dia, seolah-olah mengajak peserta bercengkrama dalam dialog-dialog longgar penuh perisa yang memeriksa. Meskipu sederhana dan datar, tidak terasa pelan-pelan dia masuk dalam perbincangan yang mendalam menyoal selidik segalanya. Itulah etnografi, kata kata nya. Materi ini memunculkan perbicangan yang sangat ramai, nyaris setiap kesempatan ada saja yang menyela. Ada yang menyoal tetang akurasi data, adapula yang bersikukuh dengan letak teori dalam kajian, bahkan tak pelak ada yang membahas akhir dari penelitian ini untuk apa, jika hanya mengungkap fenomena tanpa ada model yang ditawarkan oleh sang peneliti terhadap fenomena itu.

Dr. Fahriati
Keterpesonaan akan etnografi bergeser kepada nisan dan manuskrip. Dr. Fahriati, dengan senyuman khas Aceh nya, mampu memukau peserta dengan penjelasan-penjelasan serta menampilkan dokumen-dokumen purbanya (maaaf, bukan pura-pura baik sebagaimana istilah yang berkembang dalam arena pelatihan). Penjelasanya mengenai manuskrip menarik perhatian peserta. Bahkan suasan pelatihan berubah drastis dari pemahaman makna pada simbol dan sistem nilai sebagaiman anjuran antropolog pada kajian etnografi menjadi tekun mengamati goresan-goresan kuno layaknya pakar peneliti purba, yang memang sudah dari sananya "purba". Manuskrip itu, lembar demi lembar di perkenalkan, cara merawatnya, menyalin semula serta membaca  dan menganalisisnya semua dijelaskan dalam sesi ini.

Bersambung......


Sabtu, 16 April 2016 | By: SahabatRiau

PARADIGMA BARU SEJARAH KOTA DUMAI

Penyerahan Naskah  Orasi Paradigma Baru Sejarah Kota
Dumai Kepada Wali Kota Dumai
Pendahuluan                                                      
Putri Tujuh merupakan catatan yang selalu diketengahkan tatkala mengawali sejarah Kota Dumai. Legenda ini telah memberikan banyak inspirasi dalam kehidupan masyarakat di kota Dumai. Namun sampai saat ini, belum ditemukan sejarah yang terang tentang kawasan Dumai. Legenda Putri Tujuh, jelas bukan merupakan sebuah rentetan sejarah tentang kawasan Dumai. Karena legenda itu selain tidak dapat dibuktikan secara outentik, memiliki objek yang bersifat mistik serta tidak memiliki priodeisasi yang jelas.

Penuturan sejarah satu kawasan, hendaklah memenuhi kaidah dalam konteks ilmu kesejarahan. Dalam bahasa Inggris, kata Sejarah berasal dari kata historia yang berarti masa lampau; masa lampau umat Manusia. Dalam bahasa Arab sejarah disebut dengan sajaratun (syajaroh) yang berarti pohon dan keturunan, maksudnya disaat kita membaca silsilah raja-raja akan tampak pohon dari yang terkecil sampai berkembang menjadi besar, maka hal tersebut sejarah diartikan sebagai silsilah keturunan raja-raja yang berarti peristiwa pemerintahan keluarga raja di masa lampau. Dapat dikatakan, bahwa sejarah bukanlah hanya sebuah cerita tentang masa lalu. Namun cerita itu harus dapat dibuktikan secara ilmiah, serta memiliki ketersambungan dengan kisah-kisah lainnya.

Sejarah kota Dumai masih misteri hingga saat ini. Legenda Putri Tujuh, selalu dianggap sebagai sejarah kota Dumai. Padahal, tidak terdapat benang mereh diantara legeda tersebut dengan sejarah kerajaan mana pun dikawasan ini, Sumatera apalagi nusantara. Kerajaan yang paling mungkin di hubungkan dengan kawasan ini adalah kerajaan Siak Sri Indra Pura yang bermula diabat ke 18 M, di Sungai Jantan Siak dan berakhir di Kota Siak sekarang pada abad 20 M. Namun dalam catatan sejarah kerajaan Siak, tidak terdapat satu pun bukti sejarah tentang legenda Putri Tujuh maupun kawasan ini kecuali menyangkut pemberian gran tanah kepada Datuk Laksemana Bukit Batu untuk perkebunan ubi dan industri tapioka di kawasan Bukit Datuk, dan itu pun terjadi pada abad ke 19M.
Pengurus Persekutuan Masyarakat Dumai Melakukan Kunjungan Makam Datuk Kedondong pada acara Ekpedisi dari Makam Datuk  Kedondong Menuju Paradiga  Baru Sejarah Dumai terlihat Dr. H. M. Rizal Akbar, Achtar Ewo dan Agoes S. Alam, 17/04/2016

