Running Text - Dr. Rizal Akbar
Assoc Prof Dr. H. M. Rizal Akbar, S.Si, M.Phil adalah Rektor Institut Agama Islam Tafaqquh Fiddin Dumai dan Sekjen Perhimpunan Ilmuwan Pesisir Selat Melaka (PIPSM). Beliau juga merupakan Doktor Ekonomi Islam terbaik Universitas Trisakti Jakarta tahun 2016 dan Pengurus Pusat Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) Komite Organisasi, Wilayah dan Komisariat. Anak bungsu dari pasangan H. Akbar Ali (Alm) dan Hj. Aisyah (Almh) ini lahir di Sungai Alam, Bengkalis 12 September 1974. Memulai pendidikan di SD Negeri 61 Sungai Alam, SMPN 3 Bengkalis dan SMAN 2 Bengkalis. Sarjan S1 Diselesaikannya di Universitas Riau, Pada Jurusan Matematika FMIPA, Tahun 1998. Menyelesaikan S2 di Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM). Pada tahun 2007 dengan gelar Master Of Philosopy (M. Phil) yang selanjutnya mengantarkan beliau pada program Doktor di Islamic Economic and Finance (IEF) Universitas Trisakti Jakarta yang diselesaikannya pada tahun 2016 dengan kelulusan Cumlaude, dan Doktor Ekonomi terbaik I.

Rizal Akbar Terima Anugrah Satria Pujangga Bangsa tahun 2025

Assoc Prof Dr.H.M. Rizal Akbar, M.Phil terpilih sebagai penerima Anugrah "Tokoh Adat Dan Budaya Nusabtara

Rizal Akbar Terima Anugrah Hang Tuah DMDI

Anugrah diserahkan langsung oleh TYT Tun Seri Setia Dr. Hj Mohd Ali Bin Rustam

Rizal Akbar Terima Anugrah KRH Dari Kraton Surakarta Hadininggrat Solo

Assoc Prof Dr. H. M. Rizal Akbar, M.Phil mendapat gelar Kanjeng Raden Haryo (KRH) Dwijobaroto Dipura dalam sebuah helat yang digelar Kraton Surakarta Hadiningrat.

Rizal Akbar Ikut Dilantik Menjadi Pengurus DPP IAEI 2025-2030

Ketum IAEI Pusat yang Juga Menteri Agama RI, Prof Dr KH Nazaruddim Umar MA: Sinergi Wujudkan Indonesia Pusat Ekonomi Islam Dunia

Rizal Akbar Pembicara Pada Seminar Internasional Pesisir Selat Melaka

Bentangkan Rekonstruksi Sejarah Ekonomi Maritim Selat Melaka Pada Forum Seminar Internasional di UiTM Shah Alam Malaysia

Jumat, 23 Juni 2023

Etnis dan Perdagangan Awal di Selat Melaka: Fondasi Historis Peradaban Melayu

Materi disampaikan pada: 
STIE Syariah Bengkalis, 23 Juni 2023



Pendahuluan

Selat Melaka sejak awal sejarah bukan sekadar jalur air yang menghubungkan Samudra Hindia dan Laut Cina Selatan, melainkan sebuah ruang peradaban yang mempertemukan manusia, etnis, komoditas, dan gagasan lintas benua. Dalam lintasan waktu yang panjang, Selat Melaka membentuk karakter ekonomi dan sosial dunia Melayu yang kosmopolitan, terbuka, dan adaptif. Presentasi yang disampaikan oleh Rizal Akbar dalam Forum Bicara Ekonomi Melayu tahun 2023 menggarisbawahi satu tesis penting: perdagangan adalah motor utama yang membentuk struktur etnis dan identitas kawasan Selat Melaka sejak masa awal

Periodisasi Awal Perdagangan Selat Melaka

Jejak perdagangan Selat Melaka dapat ditelusuri jauh sebelum lahirnya Kesultanan Melaka. Catatan Tiongkok dari Dinasti Wu (abad ke-3 M) menyebut keberadaan Kerajaan Koying, yang menunjukkan bahwa wilayah ini telah menjadi bagian dari jaringan niaga Asia Timur sejak awal Masehi. Informasi tersebut kemudian diperkuat oleh ensiklopedi T’ung-tien dan Wen-hsien-t’ung-k’ao, yang menempatkan kawasan ini dalam orbit perdagangan regional Asia.

