Terminologi lama yang mengganggu pikiran belakangan ini adalah “ menoho”. Orang Melayu kaya dengan ungkapan. Karena ungkapan
itu memiliki citarasa tersendiri, meskipun dia punya padanan dengan istilah
lain. Namun sebuah istilah selalu tepat untuk satu keadaan atau suasana.
“Menoho”, adalah ungkapan yang sepadan dengan
pembiaran, tidak peduli atau tidak acuh dengan satu keadaan. Istilah ini lebih
dari hanya sikap apatis, karena apatis bersifat proaktif sementara “menoho”
bersifat proaktif karena selalunya dibelakangnya selalu ada ungkapan, “kan dah
aku cakap dah”.
“Menoho” merupakan ungkapan yang sarat dengan beban
phisikologi. Ada beban kemarahan, kedengkian atau hasat buruk. Namun istilah
ini selalu tersembunyi dibalik hati seseorang yang sesungguhnya dia memiliki
potensi untuk terlibat dan berkonstribusi terhadap sebuah persoalan yang sedang
dihadapi.
Banyak persoalan yang sedangan “ditoho” saat ini.
Masalah pendidikan agama sedang “ditoho”. Seolah-olah para “penoho”
mengungkapkan bahwa: “mike hendak, mike
tanggong sorang lah”. Apakah mereka tidak risau dengan persoalan tersebut? Saya sangat yakin mereka
juga berfikir dengan masalah ketika pendidikan agama semakin menunjukan sisi
gelap baik dasar menengah dan tinggi, yang ditandai dengan banyangya fenomena
sosial yang mencemaskan saat ini seperti moralitas remaja, pergaulan bebas,
narkoba, criminal dan sebagainya. Nnamun bagi mereka para “penoho”. Permasalahan
itu sudah ada yang ngurus, dan urusan mereka lebih penting dari hanya urusan
tersebut.
Mereka yang menoho itu bukan hanya dari kalangan
rendahan, namun mereka yang berada dipuncak-puncak kejayaan, Para politisi,
birokrat, pengusaha dan teknokrat. Mereka memiliki banyak kesempatan
sesungguhnya berkonstribusi nyata dalam kemajuan agama, namun bagi kalangan
ini, tema yang menarik bagi mereka adalah mempersoalkan ketidak becusan
institusi dan orang-orang yang bekerja disektor pendidikan agama, selalunya
mereka memandang rendah dengan anggapan bahwa yang bekerja disektor itu adalah
dari kalangan scand class, yang tidak
punya pilihan pekerjaan lainnya.
Pandangan itu saja sudah cukup membuat pendidikan
agama menjadi lemah lunglai. Belum
lagi pada sebuah kenyataan bahwa disana memang tidak tersedia kesejahteraan
yang layak apalagi dibandingkan dengan kehidupan mereka para penoho itu. Maka
sangat wajar jika saat ini tidak banyak pilihan masyarakat kepada pendidikan
agama.
Para "penoho" memilik pena kekuasan, pedang kekuasan,
memiliki banyak sumberdaya politik dan ekonomi, namun tetap saja bagi mereka,
diskursus kesalahan yang menyerang titik lemah institusi dan orang-orang yang
bergerak disektor itu menjadi kostribusi tersbesar mereka. Padahal jauh lebih
baik bagi mereka mengalokasikan sumberdaya yang ada pada mereka untuk kemajuan pendidikan agama.
Sepertinya para penggiat agama dan yang bekerja
disektor agama harus dapat menyadari persoalan ini. Akan tetapi ini merupakan
cambuk buat kita semua, jangan gentar dan gagap dengan para penoho itu. Biarlah
mereka dengan kebanggaan mereka, dan keperkarsaan mereka sehingga tidak pernah
percaya dengan kita. Tapi yakinlah bahwa mereka pasti memiliki kesamaan dengan
kita percaya bahwa dunia bukanlah akhir dari segalanya. Dan cukuplah Allah
sebagai penolong kita, jangan pernah gentar, teruslah berjuang dengan kempuan
yang tersisa, jadikan ikhlas sebagai bahan bakarnya dan kesabaran sebagai
senjata kita. Karena kejayaan itu, harus direncanakan dengan pengetahuan,
digerakan dengan keikhlasan dan dimenangkan dengan keberanian.
Ini bukan persoalan Surga atau Neraka, karena itu
adalah urusan Allah SWT. Namun ini menyangkut dialegtik tentang ada apa dengan
kebuntuan pendidikan agama kita. Apakah pendidikan agama di kota ini bisa
tumbuh berkembang tanpa dukungan masyarakat dan pemerintah? Sudah cukupkah bagi
kita agama hanya dalam sprit-prit doa bersama istiqosyah, pawai-pawai atau
mengirimkan jamaah umrah? Atau kita sesungguhnya tidak berpotensi apa-apa untuk
agama, karena tidak memiliki kemapuan apa-pun, kecuali hanya untuk melayani
diri dan keluarga.
Menarik sekali pak Doktor, sikapa "Menoho", saya kira yang juga menjadi penyebabnya adalah anggapan sebagian masyarakat bahwa agama hanya berurusan dengan soal-soal hidup sesudah mati, tidak ada nilai praktisnya apalagi nilai prestise keduniaan. Bahkan mulai dari dari jenjang pendidikan paling dini sekalipun banyak orang tua yang berhitung tatkala anak meminta untuk keperluan pendidikan agama, namun pada saat yang sama, mereka begitu gairah ketika anak meminta untuk keperluan pendidikan semisal les piano, sekolah sepak bola, les matematika dan seluruh hal2 yang dianggap bernilai prestise. Tentu saja hal tersebut tidak salah, tetapi kemudian menjadi keliru ketika untuk kepentingan agama menjadi berhitung.
BalasHapusSikap tersebut hampir seragam di manapun di negeri ini. Tak kesah apakah para orang tua yang bekerja di instansi yang mengurusi soal agama semisal "Kementerian Agama" apalagi para politisi dls. Benar memang butuh stok kesabaran, keikhlasan dan keberanian untuk survive ketika kita sudah mendeklarasikan diri sebagai "pejuang pendidikan agama".
Terimakasi atas komentnya....mari kita perjuangkan bersama...
BalasHapus