Bertutur tentang legenda Putri Tujuh, maka akan tersebutlah kerajaan Aceh kedalam cerita tersebut. Diceritakan bahwa seorang putra Raja Aceh yang ingin mempersunting putri tujuh serta hadirnya sosok“Umai” dari bangsa Jin yang menjadi ending cerita telah membunuh putra kerajaan Aceh tersebut dengan senjata buah bakau, maka tersebutlah kawasan itu dengan “Dumai”. Alur cerita ini tidak jauh berbeda dengan penuturan legenda Kerajaan Gasib, di Kota Gasib Siak dengan Putrinya yang bernama Putri Kaca Mayang. Legenda itu juga menceritakan prihal yang sama tentang lamaran Putra Mahkota Kerajaan Aceh, yang berakhir dengan konflik dan perperangan.

Wallah hua’lam, kedua kisah ini belum mampu terintegrasi dalam bingkai sejarah yang ada sampai dengan saat ini. Akan tetapi apa yang menarik adalah bahwa kedua legenda telah menuturkan tentang wujudnya kerajaan Aceh. Artinya secara ilmiah dapat disimpulkan bahwa pembawa kisah telah mendengar akan wujudnya sebuah kerajaan besar yang bernama Aceh. Ini membuktikan bahwa ada pengaruh Kerajaan Aceh dalam kesejarahan di kawasan Dumai.

Makam Datuk Kedondong & Sejarah Kota Dumai

Situs makam Datuk Kedondong terletak di kawasan pelabuhan Dock Yard Kelurahan Pangkalan Sesai Kota Dumai. Konon disebut makam Datuk Kedondong, karena didekat makam ini pernah tumbuh sebuah pohon kedondong besar. Tidak banyak catatan yang membahas tentang situs ini. Namun makam Datuk Kedondong sudah sangat lama dikenali oleh masyarakat sebagai makam keramat.


Apa yang menarik dari situs makam Datuk Kedondong adalah batu nisan pada makam tersebut. Batu nisan makam Datuk Kedondong setelah diteliti dari sisi bentuknya merupakan batu nisan Aceh. Dalam kajian tentang batu nisan Aceh, dijelaskan bahwa batu ini berkembang pada abad 15 sd 18 M. Dan batu tersebut merupakan tradisi kesenian yang telah tersebar dari wilayah Pattani (selatan Thailand), ke Malaysia, Indonesia, dan Brunei. Di Indonesia, jumlah “batu Aceh” mungkin lebih dari lima ribu buah. Di Semenanjung Melayu sendiri, sekitar 400 makam orang Islam yang ditandai dengan “batu Aceh” dapat ditemukan hingga sekarang. Diselatan Thailand dan di Brunei, jumlahnya beberapa puluhan buah (Otman Moh Yatim, 2009).

Adat kematian orang biasa tidak disebut dalam sumber-sumber lokal. Terdapat informasi ringkas dalam beberapa sumber Cina seperti Hai yü (1537), di mana tentang Melaka disebut bahwa orang miskin membakar mayat, juga demikian orang kaya tetapi sebelumnya jenazahnya diletakkan di dalam sebuah peti bersama kapur Barus (Groeneveldt, 1880: 128). Satu lagi sumber Cina, dari akhir abad ke-16 atau awal ke-17, juga mencatat bahwa semua mayat dibakar (ibid.: 135; Han Wai Toon, 1948: 31). John Davis, seorang pelaut yang berada di Aceh pada tahun 1599 mencatatkan bahwa orang biasa dikebumikan (Purchas (ed.), 1905: 321-322).

