Pandangan Islam terhadap kesejahteraan
atau well-being selalu dikaitkan dengan
konsep al-falah. Dengan demikian,
pada proses 1 TSR, ontology tawhid
yang disimbolkan dengan Ω dalam konteks ini dapat terlihat dari firman Allah SWT dalam surat Al-Mukminun ayat 1 yang artinya “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang
beriman”.
Qad aflahal mu’minuna (sesungguhnya
beruntunglah orang-orang yang beriman). Kata aflaha adalah bentuk fi‘l
madhi (kata kerja berbentuk lampau) dari kata falâh. Kata falâh sendiri
terambil dari kata falaha – yaflahu –
falhan wa falâhatan, yang diartikan sebagai “hasil baik”, “sukses”, atau
”memperoleh apa yang dikehendaki”. Dari sini, kata falah seringkali diterjemahkan dengan “beruntung”, “berbahagia”,
“memperoleh kemenangan”, “memperoleh keselamatan”, dan sejenisnya dalam konteks
penelitian ini disebut dengan kesejahteraan. Selain dalam Surat Al-Muslimun, di
dalam al-Quran, kata aflaha yang
berdiri sendiri di dalam suatu redaksi terulang sebanyak empat kali, yakni pada
Q S. Thâhâ (20): 64, Q S. Al-Mu’minûn (23): 1, Q S. Al-A‘la (87): 14, dan Q S.
Asy-Syams (91): 9. Keempatnya didahului oleh kata qad yang berarti “sesungguhnya”, yakni menunjukkan makna kepastian.
Artinya kesejahteraan itu pasti terjadi pada setiap Mukmin.
Kepastian
Mukmin mendapatkan kesejahteraan sebagaimana janji Allah SWT Qad aflahal mu’minuun (Sesungguhnya
beruntunglah orang-orang yang beriman), di dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan
bahwa harus memenuhi syarat sebagai berikut:
1.
Alladziina
Hum fii shalaatihim khaasyi’uuna (yakni, orang-orang
yang khusyu’ dalam shalatnya) (Q S.
Al-Mu’minûn: 2). Ali bin Abi Thalhah menceritakan dari Ibnu ‘Abbas: khaasyi’uuna (Orang-orang yang khusyu)
yaitu orang-orang yang takut lagi penuh ketenangan.” Dari ‘Ali bin Thalib ra:
“Yang dimaksud dengan khusyu’ di sini adalah kekhusyukan hati.” Sedangkan
al-Hasan al-Bashri mengungkapkan: “Kekhusyukan mereka itu berada di dalam hati
mereka, sehingga karenanya mereka menundukkan pandangan serta merendahkan diri
mereka.
Khusyu’
dalam shalat hanya dapat dilakukan oleh orang yang mengonsentrasikan hati
padanya serta melupakan berbagai aktivitas selain shalat, serta mengutamakan
shalat atas aktivitas yang lain. Pada saat itulah akan terwujud ketenangan dan
kebahagiaan baginya. Sebagaimana yang disabdakan Rasulullah saw. dalam sebuah
hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan an-Nasa-i, dari Anas, dari
Rasulullah saw., dimana beliau bersabda: “Diberikan
kepadaku kecintaan terhadap wanita dan wangi-wangian, dan shalat dijadikan
untukku sebagai amalan yang paling menyenangkan.” (HR Ahmad dan an-Nasa-i).
2. Walladziina Hum ‘anil laghwi
mu’ri-dluun (Q S. Al-Mu’minûn: 3) (Dan orang-orang
yang menjauhkan diri dari perbuatan dan perkataan, yang tidak berguna) (Q S.
Al-Mu’minûn:3). Yakni dari kebathilan dimana hal itu mencakup juga kemusyrikan, sebagaimana yang dikatakan oleh
sebagian mereka, serta berbagai ucapan dan perbuatan yang tidak membawa faedah
dan manfaat, sebagaimana yang difirmankan Allah: wa idzaa marruu bil laghwi marruu kiraaman (Dan apabila mereka
bertemu dengan orang-orang yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak
berfaedah, mereka lalui saja dengan menjaga kehormatan dirinya”) (al-Furqaan:
72). Qatadah berkata: “Demi Allah, mereka didatangi perintah Allah yang menghentikan
mereka dari hal tersebut (tak berguna).