Periode berikutnya ditandai oleh kemunculan Sriwijaya pada abad ke-7 M, sebagaimana dibuktikan oleh Prasasti Kota Kapur. Sriwijaya tidak hanya berfungsi sebagai kerajaan, tetapi sebagai entitas maritim-komersial yang mengendalikan jalur pelayaran dan menjadikan Selat Melaka sebagai urat nadi perdagangan internasional. Puncak dari proses ini terjadi pada abad ke-15 ketika Kesultanan Melaka, di bawah Parameswara dan penerusnya, menjelma menjadi pusat perdagangan global sebelum jatuh ke tangan Portugis pada 1511—sebuah peristiwa yang menandai awal kolonialisme Eropa di Nusantara.

Melayu, Jaringan Maritim, dan Jalur Sutra Laut

Catatan perjalanan Yi Jing (I-Tsing) pada abad ke-7 memberikan gambaran konkret tentang Selat Melaka sebagai bagian dari apa yang dapat disebut Jalur Sutra Laut. Singgahnya Yi Jing di Fo-shi (Sriwijaya) dan penyebutannya tentang “Moloyu” menunjukkan bahwa wilayah Melayu telah menjadi simpul penting pertukaran budaya, agama, dan ekonomi antara Tiongkok dan India.

Dalam konteks ini, Selat Melaka berfungsi sebagai mediator peradaban: bukan hanya tempat pertukaran barang seperti sutra, rempah, dan hasil hutan, tetapi juga pertukaran ide—agama Buddha, Hindu, dan kemudian Islam. Jalur sutra laut menjadikan masyarakat Melayu terbiasa hidup dalam pluralitas etnis dan kosmopolitanisme sejak masa awal, jauh sebelum konsep globalisasi modern diperkenalkan.

Struktur Etnis dalam Dinamika Perdagangan

Salah satu kontribusi penting gagasan Prof Rizal Akbar adalah pemetaan struktur etnis Selat Melaka dalam konteks perdagangan. Mengacu pada pemikiran Barbara Watson Andaya, etnis di kawasan ini dapat dibagi ke dalam dua kategori besar: etnis dalaman dan etnis pendatang.

Etnis dalaman mencakup Melayu, Minangkabau, Aceh, Batak, Orang Laut, serta masyarakat pedalaman. Kelompok-kelompok ini bukan entitas pasif, melainkan aktor utama yang mengelola pelabuhan, jalur sungai, logistik, dan keamanan maritim. Khusus Orang Laut, mereka berperan sebagai penjaga ekosistem perdagangan, memastikan kelancaran pelayaran dan distribusi komoditas.

Sementara itu, etnis pendatang—Bugis, Jawa, Arab, Cina, India, dan Eropa—hadir sebagai konsekuensi logis dari intensitas perdagangan. Kehadiran mereka tidak serta-merta menghapus identitas lokal, melainkan berinteraksi dan bernegosiasi dalam satu sistem ekonomi maritim yang relatif inklusif. Inilah yang menjelaskan mengapa Selat Melaka tidak melahirkan masyarakat homogen, tetapi masyarakat majemuk dengan basis ekonomi perdagangan.

Selat Melaka sebagai Ruang Peradaban Ekonomi Melayu

Dari paparan tersebut, terlihat bahwa Selat Melaka tidak dapat dipahami semata-mata sebagai wilayah geografis. Ia adalah ruang peradaban yang membentuk etos ekonomi Melayu: terbuka terhadap pendatang, adaptif terhadap perubahan, dan berbasis pada jejaring (network-based economy). Kejatuhan Melaka pada 1511 memang menggeser pusat kekuasaan politik, tetapi tidak mematikan memori kolektif dan struktur ekonomi masyarakat pesisir Melayu.