Teks Bustan al-Salatin juga memberikan beberapa perincian menarik tentang adat pemakaman raja dan tercatat di dalamnya bahwa sewaktu memerintah di Aceh, Sultan Iskandar Thani memutuskan mengirim batu nisan ke Pahang untuk makam-makam kerabat baginda. Selain itu, terdapat juga beberapa informasi mengenai batu nisan sesudah kemangkatan Sultan Iskandar Thani di Aceh pada tahun 1641, termasuk perhiasan berbentuk lapisan emas dan batu permata (Nuruddin al-Raniri, 1992: 45-46). Bustan al-Salatin siap tertulis oleh Nuruddin al-Raniri pada tahun 1640 (1050 H.)( ibid.: xiv) yaitu 139 tahun sebelum teks Adat Raja-raja Melayu.

Dari catatan sejarah nisan aceh diatas, menyangkut makam Datuk Kedondong bila terbukti bahwa nisan pada makam tersebyt  adalah batu Aceh, sebagaimana bentuknya, maka paling tidak dapat ditarik dua kesimpulan. Pertama, bahwa orang yang ada didalam makam tersebut adalah orang-orang besar baik dari kalangan raja-raja, alim ulama, keluarga dan keturunannya. Kedua, bahwa makam tersebut ada pada rentang abad ke 15 sd 18 M.

Kerajaan Aceh dan Sejarah Kota Dumai
Dr. H. M. Rizal Akbar, S.Si M.Phil Menyampaikan Orasi
Paradigma Baru Sejarah Kota Dumai
Bila kita kaitkan diantara legenda Putri Tujuh dan Situs Makam Datuk Kedondong sebagaimana diatas, maka sebuah kesimpulan yang yang dapat ditarik adalah adanya pengaruh kerajaan Aceh, dalam kedua kisah tersebut. Pertanyaannya adalah, ada apa dengan kerajaan Aceh dan sejauh mana iyanya memberikan akar sejarah untuk kawasan di Kota Dumai.

Sejarah menyangkut kerajaan Aceh sangat panjang, karena kerajaan ini merupakan salah satu epayer terbesar di nusantara. Tidak ada catatan yang membuktikan bahwa Aceh pernah berkuasa pada kawasan-kawasan di pantai timur Sumatera, karena dikawasan ini terdapat sebuah kerajaan besar yakni kerajaan Haru di Sumatera utara, serta sejarah juga mencatat bahwa kawasan pantai timur Sumatera dikawal oleh empayer Johor.

Namun hubungannya dengan keberadaan kawasan Dumai akan sangat masuk akal bila dikaitkan dengan gencarnya Aceh Menyerang Malaka pada (tahun 1537, 1547, 1568, 1573, 1575, 1582, 1587, 1606). Penyerangan Aceh terhadap Melaka pada tahun tersebut berawal dari jatuhnya kerajaan Melaka ke tangan Portugis pada tahun 1511. Banyak sejarawan yang menyimpulkan gigihnya Aceh dalam menyerang Melaka hanya disebabkan oleh penguasaan perdagangan di kawasan Selat Melaka.
Namun mengapa perang tersebut terjadi setelah Portugis meguasai Melaka. Sehingga menarik untuk diamati, boleh jadi ada dorongan lain yang menyebabkan Aceh begitu gencar melakukan penyerangan terhadap Malaka yang dikuasai oleh Portugis tersebut. Hipotesa sejarah yang boleh dimunculkan bahwa perang tersebut dilatarbelakangi oleh fahaman agama. Dimana Aceh dengan Islam yang kental mencoba menghambat gerakan misionaris Kristen oleh Portugis pada waktu itu. Hipotesa ini memerlukan banyak kajian sejarah untuk membuktikannya.

Terlepas dari itu, apa yang menarik adalah bahwa serangan Aceh terhadap Portugis di Malaka dilakukan dalam jarak waktu yang sangat rapat. Dengan jarak georafis Aceh ke Malaka yang sangat jauh, sudah banyak tentu Tentara-tentara Laut Aceh memerlukan kawasan berdekatan untuk membuat pangkalan-pangkalan sementara atau bangsal. Jika dilihat dari sisi geografis maka kawasan yang paling mungkin dan tidak berhadapan langsung dengan kawasan Malaka itu adalah kawasan Dumai. Jika hipotesis ini benar, maka sangat memungkinkan untuk mengaitkan kejadian sejarah ini dengan penamaan beberapa kawasan di kota Dumai, seperti Pangkalan Sesai dan Bangsal Aceh.

