Sabtu, 05 Maret 2016 | By: SahabatRiau

Pembangunan dan Kemiskinan

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhqVJS37jW_vjinLeN4qGO17hBeqQRtP3MikZz1BdeyXW4lpgBzCFIaoYtVTL0byrie8vINFo-xHz9-44g6CNTV4v2iiLKmtSVZqZJ8yz2YFSWjNNtrcH9zTmvx7cueChbsfd5GO_SBHRw/s1600/Kawasan+Kumuh2.jpg
Pembangunan adalah satu istilah yang selalu digunakan untuk menyatakan suatu kemajuan atau perkembangan. Di Indonesia istilah pembangunan dari masa-kemasa mengalami pergeseran-pergeseran nilai dalam pemaknaanya. Masa awal kemerdekaan, pembangunan lebih dikesankan kepada preses idiologisasi penyatuan, pada masa itu keperluan akan semangat kebangsaan menjadi orientasi utama dalam proses pembangunan. Karenenanya terminologi pembangunan pada masa itu kalah populer dengan terminologi “perjuangan”. Soekarno yang merupakan presiden Indonesia pertama pada masa itu lebih membawakan ide-ide perjuangan dengan landasan idiologi filosofis yang kental.
Selanjutnya, masa orde baru yang dinahodai oleh Soeharto sebagai presiden Indonesia pada masa itu, menjadikan terminologi pembangunan  sebagai sesuatu yang penting yang menyebabkan istilah pembangunan menjadi sangat popular, bahkan sampai beliau digelar dengan Bapak Pembangunan. Gelar yang disandang sang presiden orde baru itu agaknya cukup beralasan, karena pada masa itulah pembangunan di Indonesia mulai dilakukan secara rasional dan terencana. Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang merupakan rencana  pembangunan lima tahun (repelita) pertama sekali diperkenalkan dan dijalankan pada masa itu.
Meskipun pembangunan telah terrancang dengan cukup baik pada masa orde baru, namun diakibat faslsafah pembangunan yang tidak kokoh menyebabkan pembangunan orde baru gagal dengan ditandai jatuhnya presiden Suharto pada tahun 1997. Selain dari sisi falsafah, kegagalan orde baru itu juga disebabkan oleh distorsi penggunaan istilah pembangunan yang terlalu berlebihan, menyebabkan pembangunan menemui jalan buntu dan jauh dari makna yang sesungguhnya.
Dipenghujung priode orde baru, istilah pembangunan lebih banyak digunakan sebagai alat politik kekuasaan. Dengan beralasankan kepentingan pembangunan, hak-hak rakyat kecil tertindas, tanah digusur, kekayaaan daerah dieksploitasi secara  berlebihan-lebihan dan banyak lagi hal-hal yang dilakukan, yang sesungguhnya bertentangan dengan semangat pembangunan itu sendiri.
Seperti yang terjadi di Provinsi Riau, hutan ulayat milik masyarakat adat yang sangat sakral sekalipun, harus dikorbankan kepada pengusaha-pengusaha guna dikuras hasil hutannya dan selanjutnya kawasan hutan itupun dikonfersi menjadi kawasan perkebunan. Semua ini dilakukan untuk alasan pembangunan nasional, tanpa memperdulikan dampak kerusakan alam dan bahkan sedikitpun tidak mempedulikan kepetingan masyarakat lokal.
Pasca reformasi istilah pembangunan tidak marak lagi dibicarakan. Reformasi sempat menjadi terminologi yang populer mengantikan istilah pembangunan. Namun itu tidak lama, pada gilirannya istilah reformasipun menghilang dari berbagai wacana karena dianggap tidak berhasil  menyelesaikan permasalahan utama masyarakat yakni kemiskinan dan keterbelakangan.
Lepas dari fenomena pembangunan dan dialektika istilah pembangunan sebagai pengalaman indonesia tersebut, secara teoritis Ndraha (1990) memberikan pengertian bahawa pembangunan bertalian rapat dengan konsep pertumbuhan, rekonstruksi, modenisasi, westernisasi, perubahan sosial, pembebasan, pembaharuan, pembangunan bangsa, pembangunan nasional, pengembangan, kemajuan, perubahan terancang dan pembinaan. Dengan demikian tidak ada satu defenisi tunggal dalam menjelaskan tentang pembangunan.
