Ketika agama Islam mulai masuk ke tanah Melayu yakni di
Kerajaan
Melaka sekitar abad ke-VII Masehi, peradaban Melayu yang semula
dipengaruhi oleh paham Hindu dan Budha, berangsur-angsur berubah dan
dipengaruhi oleh paham Islam.
Pandangan orang Melayu terhadap agama
Islam sangat kental, sehingga muncul konsep bahwa Melayu identik dengan
Islam. Bagi orang Melayu, konsep tersebut bukanlah sebatas selogan,
karena konsep itu benar-benar diaktualisasikan dalam kehidupan
sehari-hari. Bila ada orang Melayu yang murtad (keluar dari agama
Islam), maka ia tidak lagi dikatakan sebagai orang Melayu. Tetapi
sebaliknya, bila ada orang Cina yang hidup di tengah masyarakat Melayu
masuk Islam, maka dia dikatakan masuk Melayu.
Di Malaysia,
pendefinisian orang Melayu itu adalah masyarakat bumiputera yang
beragama Islam. Selain itu adalah Cina dan India. Begitu juga halnya
dengan di Riau, meskipun tidak didefinisikan sedemikian rupa, namun ada
garis yang memagari Melayu Riau, yakni dengan konsep ‘adat bersendikan
syara’. Artinya secara implisit, orang Melayu Riau mestilah beragama
Islam.
Pandangan yang kental terhadap Islam, mengakibatkan Islam di
sisi orang Melayu tidak hanya sebagai sebuah agama, namun ia menjadi
sebuah kekuatan politis. Biasanya orang Melayu sangat tegas menolak
pemimpin yang bukan beragama Islam, namun untuk aspek mua’malah orang
Melayu sangat terbuka. Contohnya dalam persoalan perniagaan, orang
Melayu dapat menjalin perniagaan dengan bangsa apapun juga. Praktik
niaga Ali Baba misalnya, dimana yang dikedepankan adalah Ali (orang
Melayu) sementara yang sebenarnya memiliki perniagaan itu adalah Baba
(orang Cina).
Orang Melayu biasanya sangat membatasi pergaulan
dengan masyarakat lain pada perkara-pekara yang menurut mereka
berhubungan dengan urusan akhirat atau agama. Namun, untuk perkara yang
menurut mereka adalah urusan dunia, mereka bersikap sangat terbuka.
Sehingga yang menjadi persoalan adalah, urusan mana yang mereka
definisikan sebagai perkara akhirat dan mana pula perkara dunia ?
Dalam
perkara kekuasan, orang Melayu memiliki pandangan yang beragam. Dalam
menentukan pemimpin, mereka tidak mengenal kasta tetapi mereka sangat
mengutamakan superioritas personal. Mereka ini di mata masyarakat,
memiliki status sosial tersendiri. Orang-orang yang dianggap memiliki
status sosial itu antara lain, adalah para ulama dan selanjutnya para
datuk-datuk persukuan adat, setelah itu barulah teknokrat, ilmuwan dan
birokrat. Namun pertimbangan yang terpenting adalah masalah agama.
Isu
agama bagi masyarakat Melayu merupakan hal yang sangat sensitif.
Karenanya isu ini menjadi komoditas politik yang sangat laku di kalangan
orang Melayu. Mayoritas orang Melayu, mendukung partai politik yang
memiliki platform agama. Pada masa Pemilihan Umum tahun 1977 misalnya,
orang Melayu mayoritas bergabung dengan partai Nahdlatul Ulama dan
Masyumi. Platform kedua partai ini adalah, Islam Ahlussunnah Wal-Jama’ah
. Namun pada masa Pemilu Orde Baru, sikap demikian tidak mereka
tonjolkan mengingat rezim pada masa itu sangat berpihak kepada Golkar.
Selain itu, para fungsionaris Golkar dalam kampanyenya kepada masyarakat
juga menggunakan pendekatan sentimen agama. Seperti menggunakan para
ulama sebagai juru kampanye, menggunakan simbol-simbol dan atribut
keagamaan, meskipun Golkar sama sekali bukan partai agama maupun partai
yang berbasis agama.
Orang Melayu tidaklah seperti Syiah yang
berpendirian adanya imamah dan tidak juga bersikap sekuler dalam
memandang agama dan kekuasaan. Menurut pandangan penulis, kebutuhan
orang Melayu akan kekuasaan lebih banyak tertumpu pada bagaimana
kekuasaan itu dapat menjadi pelindung atas tegaknya syi’ar agama.