Artinya boleh jadi kawasan-kawasan ini pada waktu itu dijadikan sebagai pangkalan sementara oleh Pasukan Aceh ketika mereka dipukul mundur oleh Portugis. Sangat masuk akal, dengan jarak waktu penyerangan yang sempit seperti itu dan dengan jarak tempuh Aceh-Malaka yang cukup jauh dengan kondisi sarana transportasi laut saat itu, mereka tidak kembali kenegerinya di Aceh, namun melakukan persiapan-persiapan dan pemulihan kekuatan tentaranya di kawasan Dumai. Sejarah memang belum pernah melakukan pencatatan tentang ini namun wujudnya nama kawasan Bangsal Aceh, Pangkalan Sesai serta Makam Datuk Kedondong merupakan bukti-bukti awal yang sangat berkonstribusi dalam menyingkap sejarah kawasan Dumai diabad 15 sd 18 M yang lalu.

Kesimpulan

 Legenda Putri Tujuh telah banyak mengilhami sejarah dan peradaban di Kota Dumai. Legenda tersebut memiliki makna tersendiri, namun tidak dapat beralih menjadi sejarah kota Dumai. Akan tetapi, penurunan legenda itu memberikan pesan sejarah bahwa terdapat pengaruh Kerajaan Aceh dalam Akar sejarah di Kawasan ini.

2.           
Batu Nisan pada situs makam Datuk Kedondong dapat dikesankan bahwa merupakan batu nisan yang berasal dari Kerajaan Aceh. Bila ini terbukti, maka paling tidak dapat ditarik dua kesimpulan. Pertama, bahwa orang yang ada didalam makam tersebut adalah orang-orang besar baik dari kalangan raja-raja, alim ulama, keluarga dan keturunannya. Kedua, bahwa makam tersebut ada pada rentang abad ke 15 sd 18 M.

3.  Terdapat banyak bukti yang dapat dikemukakan bahwa keberadaan kawasan Dumai memiliki hubungan dengan peristiwa penyerangan Aceh terhadap Malaka pada (tahun 1537, 1547, 1568, 1573, 1575, 1582, 1587, 1606). Karena sangat masuk akal, dengan jarak waktu penyerangan yang sempit seperti itu dan dengan jarak tempuh Aceh-Malaka yang cukup jauh dengan kondisi sarana transportasi laut saat itu, mereka tidak kembali kenegerinya di Aceh, namun melakukan persiapan-persiapan dan pemulihan kekuatan tentaranya di kawasan Dumai. Sejarah memang belum pernah melakukan pencatatan tentang kenyataan ini, namun wujudnya nama kawasan Bangsal Aceh, Pangkalan Sesai serta Makam Datuk Kedondong merupakan bukti-bukti awal yang sangat berkonstribusi dalam menyingkap sejarah kawasan Dumai diabad 15 sd 18 M yang lalu.

Dicuri Sang Kapitalis

Gambar: animasi diambil dari http://indoprogress.com/
Semua sistem ekonomi menawarkan kesejahteraan dan kebahagian. Sistem ekonomi sosialis memandang kebahagian itu adalah kebersamaan dengan selogan "satu untuk semua semua untuk satu", sehingga tidak perlu ada kepemilikan pribadi dan kebesaan pasar, karena hal itu hanya akan melahirkan ketidak adilan dalam berekonomi. Berbeda dengan itu, kebahgian atau kepuasan hanya dapat terlahir dari kebebasan dengan memberikan kedaulatan yang penuh kepada pasar, hak-hak individu harus diutamakan, merupakan argumentasi dari sistem ekonomi kapitalis.

Kedua sistem itu merupakan arus besar dalam pertentangan idiologi Dunia, meskipun pada akhirnya pertentangan itu dimenangkan oleh kapitalis. Kapitalis telah merubah corak dunia melalu berbagai intrumen pendukungnya. Berawal dari sistem moneter yang berbasis bunga dan ilusi dengan Bank sebagai institusinya, kapitalis mencuri semua sisi kehidupan baik yang bersifat kolektif maupun individual.

Awalnya, kapitalis mencuri ayah dari anak-anak mereka, suami dari istri-istri mereka. Hal itu terjadi karena motivasi pertumbuhan yang tinggi dan budaya konsumsi yang besar, memaksa buruh untuk mengalokasikan waktu yang lebih ditempat kerja untuk meningkatkan petumbuhan dan pendapatan bagi sang buruh. Dengan demikian tentulah para buruh-buruh tersebut harus mengorbankan waktu untuk keluarga.