3. Walladziina Hum
lizzakaati faa’iluun (Q S. Al-Mu’minûn: 4) (dan
orang-orang yang menunaikan zakat.) mayoritas berpendapat bahwa yang dimaksud
dengan zakat di sini adalah zakat maal (harta), padahal ayat ini adalah
Makkiyyah. Yang tampak secara lahiriyah, bahwa yang diwajibkan di Madinah
adalah nishab dan ukuran yang khusus. Jika tidak demikian, berarti dasar zakat
pertama diwajibkan di Makkah. Dan dalam surah al-An’am yang merupakan surah
Makkiyyah, Allah Ta’ala berfirman: wa
aatuu haqqahuu yauma hashaadihi (Dan tunaikanlah haknya di hari memetik
hasilnya.) (al-An’am: 141), bisa saja yang dimaksud dengan zakat di sini adalah
penyucian jiwa dari kemusyrikan dan kotoran. Yang demikian itu sama seperti
firman-Nya: qad aflaha man zakkaaHaa wa
qad khaaba man dassaaHaa (“Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan
jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (asy-Syams:
9-10) wallaaHu a’lam.
4. walladziina Hum
lifuruujiHim haafidhuun. Illaa ‘alaa azwaajiHim au maa malakat aimaanuHum fa innaHum ghairu
maluumiina. Famanibtaghaa waraa-a dzaalika fa-ulaa-ika Humul ‘aaduun. (Q S.
Al-Mu’minûn: 5-7) (Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap
istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka
dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa yang mencari dibalik itu, maka mereka
itulah orang-orang yang melampaui batas). yakni orang-orang yang telah
memelihara kemaluan mereka dari yang haram, sehingga mereka tidak terjerumus
dalam hal-hal yang dilarang oleh Allah swt. Baik itu dalam bentuk perzinaan
maupun liwath (homoseksual). Dan
mereka tidak mendekati kecuali istri-istri mereka sendiri yang telah dihalalkan
oleh Allah bagi mereka atau budak-budak yang mereka miliki. Barang siapa yang
mengerjakan apa yang dihalalkan oleh Allah, maka tidak ada cela dan dosa
baginya. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman: fa innaHum ghairu maluumiin. famanibtaghaa waraa-a dzaalika (Maka
sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa mencari yang
dibalik itu) maksudnya selain istri dan budak. Fa-ulaa-ika Humul ‘aaduun (“Maka mereka itulah orang-orang yang
melampaui batas.”) wallaaHu a’lam.
5. Walladziina Hum li
amaanaatiHim wa ‘aHdiHim raa’uuna (Q S.
Al-Mu’minûn: 9) (Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat yang dipikulnya
dan janjinya), yakni jika mereka diberi kepercayaan, maka mereka tidak akan
mengkhianatinya tetapi mereka menunaikannya kepada yang berhak. Dan jika mereka
berjanji atau melakukan akan perjanjian, maka mereka menepatinya, tidak seperti
sifat-sifat orang munafik.
6.
Walladziina
Hum ‘alaa shalawaatiHim yuhaafidhuuna (Q S. Al-Mu’minûn:
9). (Dan orang-orang yang memelihara shalatnya). Maksudnya senantiasa mereka
mengerjakannya tepat pada waktunya, sebagaimana diungkapkan oleh Ibnu Mas’ud,
aku pernah bertanya kepada Rasulullah saw., kutanyakan: “Ya Rasulallah, apakah
amal perbuatan yang paling disukai Allah?” Beliau menjawab: “Shalat tepat pada
waktunya.” “Lalu apa lagi?” tanyaku. Beliau menjawab: “Berbakti kepada kedua
orang tua.” “Kemudian apa lagi?” tanyaku lebih lanjut. Maka beliau menjawab:
“Jihad di jalan Allah.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim di dalam kitab
ash-Shahihain. Qatadah berkata: “Tepat pada waktunya, ruku’ dan sujudnya.”