Luasnya cakupan ruang kajian pembangunan itu menyebabkan pembangunan menjadi sebuah studi yang multi disipliner. Akan tetapi ketika dilihat dari objeknya, maka studi pembangunan tidak lain adalah upaya dalam menyelesaikan permasalahan keterbelakangan dengan mengunakan berbagai pendekatan. Karena ianya berbicara mengenai keterbeakangan yang dicirikan dengan ketidakberdayaan, ketergantungan, kebodohan, rendahnya kesehatan yang semuanya bermuara pada kemiskinan. Kemiskinan yang dinyatakan disini tidak lain adalah dari sisi material dan anmaterial (harkat kemanusiaan). Ketika berbicara mengenai kemiskinan, maka pendekatan ekonomi selalu sesuatu yang menjadi  sesuatu yang sangat dipentingkan.  meskipun sesungguhnya pendekatan-pendekatan lainnya diluar ekonomi juga turut dilakukan.
Akibat kebutuhan pembangunan yang cukup besar terhadap ruang ekonomi tersebut, menyebabkan disiplin ilmu ekonomi pembangunan menjadi sebuah setudi yang berkembang pesat. Ekonomi pembangunan adalah disiplin ilmu tersendiri yang memiliki perbedaan dengan ilmu ekonomi, ekonomi politik dan sosiologi ekonomi.  Namun sesungguhnya ketiga ilmu ini merupakan elemen utama keujudan dari ekonomi pembangunan.
Ilmu ekonomi memberikan tumpuan utama pada semua hal yang berkaitan dengan analisis terhadap tindakan ekonomi terhadap segenap sumber daya langka  guna kemanfaatan sebesar-besarnya. Sementara ekonomi politik menekankan kepada otoritas kekuasan dalam menentukan tindakan-tindakan ekonomi dan begitupula halnya dengan sosiologi ekonomi yang coba menganalisis fenomena ekonomi dari variabel-variabel sosial. Berbeda dengan itu semua, ekonomi pembangunan menyajikan satu analisis tentang proses pertumbuhan dan pendistribusian ekonomi dengan memperhatikan  mekanisme ekonomi, sosial, politik dan kelembagaan yang terkandung  dalam sektor suwasta  maupun pemerintah/publik (Todaro:2000).
Pengembangan teori pembangunan  konvesional sampai hari  ternyata belum mampu menjawab secara utuh persoalan pemabangunan yakni keterbelakangan. Apa yang terjadi adalah bahwa pendekatan studi ekonomi pembangunan lebih bersifat materialistik. Sehingga belum mampu menyingkap keterbelakangan itu secara seutuhnya. Teori moderniasi yang merupakan rintisan awal teori pembangunan telah meletakan fahaman materialisme sebagai objek filosofis pembangunannya.
Secara epistimologi teori modernisasi ini menghendaki bahwa kelangkaan sumberdaya ekonomi yang terjadi pada masyarakat miskin itu harus diatasi secara mandiri oleh masyarakat tersebut tanpa ada ketergantungan dari masyarakat yang manapun. Selain itu teori ini, juga memahami bahwa negara terbelakang harus banyak menimba pengalaman dari negara-negara maju. Kemajuan dan keterbelakangan sebuah negara menurut teori ini, diukur dari indikator-indikator yang materialistik tersebut. Teori ini pada akhirnya hanya mengantarkan  manusia menjadi sangat meterialistik dan bahkan hedonis. Dalam kondisi ini kemiskinan menjadi bertambah parah karena tingkat kebutuhan orang-orang kaya menjadi sangat tidak terbatas.
Teori ketergantungan pembangunan agaknya mencoba melihat fenomena itu dengan menyatakan bahwa proses pemodernan saja tidak cukup untuk melepaskan masyarakat dari kemiskinan. Untuk itu teori ini secara radikal menyatakan bahwa adanya orang miskin atau negara miskin disebabkan oleh adanya orang kaya atau negara kaya. Sehingga ketergantungan memang sengaja diciptakan sehingga kebutuhan orangkaya yang tidak terbatas itu dapat dipenuhi oleh orang miskin dengan biaya murah. Para penggas teori ini menganjurkan supaya negara-negara miskin (sedang berkembang) untuk mengurangi tingkat ketergantungan mereka terhadap negara-negara maju.