Ternyata itu saja belum cukup, kapitalis memaksa pula para wanita juga harus keluar bekerja guna kepentingan pertumbuhan itu dan memenuhi kebutuhan keluarga yang semakin hari semakin bergeser akibat tawaran kepuasan yang ditawarkan oleh sang kapitalis (hedonism). Pada kondisi ini dapat dikatakan bahwa keluarga sebaga entitas terkecil suatu bangsa sudah pula dicuri oleh kapitalis, sehingga wajar terjadi fenomena yang linier diantara tingkat pertumbuhan ekonomi dan perceraian rumah tangga.

Pencurian itu terjadi secara sistimik, meresap bagaikan api dalam sekam. Dia bergerak sangat cepat dan sangat lembut, meluluh lantakkan semua tatanan. Dengan tawaran kepuasan (utility) dia bergerak menghancurkan tatanan yang selama ini menyangga institusi sosial seperti keluarga, masyarakat dan agama.  Dia memang tidak mempersoalkan agama sebagai candu masyarakat sebagaimana sosialis komunis. "Namun dia pelan-pelan mencuri banyak orang dari agamanya, dan bahkan mencuri agama dari pemeluknya".

Sang pencuri itu sedang beroprasi terus disaat kita sedang tidur dan terjaga. Tinggal kini, kita yang harus menyadari apakah bagi kita Dia adalah pencuri atau, bagi sebagian orang merupakan motivasi meskipun dalam waktu yang panjang pada gilirannya bereka yang diuntungkan secara materi dari system itu akhirnya tersentak bahwa ternyata mereka kehilangan sesuatu yang lebih berharga dari materi yang mereka kumpulkan itu yakni “kebahagiaan”. (@RA.16/04/2016)
Kamis, 14 April 2016 | By: SahabatRiau

Kusut Masai

Orang Melayu memiliki padanan kata yang banyak untuk mendefenisikan berbagai peristiwa. Peritilahan yang digunakan memiliki ruh tersendiri yang cukup kuat untuk menyentak rasa. Tidak jarang  ungkapan-ungkapan itu terkesan hiperbola, atau penekanan bunyi dengan ekspresi tertentu.

Citarasa kata dalam ungkapan melayu akan bergeser, sesuai dengan bagaimana iayanya diungkapkan, sebagi contoh kata anjing hanya menunjukan seekor binatang yang bernama anjing namun bila diungkapkan dengan “hanjing”, maka ini menandakan bahwa sang penutur sedang dalam emosi kemarahan yang memuncak.

Begitu pula halnya dengan ungkapan kusut. Jika ungkapan ini ditambah dengan masai, “kusut masai”, maka iya merupakan personifikasi atas satu kesulitan yang nyaris tak dapat diungkai lagi. Tidak mungkin menemukan punca dan pangkal persoalan, itulah “kusut masai”. Orang Melayu menggunakan ungkapan ini pada kondisi yang teramat sukar. Awalnya ungkapan ini dikenakan pada rambut yang berantakan. Namun berkembang menjadi ungkapan yang bersifat umum untuk menggambarkan berbagai fenomena sosial.

“Kusut masai” sangat kontrofersial dengan ungkapan “ bagaikan menarik rambut di dalam tepung”. Karena tidak mungkin lagi mengharapkan rambut yang  tidak putus dan tepung yang tidak berserakan dalam kondisi yang kusut masai. Sehingga ungkapan lain yang sepadan dengannya adalah “bercelaru, lintang pukang atau carut marut.

Dalam konteks sosiologi kusut masai dalam filologi Melayu itu, dapat juga disandingkan dengan kata “krisis”. Karena krisis merupakan bagian dari konflik atau pertentangan diantara das sain and das sollen.  Namun krisis merupakan bentuk konflik tertinggi setelah problematik dan dilemmatik. Pendekatan sosiologi menyangkut krisis, hanya menganjurkan upaya yang bersifat radikal dalam mengatasi krisis. Karena krisis dianalogikan seperti  kangker ganas yang menyerang organ tubuh sehingga  penanganannya perlu dengan amputasi.