Dalam konteks kekinian, pembacaan ulang sejarah perdagangan Selat Melaka memiliki relevansi strategis. Ia menyediakan landasan historis bagi penguatan identitas ekonomi Melayu kontemporer, khususnya dalam wacana ekonomi maritim, ekonomi Islam, dan kerja sama lintas negara di kawasan Selat Melaka.

Penutup

Esai ini menegaskan bahwa perdagangan awal Selat Melaka adalah fondasi utama pembentukan struktur etnis dan peradaban Melayu. Gagasan yang disampaikan oleh Prof Rizal Akbar menunjukkan bahwa ekonomi bukan variabel netral, melainkan kekuatan pembentuk identitas, jaringan sosial, dan arah sejarah kawasan. Dengan menjadikan Selat Melaka sebagai titik analisis, kita tidak hanya membaca masa lalu, tetapi juga memperoleh cermin strategis untuk merancang masa depan peradaban Melayu di era global.

Dokumen: PPT

Sabtu, 27 Mei 2023

Fakta Tentang Batin Alam dan Awang Mahmuda




Kronik Sungai Alam terkuak sudah. Sebuah Kampung lama yang ada di pulau Bengkalis itu menyimpan misteri nama serta mitos yang selalu dikisahkan kepada setiap generasi. Dalam penuturannya maka hadirnya sosok Batin Alam, Mak Sikancing serta Awang Mahmuda yang menjadi legenda dalam kisah asal usul desa Sungai Alam itu yang selama ini belumdapat terungkap melalui sebuahn fakta sejarah. Meskipun baik Hikayat Siak maupun catatatan sejarah lainnya sempat menyebut adanya Bathin dipulau Bengkalis pada kurun Abat ke 15 sd 18 tersebut.

Pulau yang setrategis diera niaga pra kolonialis itu, didiami oleh orang selat demikian hikayat Melayu dan Siak menuturkan. Masyarakat dipulau itu dikepalai oleh beberapa orang Bathin. Alkisah tersebutlah seorang Batin di pulau ini dengan sebutan Batin Alam, mitos dan legenda kesaktiannya dikabarkan dari generasi kegenerasi sebagai seorang tokoh hebat yang tinggal dikampung yang terhubung oleh sebatang sungai menuju kelaut. Sangking populernya tokoh tersebut sehingga sungai itu dinamakan Sungai Alam. Kisah legenda keperkasaan Batin Alam ini, sudah lama menjadi cerita dari mulut kemulut yang belum memiliki fakta sejarah yang dapat mengokohkannya. 

Sampailah pada beberapa waktu yang lalau disaat penulis menekuni kajian "sejarah perdagangan awal selat Melaka". kajian kesejarahan serta fakta-faktar tentang eksistensi pulau-pulau sepannjang garis pantai  Selat Melaka menjadi menarik untuk diamati terutama pulau Bengkalis dan Rupat. Dalam proses pengumpulan data, tiba-tiba penulis menemukan sebuah dokumen lama berupa kliping koran yang diterbitkan di Belanda berkisar tahun Sept 1867 sebagaimana gabar dibawah ini:

Pada paragraf 2 sebelah kanan artikel ini menyebutkan tentang Batin, jika ditulis kembali maka dapat dituliskan sebagai berikut :

Naarmate zij wies, nam de toeloop van volk toe inzonderheid daar Marlimou, en wel zoodanig, dai Batin Alam zich weldra genoodzaakt zag daar tij delijk een bandar (sjahbandar) aan te stellen. Daartoe werd aangewesen een bit Pagoeroejoeng geboortig, doch te Merbau woonachtig persoon, wien de gelar Werd toegekend van : Bandar Sendrak.” Deze zou de cerste Bandar van Bengkalis zijn geweeet.