Anjuran untuk mengurangi ketergantungan ekonomi itu sepertinya sulit dilakukan menginggat bagi negara-negara sedang berkembang perdagangan internasional masih merupakan satu kebutuhan yang mendasar dalam pembangunan ekonomi nasional. Disamping itu teori ini pun dianggap lemah oleh banyak pakar pembangunan karena objeknya yang kabur. Mereka mengkeritik ketergantungan itu tidak terjadi pada setiap negara terhadap setiap negara lainnya. Sehingga teori ketergantungan dipandang gagal untuk menyelesaikan keterbelakangan dan kemiskinan masyarakat.
Kegagalan pendekatan-pendekatan  pembangunan diatas sesungguhnya berpunca pada hakikat pembangunan sebagaimana dinyatakan sebelumnya yakni menyelasakan masalah keterbelakangan. Sementara itu keterbelakangan itu berada pada duasisi  yang selalu bertentanggan diantara materi dan anmaterial (harkat Kemanusiaan). Materi diperlukan guna mempertahankan proses kehidupan dan anmaterial seperti kemerdekaan, moral, spiritual, budaya, etika dan estetika pula merupakan prangkat dasar bagi manusia dalam mengaktualisasikan kehidupan kemanusiaannya itu, yang juga dapat dinyatakan dengan  harkat kemanusiaan. Keduanya sangat penting dan saling mengisi serta membatasi. Untuk itu kelemahan teori pembangunan selama ini adalah ketika pembangunan hanya bertumpu kepada materi dan meninggalkan sisi-sisi yang lainnya.
Kondisi yang ideal sesungguhnya adalah penyatuan diantara pemenuhan kebutuhan materi dan harkat kemanusiaan itu secara bersamaan dan seimbang. Keseimbangan diantara keduanya itulah yang menjadi wacana dalam ekonomi Islam. Berkembangnya wacana ekonomi Islam saat ini sesungguhnya dapat menjawab kegagalan pendekatan pembangunan sebagaimana diatas. Perbedaaan diantara ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional itu terletak pada falsafah ekonominya. Sehingga dengan perbedaan itu, akan juga berdampak kepada praktek dalam berekonomi. Ekonomi Islam secara philosofi berorientasi pada falah (kebahagian) sementara ekonomi konvensional berorientasi pada materi (kebendaan). Selain itu, dari aspek keadilan dalam berekonomi juga terjadi perbedaan. Bila kita simak Surat Al-Baqarah ayat 275, di sana Allah SWT Menyatakan bahwa, ” Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Bila kita pahami ayat ini, maka dalam peraktek ekonomi Islam secara philosofi tidak membolehkan adanya ketidak adilan ekonomi (pengzholiman) dan falah sebagai orientasi ekonomi Islam hanya dapat diraih dengan jalan ”diusahakan” atau dengan kata lain tidak boleh ada prinsip ”uang mencari uang tanpa kerja ”. Bila dalam konteks jual-beli, nilai lebih atau yang disebut keuntungan adalah hasil dari  usaha.
Beberapa ulama terdahulu mendefenisikan keuntungan ini dengan ”konpensasi”. Sementara riba’, juga berorientasi pada nilai lebih namun bedanya adalah nilai lebih itu lazim disebut dengan ”bunga”. Bunga, tidak dapat disamakan dengan konpensasi, karena ianya dihutung pada masa awal dan sang kreditur tidak memiliki resiko atas kerugian usaha yang diderita oleh sang peminjam. Sementara dalam ekonomi Islam harus berlaku prinsip profit-loss Sharing atau bagi hasil (Mudharobah).
Sekilas pemikiran ekonomi Islam diatas jelas memperlihatkan bahwa pendekatan ekonomi Islam tidak terhenti hanya pada materi namun ianya harus berlanjut sampai kepada tingkat kebahagiaan. Terminologi kebahagian bagi manusia sesungguhnya bukanhanya sebatas memiliki dan atau menikmati, kebahagian adalah etika dan sekaligus estetika yang berkaitan dengan lahir dan batin. Dengan demikian ekonomi Islam adalah solusi alternatif atas kegalauan pendekatan pembangunan yang sampai saat ini tidak menemukan titik penyelesaiannya. Untuk itu sains pembangunan harus dikembalikan lagi kedalam bingkai falsafah pemikiran pembangunan yang benar yakni penyelerasana diantara materi dengan kemanusiaan itu sendiri.

0 Comments:

Posting Komentar