Sabtu, 05 Maret 2016 | By: SahabatRiau

PERJUANGAN YAYASAN TAFAQQUH FIDDIN DALAM PEMBANGUNAN PERADABAN KEISLAMAN DI KOTA DUMAI (bagian 2)

Oleh : Drs. H. Pardi Syamsuddin, MA
Penelitian dilakukan tahun 2013

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Ulama adalah orang yang memiliki ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan kealaman. Dengan ilmu-ilmu tersebut membawanya kepada rasa takut atau tunduk kepada Allah SWT[1].
          Di Indonesia, sebutan ulama memiliki arti yang lebih sempit, yaitu orang yang memiliki pengetahuan ilmu agama dalam bidang fikih atau identik dengan fukaha[2].
          Dalam aktivitasnya sebagai pembawa risalah setelah Nabi wafat, ulama dapat berfungsi sebagai berikut :
1.    Menyelamatkan agama dan umat Islam dari segala rongrongan, perpecahan dan persengketaan.
2.    Meningkatkan kualitas umat, sehingga umat Islam mempunyai peranan yang positif, aktif dan konstruktif dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
3.    Mewariskan Islam dengan baik dan benar kepada umat Islam dan generasi penerus bagi lestarinya ajaran Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara[3].
Dalam melaksanakan fungsinya, ulama sangat terkait dengan pola-pola yang dipakai oleh ulama yang bersangkutan, yaitu :
1.    Menjadikan Islam sebagai alternatif, yatu bahwa Islam merupakan sistem nilai yang lengkap, merupakan alternatif terhadap sistem nilai yang telah ada, baik dengan jalan mengubah sistem atau struktur yang ada atau tanpa mengubahnya. Untuk yang terakhir ini, yang penting adalah meletakkan spirit Islam padanya.
2.    Pendekatan budaya, yaitu kaum Muslimin dibudayakan, terserah dengan aliran atau paham Islam yang mana. Maksudnya, orang Islam harus dicerdaskan dan akhirnya mereka akan mengatur hidup mereka menurut nilai-nilai Islam.
3.    Pendekatan sosial budaya, yaitu pendekatan yang mengharuskan penerimaan kultur Islam. Artinya, institusi-institusi yang ada diubah kepada acuan Islam[4].
Selanjutnya dalam kehidupan sosial ulama berperan pula sebagai yaitu tabligh, atau menyampaikan (al Maidah ayat 67), tabyin atau menjelaskan    (an-Nahl ayat 44), tahkim atau memutuskan perkara ketika ada persalan antar manusia (al-Bagarah ayat 213), dan sebagai uswah atau teladan (al-Ahzab ayat 21)[5]. Bahkan di Aceh ulama sebagai pemimpin pemerintahan dan pemimpin perang[6].
Menyangkut peran-peran tersebut dapat dipelajari kasus Syekh Siti Jenar yang membawa paham wihdatul wujud. Sunan Giri memutuskan memenggal kepala Siti Jenar karena dua alasan, yaitu, 1. Dia telah mengajarkan hal-hal yang pelik dalam soal agama kepada masyarakat awam. 2. Dia telah menyemaikan perpecahan di antara umat, mesjid jadi kosong, dan integrasi  umat menjadi melonggar[7].
Keputusan Sunan Giri diterima masyarakat karena ulama sangat berpengaruh. Pengaruh besar dari ulama ini muncul selain karena wibawa ulama itu sendiri, tetapi juga karena ditopang oleh sistem pendidikan agama di pesantren yang mengarah kepada orientasi vertikal dari kalangan santri kepada kiainya[8].



[1]. Ensiklopedi Islam, (Jakarta : PT. Ikhtiar Baru Van  Holve, 1994), jl. 5, h. 120
[2]. Ibid., h. 121
[3]. Lihat Alamsyah Ratu Perwiranegara, loc.cit.
[4]. Abdurrahman Wahid, dkk, Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 1991), h. 203-207
[5]. Ensiklopedi Islam, loc.cit
[6]. Taufik Abdullah, ed., op.cit., h. 36-54
[7]. Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat, (Jakarta : LP3ES, 1987), h. 244
[8]. Lihat Alamsyah Ratu Perwiranegara, op.cit.,h. 234 

0 Comments:

Posting Komentar