Teori Ekonomi Kebahagiaan Sejak Easterlin Paradox

SahabatRiau
0


Teori ekonomi kebahagiaan pertama kali mendapat perhatian luas setelah Richard Easterlin mengemukakan Easterlin Paradox pada tahun 1974. Easterlin menemukan bahwa meskipun pendapatan suatu negara meningkat dalam jangka panjang, tingkat kebahagiaan subjektif masyarakatnya tidak selalu ikut naik. Paradoks ini bertentangan dengan asumsi dasar dalam ekonomi neoklasik yang menyatakan bahwa peningkatan pendapatan akan selalu membawa peningkatan kesejahteraan.

Easterlin menjelaskan bahwa kebahagiaan individu tidak hanya bergantung pada pendapatan absolut tetapi juga pada pendapatan relatif. Ketika seseorang melihat orang lain memiliki pendapatan lebih tinggi, kepuasan mereka terhadap pendapatannya sendiri bisa berkurang. Fenomena ini dikenal sebagai efek perbandingan sosial, yang menjadi salah satu konsep utama dalam studi ekonomi kebahagiaan.


Perkembangan teori ekonomi kebahagiaan semakin meluas dengan penelitian yang dilakukan oleh Daniel Kahneman dan Angus Deaton pada tahun 2010. Mereka menemukan bahwa pendapatan memiliki hubungan positif dengan kesejahteraan emosional hingga batas tertentu, yaitu sekitar 75.000 USD per tahun. Setelah melewati batas ini, peningkatan pendapatan tidak lagi memberikan dampak signifikan terhadap kebahagiaan harian seseorang.


Bruno Frey dan Alois Stutzer (2002) memperkenalkan perspektif ekonomi kebahagiaan dengan pendekatan yang lebih luas. Mereka menekankan bahwa kebahagiaan tidak hanya ditentukan oleh pendapatan tetapi juga oleh faktor-faktor seperti kebebasan politik, partisipasi dalam proses demokrasi, dan kualitas institusi sosial. Penelitian mereka menegaskan bahwa kebahagiaan sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan kebijakan pemerintah.


Layard (2005), dalam bukunya Happiness: Lessons from a New Science, menyoroti pentingnya faktor sosial dan psikologis dalam ekonomi kebahagiaan. Ia menekankan bahwa kebahagiaan tidak hanya berkaitan dengan pendapatan, tetapi juga dengan kesehatan mental, hubungan sosial, dan rasa aman. Layard juga mengusulkan bahwa kebijakan ekonomi seharusnya mempertimbangkan aspek-aspek psikologis masyarakat agar lebih efektif dalam meningkatkan kesejahteraan.


Sen (1999), dalam teori Capability Approach, mengkritik pendekatan ekonomi tradisional yang hanya berfokus pada pendapatan sebagai ukuran kesejahteraan. Ia berpendapat bahwa kesejahteraan lebih baik diukur berdasarkan kemampuan individu untuk menjalani kehidupan yang mereka anggap bermakna. Konsep ini memperluas studi ekonomi kebahagiaan dengan menekankan pentingnya kebebasan dan akses terhadap sumber daya yang memungkinkan individu mencapai potensi mereka.


Stiglitz, Sen, dan Fitoussi (2009), dalam laporan mereka untuk OECD, juga menegaskan bahwa PDB bukan satu-satunya indikator kesejahteraan. Mereka mengusulkan agar kebijakan ekonomi lebih menitikberatkan pada indikator kesejahteraan subjektif dan kualitas hidup, bukan hanya pertumbuhan ekonomi. Pendekatan ini membuka jalan bagi pengukuran kesejahteraan yang lebih komprehensif.


Diener et al. (2010) mengembangkan konsep Subjective Well-Being (SWB) yang menekankan aspek emosional dan kognitif dalam menilai kebahagiaan individu. Menurut mereka, kesejahteraan subjektif seseorang terdiri dari kepuasan hidup, pengalaman emosi positif, serta rendahnya tingkat stres dan kecemasan. Konsep ini menjadi salah satu fondasi dalam pengukuran kebahagiaan modern.


