Oleh : Drs. H. Pardi Syamsuddin, MA
Penelitian dilakukan tahun 2013
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Ulama adalah orang yang memiliki ilmu pengetahuan
agama dan ilmu pengetahuan kealaman. Dengan ilmu-ilmu tersebut membawanya
kepada rasa takut atau tunduk kepada Allah SWT[1].
Di Indonesia, sebutan ulama
memiliki arti yang lebih sempit, yaitu orang yang memiliki pengetahuan ilmu
agama dalam bidang fikih atau identik dengan fukaha[2].
Dalam aktivitasnya sebagai
pembawa risalah setelah Nabi wafat, ulama dapat berfungsi sebagai berikut :
1.
Menyelamatkan agama dan umat Islam dari segala rongrongan, perpecahan dan
persengketaan.
2.
Meningkatkan kualitas umat, sehingga umat Islam mempunyai peranan yang
positif, aktif dan konstruktif dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
3.
Mewariskan Islam dengan baik dan benar kepada umat Islam dan generasi
penerus bagi lestarinya ajaran Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara[3].
Dalam melaksanakan fungsinya, ulama sangat terkait
dengan pola-pola yang dipakai oleh ulama yang bersangkutan, yaitu :
1.
Menjadikan Islam sebagai alternatif, yatu bahwa Islam merupakan sistem
nilai yang lengkap, merupakan alternatif terhadap sistem nilai yang telah ada,
baik dengan jalan mengubah sistem atau struktur yang ada atau tanpa mengubahnya. Untuk yang terakhir
ini, yang penting adalah meletakkan spirit Islam padanya.
2.
Pendekatan budaya, yaitu kaum Muslimin dibudayakan, terserah dengan aliran
atau paham Islam yang mana. Maksudnya, orang Islam harus dicerdaskan dan
akhirnya mereka akan mengatur hidup mereka menurut nilai-nilai Islam.
3.
Pendekatan sosial budaya, yaitu pendekatan yang mengharuskan penerimaan
kultur Islam. Artinya, institusi-institusi yang ada diubah kepada acuan Islam[4].
Selanjutnya dalam kehidupan sosial ulama berperan
pula sebagai yaitu tabligh, atau
menyampaikan (al Maidah ayat 67), tabyin atau
menjelaskan (an-Nahl ayat 44), tahkim atau memutuskan perkara ketika
ada persalan antar manusia (al-Bagarah ayat 213), dan sebagai uswah atau teladan (al-Ahzab ayat 21)[5].
Bahkan di Aceh ulama sebagai pemimpin pemerintahan dan pemimpin perang[6].
Menyangkut peran-peran tersebut dapat dipelajari
kasus Syekh Siti Jenar yang membawa paham wihdatul
wujud. Sunan Giri memutuskan memenggal kepala Siti Jenar karena dua alasan,
yaitu, 1. Dia telah mengajarkan hal-hal yang pelik dalam soal agama kepada
masyarakat awam. 2. Dia telah menyemaikan perpecahan di antara umat, mesjid
jadi kosong, dan integrasi umat menjadi
melonggar[7].
Keputusan Sunan Giri diterima masyarakat karena
ulama sangat berpengaruh. Pengaruh besar dari ulama ini muncul selain karena wibawa
ulama itu sendiri, tetapi juga karena ditopang oleh sistem pendidikan agama di
pesantren yang mengarah kepada orientasi vertikal dari kalangan santri kepada
kiainya[8].
[1].
Ensiklopedi Islam, (Jakarta : PT. Ikhtiar Baru Van Holve, 1994), jl. 5, h. 120
[3]. Lihat
Alamsyah Ratu Perwiranegara, loc.cit.
[4].
Abdurrahman Wahid, dkk, Kontroversi
Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 1991), h.
203-207
[5].
Ensiklopedi Islam, loc.cit
[6]. Taufik
Abdullah, ed., op.cit., h. 36-54
[7]. Taufik
Abdullah, Islam dan Masyarakat, (Jakarta
: LP3ES, 1987), h. 244
[8]. Lihat
Alamsyah Ratu Perwiranegara, op.cit.,h.
234