Dalam banyak faktor yang berpotensi mempengaruhi
kesejahteraan manusia, pendapatan merupakan variabel paling menonjol dalam
penelitian kebahagiaan ekonomi. Hal ini mungkin tidak mengejutkan sebab pendapatan
atau standar hidup layak seseorang, biasanya sudah terserap oleh GDP atau GNP,
yang merupakan indikator empiris utama kesejahteraan individu di bidang
ekonomi.
Berangkat dari mazhab Easterlin paradoks (1974 & 2010),
menyatakan bahwa banyak tes empiris yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan
yang cukup besar diantara pendapatan dengan kesejahteraan subjektif
(kebahagiaan). Namun hal ini terjadi
hanya pada keluarga dengan pendapatan yang tinggi dan/atau para buruh/ tenaga
kerja dengan pendapatan yang tinggi. Serta hal itu juga berbeda untuk negara kaya dan negara miskin.
Kontroversi diantara keduanya muncul, bilamana hubungan
antara pertumbuhan pendapatan dan tingkat kebahagiaan dari waktu ke waktu. Pendukung Easterlin
paradoks menegaskan bahwa tidak terdapat hubungan diantar pendapatan per kapita
rata-rata dan kebahagiaan di sebuah negara. Dan mereka membantah bahwa pertumbuhan
pendapatan menghasilkan lebih tinggi rata-rata kebahagiaan. Berbeda dengan pengikut
Easterlin, Stevenson dan Wolfers (2008). Clark et al. (2008) mereka menemukan
bahwa pendapatan mutlak berkontribusi terhadap tingkat kebahagiaan.
Teori ekonomi kebahagiaan pertama kali di kemukakan oleh Easterlin (1974)
dalam penelitiannya yang berjudul “Does
Economic Growth Improve the Human Lot”. Kajian ini menyimpulkan bahwa
negara dengan pendapatan per kapita tinggi memiliki alasan untuk masyarakatnya
menyatakan berbahagia. Namun kebahagiaan yang dinyatakan oleh masyarakat itu
tidak berbeda jauh dengan negara-negara lainnya bahkan dengan negara dengan
pendapatan per kapita yang hanya memenuhi kebutuhan dasar sekalipun. Demikian
pula halnya, meskipun pendapatan per kapita meningkat terus di Amerika Serikat
antara tahun 1946 dan 1970, rata-rata melaporkan kebahagiaan tidak menunjukkan
tren jangka panjang dan menurun antara tahun 1960 dan 1970.
Easterli paradoks mendapat sanggahan untuk pertama kalinya oleh Ruut
Veenhoven dan Michael Hagerty (2003), analisis yang mereka lakukan dari
berbagai sumber data baru , memperoleh
kesimpulan bahwa tidak ada paradoks diantara pendapatan dengan kebahagiaan.
Dan argumen yang sama juga dilontarkan oleh Betsey Stevenson dan Justin Wolfers
(2008) yang menilai kembali paradoks Easterlin menggunakan data Time series
baru. Hagerty ad el (2003) menyimpulkan bahwa, kenaikan pendapatan mutlak jelas
terkait dengan peningkatan kebahagiaan baik untuk kedua orang individu maupun
seluruh negara.
Kritikan terhadap Eastelin paradoks ini akhirnya dijawab sendiri oleh
Easterlin (2010), yang mempertegas kebali teorinya dengan melakukan analisis
terhadap sampel 37 negara. Namun hasil kajian Eastelin (2010) itu, kembali
mendapat bantahan dari Wolfers (2010) dan oleh Richard Layard, Andrew Clark dan
Claudia Senik (2013). Mereka membuktikan melalui variabel lain termasuk
kepercayaan, PDB per kapita memiliki pengaruh terhadap kebahagiaan.
William Nordhaus
dan James Tobin (1973) memberikan pertanyaan yang radikal tentang pertumbuhan
sebagai mesin kesejahteraan, yang akhirnya membuat kesimpulan negatif diantara
pertumbuhan dengan kesejahteraan. Banyak ekonom dan ilmuwan sosial telah sampai
pada kesimpulan bahwa, di negara-negara maju, pertumbuhan ekonomi memiliki
dampak kecil pada kesejahteraan dan karena itu tidak menjadi tujuan utama dari
kebijakan ekonomi (lihat Oswald, 1997). Meskipun hal ini masih dapat dipercayai
sebagaimana proposisi Inglehart et al. (2008) bahwa pertumbuhan material, yang
diukur dengan PDB per kapita, dapat meningkatkan kesejahteraan di negara-negara
berkembang. Namun kesimpulan ini bersifat sangat sementara karena bagi
orang-orang miskin standar kesejahteraan itu sangatlah sederhana, sehingga
variabel ekonomi menjadi satu satunya tumpuan dalam kepuasan.
Dalam sebuah artikel yang terkenal,
Easterlin (1974) pertanyaan ironis yang muncul adalah: apakah
"meningkatnya pendapatan semua akan meningkatkan kebahagiaan semua?"
Ini didasarkan pada pengamatan bahwa tindakan kebahagiaan rata-rata tetap datar
selama jangka panjang di negara-negara yang telah mengalami tingkat tinggi
pertumbuhan PDB. Diantara Pendapatan dan kebahagiaan telah menjadi perdebatan
selama dua dekade terakhir oleh para ekonom, psikolog dan ilmuwan politik.
Namun, sebagian besar bukti sampai saat ini tentang hubungan antara pendapatan
dan kesejahteraan subjektif hanya mengamati negara-negara maju.
