foto :http://onetrackmine.com/wp-content/uploads/2015/03/112.jpg |
Pertanyaan itu dijawab oleh mahasiswa ku dengan jawaban yang beragam, ada yang menjawabnya dengan keinginan untuk dapat informasi, berkomunikasi, menjalin silaturrahmi, dakwah dan sebagainya, dan hampir semua jawaban mengarah kepada hal-hal yang positif. Mendengar jawaban-jawaban seperti itu, kembali saya muncul pertanyaan yang menjentak mereka semua, "apa benar begitu?" dengan wajah yang malu-malu, mereka secara jujur bertutur, "tidak juga pak". dengan nada datar saya nyatakan, kita pasti marah jika disebut "munafik", kalau gitu istilahnya kita ganti saja dengan hipokrit.
wujudnya hipokrit nyaris menjadi sesuatu yang mendarah daging dan nyaris selalu ada dimana saja. sehingga kenyataan seperti diatas selalu ada dimana-mana. Selalu saja ketika menyatakan sesuatu dan mengharapkan sesuatu, kita mendapati suasan yang ideal. Namun itu tidak pada tataran kenyataannya. Atau sangat jarang ditemukan satunya kata dengan perbuatan. Nyaris tidak ada masyarakat yang menginginkan keburukan dan ketidak nyamanan. Tapi ketidaknyamanan itu ada dan dilakukan oleh sebagian dari masyarakat itu juga. Mereka yang baik pada tampilan namun buruk pada kenyataan, maka muncul istilah "pencitraan".
Hipokrit adalah kenyataan yang selalu ada didepan mata, disaat menyaksikan pergulatan sosial ditengah masyarakat kita. Bukan tanpa ataran, bukan tanpa budaya, bukan tanpa keyakinan, namun kehadirannya bersifat menyeluruh dan umum. Ketika orang dengan sederhana menyebut kesalahan yang dilakukannya dengan kata silaf. Ketika orang dengan tanpa malu dan masih tersenyum disaat dia sudah dinyatakan dan terbukti bersalah.
Hipokrit memang punya tempat dimasyarakat kita. Keluar masuk partai politik tidak lagi barang tabu. Ketika mantan narapidana koruptor dengan bangga masih berkecimpung dalam partai politiknya. Ketika para selibriti yang nayata-nyata pernah terkena kasus asusila, masih memiliki pengemar dan malah tenar dimana-mana.
lantas ada apa dengan moral dan akhlak, dimana iya harus diletakan. Apakah dalam bingkai teori pengetahuan belaka, atau hanya tuntunan pribadi-pribadi saja tanpa terkonsespsikan dalam aturan sosial yang mengikat, kemana sangsi sosial, dimana moral bangsa dan bagaimana memulihkannya.