Helliwell, Layard, dan Sachs (2012), dalam laporan World Happiness Report pertama, memperkenalkan indeks kebahagiaan dunia. Laporan ini mengukur kebahagiaan berdasarkan berbagai indikator, termasuk pendapatan, kesehatan, dukungan sosial, kebebasan dalam mengambil keputusan hidup, dan tingkat korupsi. Laporan ini menjadi rujukan utama bagi berbagai negara dalam mengevaluasi kebijakan kesejahteraan mereka.


Stevenson dan Wolfers (2008) mengkritik Easterlin Paradox dengan menunjukkan bahwa hubungan antara pendapatan dan kebahagiaan tetap positif meskipun dalam jangka panjang. Mereka berpendapat bahwa Easterlin Paradox tidak berlaku secara universal, dan ada bukti bahwa di beberapa negara peningkatan pendapatan tetap meningkatkan kebahagiaan.


Clark, Frijters, dan Shields (2008) membahas efek habituasi dalam kebahagiaan. Mereka menemukan bahwa individu sering kali beradaptasi dengan peningkatan pendapatan sehingga manfaat kebahagiaan dari pendapatan tambahan bersifat sementara. Temuan ini memperkuat argumen bahwa kebijakan ekonomi harus lebih berfokus pada faktor sosial dan psikologis dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.


Kroll dan Delhey (2013) meneliti hubungan antara kebahagiaan dan keadilan sosial. Mereka menemukan bahwa negara dengan tingkat ketimpangan ekonomi yang rendah cenderung memiliki tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa distribusi kekayaan yang lebih merata dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.


Graham (2017), dalam studinya mengenai kebahagiaan dan ketidaksetaraan, menunjukkan bahwa kesenjangan ekonomi dapat berdampak negatif terhadap kebahagiaan, terutama bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah. Ia juga menyoroti bahwa ketidakpastian ekonomi yang tinggi dapat menyebabkan stres dan menurunkan kesejahteraan subjektif.


Dalam beberapa tahun terakhir, penelitian ekonomi kebahagiaan semakin berkembang dengan mengintegrasikan aspek kesejahteraan digital dan keseimbangan antara kehidupan kerja dan kehidupan pribadi. Dengan meningkatnya kerja jarak jauh dan kemajuan teknologi, peneliti seperti Brynjolfsson dan McAfee (2020) mulai mengeksplorasi bagaimana transformasi digital memengaruhi kebahagiaan dan produktivitas.


Pandemi COVID-19 membawa dimensi baru dalam ekonomi kebahagiaan. Studi yang dilakukan oleh De Neve dan Krekel (2021) menunjukkan bahwa keterhubungan sosial dan jaminan kesehatan menjadi semakin krusial dalam menentukan kesejahteraan individu. Ini menunjukkan bahwa kebijakan ekonomi pasca-pandemi harus lebih menekankan pada dukungan kesehatan mental dan kohesi sosial.


Dolan et al. (2022) menyoroti peran makna dan tujuan hidup dalam ekonomi kebahagiaan. Penelitian mereka menemukan bahwa individu yang terlibat dalam pekerjaan yang bermakna serta kegiatan sosial dan keagamaan melaporkan tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi, terlepas dari tingkat pendapatan mereka.


Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah mulai mengadopsi metrik berbasis kebahagiaan dalam kebijakan mereka. Indeks Kebahagiaan Nasional Bruto (GNH) Bhutan, yang pertama kali diperkenalkan pada tahun 1970-an, kembali mendapat perhatian sebagai alternatif terhadap model pembangunan yang hanya berfokus pada PDB. Pendekatan serupa telah diterapkan di negara seperti Selandia Baru, yang memperkenalkan Wellbeing Budget sebagai bagian dari kebijakan ekonomi mereka.


Integrasi ekonomi Islam dalam penelitian kebahagiaan juga mulai berkembang. Chapra (2016) dan Nasr (2020) berpendapat bahwa prinsip-prinsip ekonomi Islam, yang menekankan keadilan, zakat, dan kesejahteraan sosial, sangat selaras dengan konsep ekonomi kebahagiaan. Mereka berargumen bahwa penerapan nilai-nilai etika dan spiritual dalam kebijakan ekonomi dapat menghasilkan kesejahteraan yang lebih holistik.


