Karakter terlihat dari apa yang biasanya ditampilkan seseorang. Karakter boleh jadi merupakan tabiat yang terlahir dari amalan, atau mungkin saja apa yang dikesankan. Sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang kita sebut dengan amalan. Sehingga dari amalan itu pasti melahirkan tabiat yang dapat kita sebut juga dengan karakter.
Berbeda dengan amalan yang berproses menuju kepada karakter, pencitraan pula lebih kepada apa yang seharusnya ditampilkan. Karakter yang terlahir dari pencitraan pasti brsifat sementara dan semu. Orang dapat saja mencitrakan sebagai orang baik meskipun sesungguhnya dia adalah seorang yang buruk. Topeng karakter dari sebuah pencitraan ini mirip dengan lakonan.
Sebuah lakonan memerlukan skario serta didukung oleh setingan dan sutradara. Instrumen-instrumen itu sangat diperlukan sehingga sebuah karekter akan tampil dengan pasti tanpa ada keraguan. Tidak ada karakter yang berdiri sendiri. Karena bila sebuah karakter itu tidak mendapat apresiasi dari lingkungannya maka ianya akan tertolak dan sang pemilik karakter akan teralinasi, karena sesungguhnya masyarakat itu adalah pemaksa dan sistem adalah sesuatu yg harus dipenuhi.
Karakter juga sangat berkaitan dengan peran dan fungsi sosial. Peran dan fungsi seseorang ditengah masyarakatnya menyebabkan dia harus menampilkan apa yang diharapkan masyarakat dari peran dan fungsi itu. Seorang guru misalnya dipaksa harus berkarakter mendidik, karena perannya sebagai insan pendidik dan fungsinya dalam menciptakan manusia terdidik.
Pertanyaannya adalah apakah peran dan fungsi sosial itu yang melahirkan karakter atau sebaliknya karakter yang menentukan apakah sebuah fungsi sosial itu akan berjalan baik, persis sama dengan pertanyaan "mana dulu telor atau ayam". Karena boleh jadi seseorang yang memiliki karakter pendidik, berusaha mendapatkan pekerjaan menjadi guru. Atau mungkin saja karena pekerjaannya adalah guru maka dia menjadi berkarakter pendidik.
Karakter sangat diperlukan dalam sistem sosial. Karakter tertentu untuk peran tertentu. Karakter yang dibuat-buat pasti tidak akan bertahan lama dalam sebuah peran yang dimainkan, karena jika dia tidak merasa teralinasi dalam lingkungannya maka boleh jadi dia akan teralinasi dengan dirinya sendiri. Kondisi teralinasi itu sangat tidak membahgiakan. Transisi panjang yang pada gilirannya menyebabkan kondisi yang anomali. Sesuatu yang mungkin adalah muncualanya prustasi dan kegelisahan yang tidak berujung.
Karakter adalah kehidupan, tentang wajah hidup dan kehidupan kita. Musuh terbesarnya adalah kebohongan dan kepura-puraan. Pencitraan, tidak selamanya buruk. Namun pencitraan yang dibaringi oleh kebohongan dan kepura-puraan adalah kejahatan yang pada akhirnya menggeser keseimbangan sosial. Kondisi itu akan membawa kepada konflik, sehingga diperlukan keseimbangan baru yang sudah pasti memerlukan waktu panjang dalam perjalanan transisi yang mencekam.
Kakap,
28/12/2016