Jumat, 11 Maret 2016 | By: SahabatRiau

Tawhidi String Relation dalam Konteks Pembangunan, Perspektif Q. S. Al-Mukminun

Pandangan Islam terhadap kesejahteraan atau well-being selalu dikaitkan dengan konsep al-falah. Dengan demikian, pada proses 1 TSR, ontology tawhid yang disimbolkan dengan  Ω   dalam konteks ini dapat terlihat dari firman Allah SWT  dalam surat Al-Mukminun ayat 1 yang artinya “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman”.
            Qad aflahal mu’minuna (sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman). Kata aflaha adalah bentuk fi‘l madhi (kata kerja berbentuk lampau) dari kata falâh. Kata falâh sendiri terambil dari kata falaha – yaflahu – falhan wa falâhatan, yang diartikan sebagai “hasil baik”, “sukses”, atau ”memperoleh apa yang dikehendaki”. Dari sini, kata falah seringkali diterjemahkan dengan “beruntung”, “berbahagia”, “memperoleh kemenangan”, “memperoleh keselamatan”, dan sejenisnya dalam konteks penelitian ini disebut dengan kesejahteraan. Selain dalam Surat Al-Muslimun, di dalam al-Quran, kata aflaha yang berdiri sendiri di dalam suatu redaksi terulang sebanyak empat kali, yakni pada Q S. Thâhâ (20): 64, Q S. Al-Mu’minûn (23): 1, Q S. Al-A‘la (87): 14, dan Q S. Asy-Syams (91): 9. Keempatnya didahului oleh kata qad yang berarti “sesungguhnya”, yakni menunjukkan makna kepastian. Artinya kesejahteraan itu pasti terjadi pada setiap Mukmin.
            Kepastian Mukmin mendapatkan kesejahteraan sebagaimana janji Allah SWT Qad aflahal mu’minuun (Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman), di dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa harus memenuhi syarat sebagai berikut:
1.      Alladziina Hum fii shalaatihim khaasyi’uuna (yakni, orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya) (Q S. Al-Mu’minûn: 2). Ali bin Abi Thalhah menceritakan dari Ibnu ‘Abbas: khaasyi’uuna (Orang-orang yang khusyu) yaitu orang-orang yang takut lagi penuh ketenangan.” Dari ‘Ali bin  Thalib ra: “Yang dimaksud dengan khusyu’ di sini adalah kekhusyukan hati.” Sedangkan al-Hasan al-Bashri mengungkapkan: “Kekhusyukan mereka itu berada di dalam hati mereka, sehingga karenanya mereka menundukkan pandangan serta merendahkan diri mereka.
Khusyu’ dalam shalat hanya dapat dilakukan oleh orang yang mengonsentrasikan hati padanya serta melupakan berbagai aktivitas selain shalat, serta mengutamakan shalat atas aktivitas yang lain. Pada saat itulah akan terwujud ketenangan dan kebahagiaan baginya. Sebagaimana yang disabdakan Rasulullah saw. dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan an-Nasa-i, dari Anas, dari Rasulullah saw., dimana beliau bersabda: “Diberikan kepadaku kecintaan terhadap wanita dan wangi-wangian, dan shalat dijadikan untukku sebagai amalan yang paling menyenangkan.” (HR Ahmad dan an-Nasa-i).
2.      Walladziina Hum ‘anil laghwi mu’ri-dluun (Q S. Al-Mu’minûn: 3) (Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari perbuatan dan perkataan, yang tidak berguna) (Q S. Al-Mu’minûn:3). Yakni dari kebathilan dimana hal itu mencakup juga  kemusyrikan, sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian mereka, serta berbagai ucapan dan perbuatan yang tidak membawa faedah dan manfaat, sebagaimana yang difirmankan Allah: wa idzaa marruu bil laghwi marruu kiraaman (Dan apabila mereka bertemu dengan orang-orang yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui saja dengan menjaga kehormatan dirinya”) (al-Furqaan: 72). Qatadah berkata: “Demi Allah, mereka didatangi perintah Allah yang menghentikan mereka dari hal tersebut (tak berguna).