Penelitian masa depan dalam ekonomi kebahagiaan diperkirakan akan mengeksplorasi dampak kecerdasan buatan, otomatisasi, dan perubahan iklim terhadap kesejahteraan global. Seligman (2021) berpendapat bahwa psikologi positif akan memainkan peran yang semakin penting dalam merancang kebijakan ekonomi yang berorientasi pada kebahagiaan manusia.


Perkembangan ekonomi kebahagiaan menunjukkan bahwa kesejahteraan manusia dipengaruhi oleh interaksi yang kompleks antara faktor ekonomi, sosial, dan psikologis. Meskipun pendapatan tetap menjadi faktor penting, semakin banyak penelitian yang mendukung pandangan bahwa kebahagiaan yang berkelanjutan bergantung pada aspek yang lebih luas, seperti kesehatan, hubungan sosial, dan makna hidup.


Daftar Pustaka

  • Brynjolfsson, E., & McAfee, A. (2020). The Second Machine Age: Work, Progress, and Prosperity in a Time of Brilliant Technologies. W. W. Norton & Company.
  • Chapra, M. U. (2016). Islam and the Economic Challenge. Islamic Foundation.
  • Clark, A. E., Frijters, P., & Shields, M. A. (2008). "Relative Income, Happiness, and Utility: An Explanation for the Easterlin Paradox and Other Puzzles." Journal of Economic Literature, 46(1), 95–144.
  • De Neve, J. E., & Krekel, C. (2021). "The Science of Well-being and COVID-19: A Review." World Happiness Report 2021.
  • Diener, E., Lucas, R. E., & Scollon, C. N. (2006). "Beyond the Hedonic Treadmill: Revising the Adaptation Theory of Well-Being." American Psychologist, 61(4), 305–314.
  • Diener, E., Oishi, S., & Tay, L. (2018). Happiness: The Science of Subjective Well-Being. Guilford Publications.
  • Dolan, P., Peasgood, T., & White, M. (2022). Happiness by Design: Change What You Do, Not How You Think. Penguin Books.
  • Easterlin, R. A. (1974). "Does Economic Growth Improve the Human Lot? Some Empirical Evidence." In P. A. David & M. W. Reder (Eds.), Nations and Households in Economic Growth: Essays in Honor of Moses Abramovitz (pp. 89–125). Academic Press.
  • Frey, B. S., & Stutzer, A. (2002). Happiness and Economics: How the Economy and Institutions Affect Human Well-Being. Princeton University Press.
  • Graham, C. (2017). Happiness for All? Unequal Hopes and Lives in Pursuit of the American Dream. Princeton University Press.
  • Helliwell, J. F., Layard, R., & Sachs, J. (2012). World Happiness Report 2012. Earth Institute, Columbia University.
  • Kahneman, D., & Deaton, A. (2010). "High Income Improves Evaluation of Life but Not Emotional Well-Being." Proceedings of the National Academy of Sciences, 107(38), 16489–16493.
  • Kroll, C., & Delhey, J. (2013). "A Happy Nation? Opportunities and Challenges of Using Subjective Indicators in Policymaking." Social Indicators Research, 114(1), 13–28.
  • Layard, R. (2005). Happiness: Lessons from a New Science. Penguin Books.
  • Nasr, S. H. (2020). The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity. HarperOne.
  • Seligman, M. E. P. (2021). Flourish: A Visionary New Understanding of Happiness and Well-being. Atria Books.
  • Sen, A. (1999). Development as Freedom. Oxford University Press.
  • Stevenson, B., & Wolfers, J. (2008). "Economic Growth and Subjective Well-Being: Reassessing the Easterlin Paradox." Brookings Papers on Economic Activity, 2008(1), 1–87.
  • Stiglitz, J. E., Sen, A., & Fitoussi, J. P. (2009). Report by the Commission on the Measurement of Economic Performance and Social Progress. Commission on the Measurement of Economic Performance and Social Progress.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)