Barangkali kita sedang berada ditengah kusut masi itu. Ketika sangat sukar untuk merasionalisasikan kehidupan, yang seharusnya rasional.  Banyak pristiwa yang kadang-kadang diluar akal sehat kita terjadi. Banyak keputusan yang tidak masuk akal, diputuskan. Rasionalitas kini harus digeser kepada doktrinitas. Maka kini bermunculanlah dokrit politik, doktrin ekonomi dan dokrin pendidikan.

Agama yang seyokyanya menjadi agen doktrin kini mulai ditinggalkan. Karena sosialisasi doktrin agama kalah hebat dengan doktrin-doktrin diatas. Mereka mengunakan segala sarana komunikasi untuk mengumandangkan doktrin-doktrin itu. Dan yang sangat menarik adalah bahwa masyarakat percaya dengan doktrin itu, terbukti dengan begitu banyak keputusan masyarakat melalui keputusan demokrasi, secara mayoritas dimenangkan oleh sesuatu yang tidak rasional, meskipun pada akhirnya mereka sendiri yang menerima akibat atas keputusan itu.

Kusut masai itu adalah ketika berkali-kali kesalahan itu terjadi, namun berkali-kali pula masyarakat tidak dapat memahami apa yang sesungguhnya terjadi, sehingga terjadilah kesalahan yang berulang-ulang, dan pada gilirannya keslahan-kesalahan bergeser pula menjadi suatu kewajaran karena tanpa disadari akhirnya masyarakat memaklumi kesalahan itu dan telah beradaptasi dengan kesalahan-keslahan tersebut.


“kusut masai”…. Maka benarlah sebuah ungkapan yang menyatakan “ Kesalahan yang dibiarkan, suatu saat akan berubah menjadi kejahatan”. 14/04/2016
Sabtu, 09 April 2016 | By: SahabatRiau

“Menoho” : Kemunduran Pendidikan Agama

Terminologi lama yang mengganggu pikiran belakangan ini adalah “ menoho”. Orang Melayu kaya dengan ungkapan. Karena ungkapan itu memiliki citarasa tersendiri, meskipun dia punya padanan dengan istilah lain. Namun sebuah istilah selalu tepat untuk satu keadaan atau suasana.

“Menoho”, adalah ungkapan yang sepadan dengan pembiaran, tidak peduli atau tidak acuh dengan satu keadaan. Istilah ini lebih dari hanya sikap apatis, karena apatis bersifat proaktif sementara “menoho” bersifat proaktif karena selalunya dibelakangnya selalu ada ungkapan, “kan dah aku cakap dah”.

“Menoho” merupakan ungkapan yang sarat dengan beban phisikologi. Ada beban kemarahan, kedengkian atau hasat buruk. Namun istilah ini selalu tersembunyi dibalik hati seseorang yang sesungguhnya dia memiliki potensi untuk terlibat dan berkonstribusi terhadap sebuah persoalan yang sedang dihadapi.

Banyak persoalan yang sedangan “ditoho” saat ini. Masalah pendidikan agama sedang “ditoho”. Seolah-olah para “penoho” mengungkapkan bahwa: “mike hendak, mike tanggong sorang lah”. Apakah mereka tidak risau dengan  persoalan tersebut? Saya sangat yakin mereka juga berfikir dengan masalah ketika pendidikan agama semakin menunjukan sisi gelap baik dasar menengah dan tinggi, yang ditandai dengan banyangya fenomena sosial yang mencemaskan saat ini seperti moralitas remaja, pergaulan bebas, narkoba, criminal dan sebagainya. Nnamun bagi mereka para “penoho”. Permasalahan itu sudah ada yang ngurus, dan urusan mereka lebih penting dari hanya urusan tersebut.

Mereka yang menoho itu bukan hanya dari kalangan rendahan, namun mereka yang berada dipuncak-puncak kejayaan, Para politisi, birokrat, pengusaha dan teknokrat. Mereka memiliki banyak kesempatan sesungguhnya berkonstribusi nyata dalam kemajuan agama, namun bagi kalangan ini, tema yang menarik bagi mereka adalah mempersoalkan ketidak becusan institusi dan orang-orang yang bekerja disektor pendidikan agama, selalunya mereka memandang rendah dengan anggapan bahwa yang bekerja disektor itu adalah dari kalangan scand class, yang tidak punya pilihan pekerjaan lainnya.