Met de toename van het aantal immigranten steeg ook de urgentie tot aanstolling van meerdero Batins, waartoe, naa verluidi, Intje Timah. later meer be kend onder de gelar van Djandjang Radja (de eerste hantoe troeboek), den stoot zou hobben gegeven. Mij werd terzaker het volgende verhaal gedaan:

 Sialang Laoet was een man die er behagen in vond kandoeris (offermaalfeestan) te geven. Zoo gebeurde 't dat door hem een kandoeris werd geor ganiseerd, die twee maanden had geduurd. enwaaraan vale menschen  doelaamen. Gedurende dit offerfeest nu, at plaats vond In een bovon het wateroppervlak van de Brouwerstraat, aan de koewala der Soengei Alam, gebonwde bangsal

yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia;

Seiring pertumbuhannya, masuknya orang meningkat, terutama di Marlimou, dan sedemikian rupa sehingga Batin Alam segera terpaksa menunjuk sementara seorang bandar (shahbandar) di sana. Untuk itu, lahirlah seorang Pagoeroejoeng kecil yang tinggal di Merbau, yang dianugerahi gelar: Bandar Sendrak.” Ini akan menjadi Bandar Bengkalis pertama.

Dengan bertambahnya jumlah pendatang, urgensi untuk memantapkan beberapa Batin juga meningkat, salah satunya menurut laporan Intje Timah. kemudian lebih dikenal dengan gelar Djandjang Radja (hantu trouboek pertama), pukulan akan diberikan. Kisah berikut diceritakan kepada saya:

Sialang Laut adalah orang yang senang memberikan kanduris (pesta kurban). Kebetulan dia mengorganisir kanduery yang berlangsung selama dua bulan. dan yang disebut pria pucat. Sekarang selama pesta kurban ini, yang berlangsung di bagian atas permukaan air Brouwerstraat, di kuwala Alam Soengei, bangsal dibangun

Paling tidak catatan diatas menjelaskan bahwa Batin Alam bukan dongen, bahkan beliaulah yang menunjuk datuk Bandar pertama di Pulau Bengkalis serta hadirnya sosok peria pucat yang disebut "Sialang Laut" yang sangat dermawan yang melaksanakan kenduri di kuala Sungai Alam selama dua bulan penuh boleh jadi pemuda inilai yang banyak dituturkan pada sasra lisan disebut sebagai Awang Mahmuda. kisah ini tentu memerlukan analisis serta memerlukan dukungan fakta lainnya atau kronik-kronik sejarah yang mendukung fakta tersebut. Namun apa yang pasti bahwa sebagai sebuah kampung lama Sungai Alam merupakan wujud dari sejarah atas pulau yang pernah diperebuatkan oleh berbagai kekuatan diera niaga selat Melaka.

Catatan, HM.Rizal Akbar 28/05/2023


Jumat, 19 Mei 2023

Ekonomi Islam, Keluarga, dan Tantangan Sosioekonomi di Era Disrupsi

Materi disampaikan pada: 


Pertumbuhan ekonomi sering kali dipersepsikan sebagai indikator tunggal kesejahteraan masyarakat. Namun dalam realitas sosial, peningkatan ekonomi tidak selalu berbanding lurus dengan kualitas kehidupan keluarga, khususnya keluarga Islam. Di Kota Dumai, sebagaimana di banyak wilayah lain, dinamika pertumbuhan ekonomi justru berkelindan dengan persoalan sosial yang kompleks—salah satunya meningkatnya angka perceraian. Di sinilah ekonomi Islam menemukan relevansinya: bukan hanya sebagai sistem ekonomi, tetapi sebagai kerangka etis dan sosial yang menempatkan keluarga sebagai pusat kesejahteraan.

Pertumbuhan Ekonomi dan Ketahanan Keluarga

Data empiris menunjukkan dua wajah pertumbuhan ekonomi. Di satu sisi, keberhasilan pembangunan ekonomi dapat menurunkan angka perceraian, sebagaimana terjadi di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan, ketika peningkatan kesejahteraan berdampak positif pada stabilitas rumah tangga. Namun di sisi lain, Kota Dumai memperlihatkan fenomena berbeda: pertumbuhan ekonomi yang tidak diiringi penguatan nilai dan ketahanan keluarga justru berkorelasi dengan meningkatnya perkara perceraian di Pengadilan Agama.