Meskipun mereka memandang kekuasaan itu sebagai perkara dunia, namun
kekuasaan itu amat menentukan kelangsungan syi’ar agama.
Konsep
pemilahan agama dengan kekuasaan itu bagi orang Melayu tidaklah
merupakan hal yang baru. Pada masa pemerintahan beraja, para raja tidak
sekaligus menjadi pembesar agama, sebagaimana yang dipraktikkan
kerajaan-kerajaan Eropa pada zaman pertengahan. Pada masa itu, agama
Kristen mampu menggeser peran mitos dalam membangun imperium Eropa.
Meskipun Islam dipeluk oleh kerajaan-kerajaan Melayu, namun imperium
Melayu itu tidak dibangun berdasarkan kekuatan dan teologi Islam.
Sebagai
sebuah catatan yang menarik dari pandangan orang Melayu terhadap
kekuasaan, dinyatakan bahwa sejak awal mitos kekuasaan bagi orang Melayu
adalah mitos tentang superioritas seseorang. Yaitu berdasarkan atas
kemampuan pribadinya, seperti kepatriotan, kearifan, kepintaran,
kecerdikan dan sebagainya. Contoh legenda yang terkenal bagi masyarakat
Melayu pada saat itu adalah cerita tentang keperkasaan Raja Iskandar
Zulkarnain Agung (Alexander the Great). Dari cerita ini, mengandung
pengertian bahwa menurut pandangan masyarakat Melayu, kekuasaan semenjak
dahulu, yang dipegang oleh seorang raja atau penguasa adalah mereka
yang juga manusia biasa tetapi memiliki kelebihan-kelebihan tertentu
(pandangan yang horizontal).
Berbeda halnya dengan kerajaan-kerajaan
lain seperti di Pulau Jawa, masyarakat Jawa memiliki mitos kekuasaan
yang berbeda. Mitos yang berkembang pada masyarakat tersebut,
diceritakan raja adalah titisan Sang Dewa. Sehingga dengan pandangan
seperti itu, semua superioritas yang dimiliki oleh seorang raja adalah
merupakan jelmaan keperkasaan Sang Dewata (pandangan yang vertikal).
Pandangan
yang horizontal terhadap kekuasaan raja memunculkan sikap partisipatif
masyarakat. Artinya, pengabdian kepada sang raja tidak semata-mata
didasarkan atas ketaatan yang membabi-buta, meskipun masih dalam sistem
daulat tuanku. Pada masa itu, daulat rakyat sebagaimana yang dituntut
oleh sistem demokrasi sekarang, tentulah belum dikenal.
Legenda Hang
Tuah dan Hang Jebat barangkali menjadi bukti atas konsep ini. Betapa
kejadian atau cerita yang mengandung unsur filosofis ‘semodern’ itu bisa
terjadi di Melaka di zaman dulu. Hang Tuah sebagai perlambang atas
sikap patriotis yang mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan
apapun juga. Sementara itu, Hang Jebat sebagai perlambang atas anti
status quo yang memandang keadilan sebagai sesuatu yang tak boleh
dihilangkan oleh penguasa. Ungkapannya yang terkenal adalah “Raja adil
raja di sembah, Raja zalim raja disanggah”.
Apa yang dilakukan oleh
Hang Jebat di dalam menegakkan keadilan merupakan manifestasi dari sikap
yang responsif dan partisipatif terhadap kekuasan. Jebat coba mencegah
kesemena-menaan sang raja, karena beliau lebih dahulu memiliki pandangan
bahwa raja adalah seorang manusia biasa yang sudah tentu memiliki
kelemahan dan kekurangan. Mungkin sanggahan itu tidak akan dilakukannya
bila ia memandang bahwa raja adalah tetesan sang Dewa yang tidak mungkin
memiliki kekurangan dan kelemahan.
Dengan demikian jelas bahwa
orang Melayu memiliki pandangan yang memisahkan antara teologi dengan
kekuasaan. Namun kekuasaan bagi orang Melayu harus dapat memberikan
jaminan atas terpeliharanya syi’ar agama. ***
(tulisan ini di petik dari Buku “Kontenplasi Filosofis Pembangunan Lpnupress 2004)
Posting Komentar
0Komentar