Pandangan itu saja sudah cukup membuat pendidikan agama menjadi lemah lunglai. Belum lagi pada sebuah kenyataan bahwa disana memang tidak tersedia kesejahteraan yang layak apalagi dibandingkan dengan kehidupan mereka para penoho itu. Maka sangat wajar jika saat ini tidak banyak pilihan masyarakat kepada pendidikan agama.

Para "penoho" memilik pena kekuasan, pedang kekuasan, memiliki banyak sumberdaya politik dan ekonomi, namun tetap saja bagi mereka, diskursus kesalahan yang menyerang titik lemah institusi dan orang-orang yang bergerak disektor itu menjadi kostribusi tersbesar mereka. Padahal jauh lebih baik bagi mereka mengalokasikan sumberdaya yang ada pada mereka  untuk kemajuan pendidikan agama.

Sepertinya para penggiat agama dan yang bekerja disektor agama harus dapat menyadari persoalan ini. Akan tetapi ini merupakan cambuk buat kita semua, jangan gentar dan gagap dengan para penoho itu. Biarlah mereka dengan kebanggaan mereka, dan keperkarsaan mereka sehingga tidak pernah percaya dengan kita. Tapi yakinlah bahwa mereka pasti memiliki kesamaan dengan kita percaya bahwa dunia bukanlah akhir dari segalanya. Dan cukuplah Allah sebagai penolong kita, jangan pernah gentar, teruslah berjuang dengan kempuan yang tersisa, jadikan ikhlas sebagai bahan bakarnya dan kesabaran sebagai senjata kita. Karena kejayaan itu, harus direncanakan dengan pengetahuan, digerakan dengan keikhlasan dan dimenangkan dengan keberanian.


Ini bukan persoalan Surga atau Neraka, karena itu adalah urusan Allah SWT. Namun ini menyangkut dialegtik tentang ada apa dengan kebuntuan pendidikan agama kita. Apakah pendidikan agama di kota ini bisa tumbuh berkembang tanpa dukungan masyarakat dan pemerintah? Sudah cukupkah bagi kita agama hanya dalam sprit-prit doa bersama istiqosyah, pawai-pawai atau mengirimkan jamaah umrah? Atau kita sesungguhnya tidak berpotensi apa-apa untuk agama, karena tidak memiliki kemapuan apa-pun, kecuali hanya untuk melayani diri dan keluarga. 
Selasa, 29 Maret 2016 | By: SahabatRiau