Kajian Easterlin (2009) menemukan bahwa
tidak terdapat hubungan yang signifikan antara peningkatan kebahagiaan
dan tingkat jangka panjang pertumbuhan PDB per kapita. Hal ini berlaku
untuk tiga kelompok negara yang dianalisis secara terpisah, 17 negara membangun, 9 negara sedang membangun
dan 11 negara kurang membangun. Analisis
juga dilakukan untuk 37 negara secara bersama-sama. Dengan pendektan
analisis time series ditemukan hubungan positif jangka pendek antara
pertumbuhan kebahagiaan dan pendapatan, yang timbul dari fluktuasi kondisi
ekonomi makro, dimana dengan hubungan jangka panjang, hubungan tersebut tidak
signifikan.
Bandura (2008) memberikan gambaran tentang literatur yang tumbuh di
kesejahteraan subjektif atau lebih dikenal
sebagai "kebahagiaan". Secara tradisional, kesejahteraan
telah diidentifikasi dengan tujuan dimensi tunggal: kemajuan material diukur
dengan pendapatan atau PDB. Namun, sekarang diterima secara luas bahwa
konsep kesejahteraan tidak dapat ditangkap sendiri oleh GDP: kesejahteraan
bersifat multidimensi meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Salah satu
pendekatan untuk mengukur kesejahteraan multidimensi adalah dengan menggunakan
indikator objektif untuk melengkapi, suplemen atau mengganti
PDB. Pendekatan lain adalah melalui langkah-langkah subjektif: meminta
orang untuk melaporkan kebahagiaan dan kepuasan hidup. Makalah ini
menyajikan temuan-temuan utama dari literatur tentang faktor-faktor penentu
ekonomi dan non-ekonomi kebahagiaan.
Meskipun
kebahagiaan adalah penting dalam hal teori ekonomi dan kebijakan, dia juga
menunjukkan bahwa indikator kebahagiaan memiliki beberapa keterbatasan. Dimana dia mengemukakan dua pertanyan. Pertama, haruskah kebahagiaan menjadi
tujuan utama manusia? Kedua,
apakah indikator kebahagiaan dapat dijadikan panduan yang baik untuk pembuatan
kebijakan?
Andrew
E. Clark & Claudia Senik (2011), coba menjawab apa negara-negara
berpenghasilan rendah dapat diharapkan dari pertumbuhan dalam hal
kebahagiaan. Dengan menggunakan kumpulan data set Internasional yang telah
tersedia yang berkaitan dengan hubungan
antara pertumbuhan pendapatan dan kesejahteraan subjektif ditemukan hasil yang
konsisten dengan paradoks Easterlin, pendapatan yang lebih tinggi selalu
dikaitkan dengan skor kebahagiaan yang lebih tinggi, kecuali dalam satu kasus:
apakah ketika pertumbuhan pendapatan nasional yang lebih tinggi akan
menyebabkan kesejahteraan yang tinggi pula, adalah wacana yang masih hangat
diperdebatkan. Kajian ini menemukan bukti yang berisi dua pelajaran
penting: perbandingan pendapatan tampaknya mempengaruhi kesejahteraan
subjektif, bahkan di negara-negara yang sangat miskin, sehingga kajian ini
mendapati bahwa gagasan pertumbuhan akan meningkatkan kebahagiaan di
negara-negara berpenghasilan rendah tidak dapat ditolak atas dasar bukti yang
tersedia.
Antal
(2011) Alternatif yang diusulkan terhadap PDB sebagai ukuran kesejahteraan
sosial atau kemajuan manusia dievaluasi secara singkat. Empat kategori
utama yang dipertimbangkan, yaitu Index of Sustainable Economic Welfare (ISEW) dan Genuine progress indicator (GPI) berdasarkan koreksi dari PDB, berkelanjutan atau green GDP, tabungan asli / investasi dan
indeks komposit. Semua alternatif ini ternyata memiliki berbagai
kekurangan. Namun demikian, beberapa dari mereka merupakan peningkatan yang
cukup atas informasi PDB mendekati kesejahteraan sosial. Hal ini
memberikan dukungan gagasan bahwa PDB (per kapita), meskipun belum seluruhnya
sempurna namun sudah dapat dijadikan informasi dalam pengambilan keputusan
publik hingga indikator alternatif yang sempurna tersedia.
Oswald
(2014) Kajiannya membahas teka-teki yang terkenal dalam ilmu
sosial. Mengapa beberapa negara melaporkan kebahagiaan yang tinggi seperti
itu? Denmark, misalnya, secara teratur puncak tabel liga bangsa-bangsa
yang kaya kesejahteraan, sementara Inggris dan Amerika Serikat tertinggal di bawahnya.
Prancis dan Italia malah melaporkan relatif buruk. Meskipun telah banyak
dilakukan pembahasan dengan menggunakan pendekatan GDP dan variabel sosial
ekonomi serta budaya, namun punca penyebabnya belum dapat diketahui secara
pasti. Berbeda dengan itu kajian ini
mengeksplorasi jalan baru. Yakni dengan menggunakan data pada 131
negara, dimana dilakukan dokumentasi dari berbagai bukti yang konsisten dengan
hipotesis bahwa negara-negara tertentu mungkin memiliki keunggulan genetik
dalam kesejahteraan.
Toko Mesin Murah · Jual Mesin · Susu Listrik · Portal Belanja Mesin Makanan, Pertanian, Peternakan & UKM · CP 0852-576-888-55 / 0856-0828-5927
BalasHapus