Kesejahteraan yang
diperoleh seorang Mukmin sebagaimana janji Allah SWT diatas, bukan hanya terhenti pada kehidupan dunia,
akan tetapi kesejahteraan itu akan berakhir di akhirat. Hal itu sebagai mana
Ibnu Khasir dalam tafsir ayat berikutnya,
ulaa-ika Humul waaritsuuna.
Alladziina yaritsuunal firdausaHum fiiHaa khaaliduuna (Q S. Al-Mu’minûn:
10,11) (“Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi, yakni yang akan mewarisi
Surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya.). Dalam kitab ash-Shahihain disebutkan,
bahwa Rasulullah saw. telah bersabda: “Jika kalian meminta surga kepada Allah,
maka mintalah surga Firdaus kepada-Nya, karena sesungguhnya Firdaus adalah
surga yang paling tengah-tengah dan paling tinggi. Diperlihatkan kepadaku di
atasnya terdapat ‘Arsy Rabb yang Maha
Pemurah.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Ibnu Abi Hatim
meriwayatkan dari Abu Hurairah ra. dia bercerita, Rasulullah saw. bersabda:
“Tidak seorang pun dari kalian melainkan mempunyai dua kedudukan. Satu
kedudukan di surga dan satu kedudukan di neraka. jika dia mati dan masuk
neraka, maka kedudukannya di surga diwarisi oleh penghuni surga. Dan itulah
makna firman-Nya: ‘Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi.’” (HR Ibnu
Majah).
Dari Surat Al-Mukminun 1
sd 11, serta didukung oleh hadist-hadist sebagaimana tafsir Ibnu Katsir diatas
sesungguhnya dapat ditarik pengetahuan tawhid menyangkut kesejahteraan yang
dalam konteks TSR dilambangkan dengan teta (θ). Bahwa keberadaan Islam dan
umatnya adalah untuk menciptakan keadaan yang sejahtera (falah), hal ini didukung
pula dengan firman Allah SWT yang
artinya : Dan tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat
bagi seluruh alam (Q.S. alanbiyâ’: 107).
Teta (θ) yang dikeluarkan
dari surat Al-Mukminun 1- 11 itu mengajarkan bahwa kesejahteraan akan diperoleh
bilamana manusia mengaktualisasikan ketentuan Allah SWT sebagai berikut :
1.
Khusyuk dalam beribadah.
2. Menjauhkan
diri dari perbuatan dan perkataan yang tidak berguna.
3. Mengeluarkan
zakat.
4. Menjaga
kehormatan diri
5. Menjaga
amanah
6.
Dan memelihara sholatnya.
Ketika teta (θ)
kesejahteraan ini dilihat dari sudut pandang maqasyid syariah, maka kehendak tawhid yang disampaikan dalam
bahasa langit itu diterjemahkan dalam bahasa yang membumi untuk kepentingan
sejagat. Maka terjadilah proses interaksi dengan sistem yang ada, diantaranya sistem
politik, ekonomi dan budaya. Integrasi yang dilahirkan dari sistem itu
melahirkan X (θ), dimana dalam konteks penelitian ini X (θ) tidak lain adalah
proses pembangunan itu sendiri. Sehingga pembangunan dapat dipandang sebagai syuratic proses, diantara teori dengan realitas, diantara
berbagai stake holder, pemerintah, masyarakat dan pelaku usaha dan sebagainya.
Perbedaan sistem pada
masyarakat akan menyebabkan model integrasi yang berbeda bagi tiap-tiap
masyarakat. Masyarakat dengan sistem kapitalis percaya bahwa proses pembangunan
harus dapat memperbesar kapasitas ekonomi masyarakat, sehingga melahirkan
pendapatan (PDB per kapita) sebagai ukuran kinerja pembangunan. Lain pula
halnya dengan masyarakat sosialis, pembangunan selalu dipandang sebagai proses
pemerataan dengan cita-cita welfare stat
(negara kesejahteraan).
Meskipun dengan berbagai
perbedaan dalam model X (θ) atau pendekatan pembangunan, semua model itu pasti
berharap kepada suatu tatanan nilai well-being fuction yang dilambangkan dengan W(θ, X (θ)), dimana
semua model pendekatan pembangunan menginginkan satu tatanan masyarakat yang
sejahtera.