3.      Walladziina Hum lizzakaati faa’iluun (Q S. Al-Mu’minûn: 4) (dan orang-orang yang menunaikan zakat.) mayoritas berpendapat bahwa yang dimaksud dengan zakat di sini adalah zakat maal (harta), padahal ayat ini adalah Makkiyyah. Yang tampak secara lahiriyah, bahwa yang diwajibkan di Madinah adalah nishab dan ukuran yang khusus. Jika tidak demikian, berarti dasar zakat pertama diwajibkan di Makkah. Dan dalam surah al-An’am yang merupakan surah Makkiyyah, Allah Ta’ala berfirman: wa aatuu haqqahuu yauma hashaadihi (Dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya.) (al-An’am: 141), bisa saja yang dimaksud dengan zakat di sini adalah penyucian jiwa dari kemusyrikan dan kotoran. Yang demikian itu sama seperti firman-Nya: qad aflaha man zakkaaHaa wa qad khaaba man dassaaHaa (“Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (asy-Syams: 9-10) wallaaHu a’lam.
4.      walladziina Hum lifuruujiHim haafidhuun. Illaa ‘alaa azwaajiHim au maa malakat aimaanuHum fa innaHum ghairu maluumiina. Famanibtaghaa waraa-a dzaalika fa-ulaa-ika Humul ‘aaduun. (Q S. Al-Mu’minûn: 5-7) (Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa yang mencari dibalik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas). yakni orang-orang yang telah memelihara kemaluan mereka dari yang haram, sehingga mereka tidak terjerumus dalam hal-hal yang dilarang oleh Allah swt. Baik itu dalam bentuk perzinaan maupun liwath (homoseksual). Dan mereka tidak mendekati kecuali istri-istri mereka sendiri yang telah dihalalkan oleh Allah bagi mereka atau budak-budak yang mereka miliki. Barang siapa yang mengerjakan apa yang dihalalkan oleh Allah, maka tidak ada cela dan dosa baginya. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman: fa innaHum ghairu maluumiin. famanibtaghaa waraa-a dzaalika (Maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa mencari yang dibalik itu) maksudnya selain istri dan budak. Fa-ulaa-ika Humul ‘aaduun (“Maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.”) wallaaHu a’lam.
5.      Walladziina Hum li amaanaatiHim wa ‘aHdiHim raa’uuna (Q S. Al-Mu’minûn: 9) (Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat yang dipikulnya dan janjinya), yakni jika mereka diberi kepercayaan, maka mereka tidak akan mengkhianatinya tetapi mereka menunaikannya kepada yang berhak. Dan jika mereka berjanji atau melakukan akan perjanjian, maka mereka menepatinya, tidak seperti sifat-sifat orang munafik.
6.      Walladziina Hum ‘alaa shalawaatiHim yuhaafidhuuna (Q S. Al-Mu’minûn: 9). (Dan orang-orang yang memelihara shalatnya). Maksudnya senantiasa mereka mengerjakannya tepat pada waktunya, sebagaimana diungkapkan oleh Ibnu Mas’ud, aku pernah bertanya kepada Rasulullah saw., kutanyakan: “Ya Rasulallah, apakah amal perbuatan yang paling disukai Allah?” Beliau menjawab: “Shalat tepat pada waktunya.” “Lalu apa lagi?” tanyaku. Beliau menjawab: “Berbakti kepada kedua orang tua.” “Kemudian apa lagi?” tanyaku lebih lanjut. Maka beliau menjawab: “Jihad di jalan Allah.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim di dalam kitab ash-Shahihain. Qatadah berkata: “Tepat pada waktunya, ruku’ dan sujudnya.”