Menciptakan Orang Bukan Barang

Pendidikan saat ini mengalami pergeseran paradigm yang sulit. Paradigma itu sangat terpengaruh oleh perkembangan zaman yang semakin hari semakin sulit pula. Sebagai sebuah system terkadang pendidikan nyaris disamakan dengan sebuah mesin yang memproduksi sejinis barang tertentu. Analogi bahwa pendidikan seperti itu sesungguhnya tidak dapat dipersalahkan seluruhnya. Namun jika semua asumsi yang ada dalam mesin juga diasumsikan sama dengan system pendidikan, ini yang berakibat kepada kesalahan besar dalam arah pendidikan itu sendiri.
Tidak dapat dipungkiri bahwa ilmu manajemen membawa kita menjadi mudah. Mudah dalam melihat sejauhmana satu system organisasi itu berjalan dalam menuju tujuan yang telah ditetapkan. Standarisasi selain berpengaruh kepada kinerja system, juga berpengaruh kepada sebuah produk menjadi terukur dengan tepat serta sesuai dengan kualitas yang diperlukan.  Demikianlah halnya dengan menejemen pendidikan yang dijalankan saat ini di Indonesia baik pada tingkat dasar, menengah maupun tinggi.
Perubahan standar pengelolaan pendidikan di Indonesia malangnya lebih dipengaruhi oleh perkembangan kapitalisme dan globalisasi ekonomi yang menghendaki adanya standarisasi produk. Kegauan itu muncul disaat pendidikan harus menghadapi relitas yang memang berada dalam tatanan persaingan dengan pasar sebagai satu-satunya kedaulatan. Namun pada sisi lain, pembangunan pendidikan Nasional memiliki tujuan yang agung yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pilihan kata cerdas dalam konteks tujuan pembangunan Nasional itu tentuk memiliki dimensi yang luas bukan sebatas pintar, tahu, pandai, boleh atau bias. Namun cerdas memiliki makna filosofis bahwa kepintaran itu atau pengetahuan itu dimiliki oleh manusia. Karena tidak asaing bagi kita saat ini dengan prangkat teknologi pintar (smart technology), tapi pastilah teknologi itu tidak akan memasuki ruang teknologi cerdas, karena kecerdasan hanya dimiliki oleh manusia.
Kecerdasan juga disandingkan dengan kata cendikia. Cerdik, bijak (dalam istilah melayu), cadik (dalam istilah minang), adalah asal kata kecerdasan. Terkadang cadik, digunakan untuk menunjukan kepada prilaku yang culas. Namun sesungguhnya cerdik adalah melaupau pengetahuan dan tidak terkandangi oleh batas rasionalitas. Orang pintar, adalah ketika dia dapat menguasai sebuah persolan dengan kemampuan menjelaskan (eksplanasi), memprediksi (ekspektasi) dan pengawalan . Namun orang cerdas melaupau itu, karena mereka mampu mengambil manfaat dari sebuah persoaalan.
Kecerdasan adalah sebuah lompatan. Itulah sesungguhnya fitrah kemanusiaan yang berbeda dengan makhluk lainnya, apa lagi barang produksi. Manusia memiliki tingkat adaptasi sehingga mereka mampu memenuhi ruang dalam kondisi apapun. Ketika pengetahuan yang dikembangkan manusia itu belum ada, mereka juga bisa hidup dan berkembang biak seperti yang kita saksikan saat ini, tidak ada satu jenis sepesies manusiapun yang punah, yang ada hanyalah pergeseran budaya dan membuktikan bahwa mereka beradaptasi.
Kemampuan manusia beradaptasi lebih disebabkan oleh kecerdasan dibandingkan pengetahuan. Namun dengan didampingi oleh pengetahuan, kecerdasan akan semakin berkembang dan menyebabkan manusia semakin gemilang sebagai makhluk paling sempurna dipermukaan bumi. Kegemilangan itu bergeser darizaman-kezaman yang selalu didefenisikan dengan peradaban. Artinya, pondasi awal peradaban adalah kecerdasan, meskipun apa yang selalu tampil dan mudah terukur dalam sebuah pradaban itu adalah pengetahuan dan teknologi yang melingkupinya.
Pandanglah Pyramid di Mesir. Sampai saat ini kekaguman akan peradaban itu tidak dapat terbantahkan. Semua peneliti dan ilmuan mengatakan bahwa benda itu adalah lambang peradaban tinggi dimasa itu. Namun, teknologi apa dan bagaimana iyanya dibangun merupakan teka-teki yang belum terjawab sampai dengan saat ini, karena semua temuaan penelitian tentang Piramid masih bersifat asumsi. Artinya, pengetahuan yang dikatakana sangat berkembang itu masih kalah dengan kecerdasan dimasa Mesir kuno itu. Karena yang pasti adalah, bahwa dengan kecerdasan. mereka mampu membangun Pyramid dimasa itu. Namun pengetahuan kita saat ini, jangankan untuk membangun pyramid sekokoh itu, menjawab pertanyaan bagaimana dan dengan teknologi apa Pyramid itu dibangun pun kita belum mampu.
Kembali kepada system pendidikan, menjawab kebutuhan kehidupan yang memang dikuasa sepenuhnya oleh pasar, adalah satu realitas. Namun jika kita pikirkan kembali, maka itulah kecerdasan kita dan generasi kita saat ini, yakni generasi manusia yang sangat lemah. Dulu bangsa manusia tanpa teknologi mampu mengalahkan binatang buas. Dimana binatang-binatang buas itutelah dibekali dengan segala sisi tubuh yang kokoh dan filing bertempur dan melemahkan musuh, sementara bangsa manusia tidak. Tapi ternyata bangsa manusia mampu bertahan dan bahkan berkembang biyak mengalahkan bangsa-bangsa hewan yang gagah itu.
Namun kini system pendidikan kita dengan segala ketakutan akan kehidupan yang semakin keras menawarkan seperangkan system untuk penyelamatan diri, namun bukan dari bangsa binatang buas, namun dari bangsa manusia yang serakah dengan spirit kapitalisme dan hedonism. Kemana arah pendidikan kita? “memanusiakan manusiakah”, atau menyiapkan manusia untuk menjadi makanan bagi manusia lainnya, jika itu yang terjadi benarlah jika dikatakan bahwa system pendidikan kita sama dengan mesin-mesin yang memproduksi barang bernama “manusia”