Kesejahteraan yang diperoleh seorang Mukmin sebagaimana janji Allah SWT diatas,  bukan hanya terhenti pada kehidupan dunia, akan tetapi kesejahteraan itu akan berakhir di akhirat. Hal itu sebagai mana Ibnu Khasir dalam tafsir ayat berikutnya,  ulaa-ika Humul waaritsuuna. Alladziina yaritsuunal firdausaHum fiiHaa khaaliduuna (Q S. Al-Mu’minûn: 10,11) (“Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi, yakni yang akan mewarisi Surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya.). Dalam kitab ash-Shahihain disebutkan, bahwa Rasulullah saw. telah bersabda: “Jika kalian meminta surga kepada Allah, maka mintalah surga Firdaus kepada-Nya, karena sesungguhnya Firdaus adalah surga yang paling tengah-tengah dan paling tinggi. Diperlihatkan kepadaku di atasnya terdapat ‘Arsy Rabb yang Maha Pemurah.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra. dia bercerita, Rasulullah saw. bersabda: “Tidak seorang pun dari kalian melainkan mempunyai dua kedudukan. Satu kedudukan di surga dan satu kedudukan di neraka. jika dia mati dan masuk neraka, maka kedudukannya di surga diwarisi oleh penghuni surga. Dan itulah makna firman-Nya: ‘Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi.’” (HR Ibnu Majah).
Dari Surat Al-Mukminun 1 sd 11,  serta didukung oleh hadist-hadist  sebagaimana tafsir Ibnu Katsir diatas sesungguhnya dapat ditarik pengetahuan tawhid menyangkut kesejahteraan yang dalam konteks TSR dilambangkan dengan teta (θ). Bahwa keberadaan Islam dan umatnya adalah untuk menciptakan keadaan yang sejahtera (falah), hal  ini didukung pula dengan firman Allah SWT  yang artinya : Dan tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam (Q.S. alanbiyâ’: 107).
Teta (θ) yang dikeluarkan dari surat Al-Mukminun 1- 11 itu mengajarkan bahwa kesejahteraan akan diperoleh bilamana manusia mengaktualisasikan ketentuan Allah SWT sebagai berikut :
1.      Khusyuk dalam beribadah.
2.      Menjauhkan diri dari perbuatan dan perkataan yang tidak berguna.
3.      Mengeluarkan zakat.
4.      Menjaga kehormatan diri
5.      Menjaga amanah
6.      Dan memelihara sholatnya.
Ketika teta (θ) kesejahteraan ini dilihat dari sudut pandang maqasyid syariah, maka kehendak tawhid yang disampaikan dalam bahasa langit itu diterjemahkan dalam bahasa yang membumi untuk kepentingan sejagat. Maka terjadilah proses interaksi dengan sistem yang ada, diantaranya sistem politik, ekonomi dan budaya. Integrasi yang dilahirkan dari sistem itu melahirkan X (θ), dimana dalam konteks penelitian ini X (θ) tidak lain adalah proses pembangunan itu sendiri. Sehingga pembangunan dapat dipandang sebagai syuratic proses,  diantara teori dengan realitas, diantara berbagai stake holder, pemerintah, masyarakat dan pelaku usaha dan sebagainya.
Perbedaan sistem pada masyarakat akan menyebabkan model integrasi yang berbeda bagi tiap-tiap masyarakat. Masyarakat dengan sistem kapitalis percaya bahwa proses pembangunan harus dapat memperbesar kapasitas ekonomi masyarakat, sehingga melahirkan pendapatan (PDB per kapita) sebagai ukuran kinerja pembangunan. Lain pula halnya dengan masyarakat sosialis, pembangunan selalu dipandang sebagai proses pemerataan dengan cita-cita welfare stat (negara kesejahteraan).
Meskipun dengan berbagai perbedaan dalam model X (θ) atau pendekatan pembangunan, semua model itu pasti berharap kepada suatu tatanan nilai well-being fuction  yang dilambangkan dengan W(θ, X (θ)), dimana semua model pendekatan pembangunan menginginkan satu tatanan masyarakat yang sejahtera.

0 Comments:

Posting Komentar