Fenomena ini menegaskan bahwa ekonomi bukan variabel netral. Ia dapat menjadi solusi, tetapi juga sumber problem, tergantung pada nilai yang melandasi perilaku ekonomi masyarakat. Ekonomi Islam hadir untuk menjembatani pertumbuhan material dan kesejahteraan sosial-spiritual.

Pendekatan Tauhidic Systems of Relations (TSR)

Dalam kerangka pemikiran Prof. Dr. Masudul Alam Choudhury, yang diangkat dalam presentasi ini, kesejahteraan keluarga Islam dipahami melalui pendekatan Tauhidic Systems of Relations (TSR). Pendekatan ini menempatkan tauhid sebagai pusat relasi antara individu, keluarga, masyarakat, dan sistem ekonomi.

Kebahagiaan keluarga tidak dipandang sebagai hasil akhir yang statis, melainkan sebagai proses dinamis yang terus dievaluasi melalui mekanisme musyawarah (shura), refleksi moral (tasbih), dan pembaruan iman. Dengan kata lain, kesejahteraan keluarga Islam adalah hasil interaksi berkelanjutan antara iman, perilaku ekonomi, dan struktur sosial.

Model Transformasi Keluarga Islam

Presentasi Prof Rizal Akbar menawarkan sebuah model transformasi keluarga Islam yang memetakan perjalanan manusia antara iman dan ingkar, dunia dan akhirat, konsumsi dan investasi spiritual. Dalam model ini, perilaku ekonomi keluarga tidak hanya diukur dari tingkat pendapatan atau konsumsi, tetapi dari orientasi nilai: apakah ekonomi dijalankan dalam bingkai takwa atau sekadar memenuhi hasrat duniawi.

Konsep qana’ah, bakhil, dan thulul amal dijadikan indikator moral dalam perilaku ekonomi keluarga. Qana’ah mendorong keseimbangan dan ketenangan, sementara bakhil dan orientasi hidup yang terlalu panjang tanpa kesadaran akhirat berpotensi merusak harmoni keluarga.

Ekonomi Islam di Era Revolusi Industri 4.0

Tantangan keluarga Islam semakin kompleks di era Revolusi Industri 4.0. Disrupsi teknologi menghadirkan kecerdasan buatan, e-commerce, transportasi digital, pembelajaran daring, hingga praktik keberagamaan melalui media sosial. Perubahan ini tidak hanya menggeser sistem ekonomi, tetapi juga mengubah pola relasi dalam keluarga.

Belanja daring, pekerjaan berbasis aplikasi, dan konsumsi digital membawa kemudahan sekaligus risiko. Tanpa kerangka nilai Islam, disrupsi ini dapat melemahkan komunikasi keluarga, meningkatkan tekanan ekonomi, dan menjauhkan anggota keluarga dari nilai spiritual. Karena itu, ekonomi Islam dituntut tidak bersifat defensif, tetapi adaptif dan transformatif.

Relevansi bagi Masyarakat Dumai

Dalam konteks Dumai sebagai kota industri dan pelabuhan, implementasi ekonomi Islam harus berpijak pada realitas lokal. Penguatan ekonomi keluarga berbasis nilai Islam—melalui edukasi keuangan syariah, penguatan etika kerja, dan internalisasi nilai tauhid dalam konsumsi—menjadi strategi penting untuk menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan ketahanan sosial.

Ekonomi Islam, dalam perspektif ini, bukan sekadar alternatif sistem, tetapi kerangka peradaban yang menghubungkan pembangunan ekonomi dengan kebahagiaan keluarga dan stabilitas masyarakat.

Penutup

Presentasi ini menegaskan bahwa keberhasilan pembangunan tidak cukup diukur dari angka pertumbuhan ekonomi semata. Tanpa fondasi nilai, pertumbuhan dapat melahirkan krisis sosial dalam lingkup paling dasar: keluarga. Ekonomi Islam menawarkan jalan tengah—mengintegrasikan iman, etika, dan rasionalitas ekonomi—agar pertumbuhan sosioekonomi benar-benar bermuara pada kesejahteraan yang utuh, dunia dan akhirat

Dokumen: PPT

Sabtu, 29 April 2023

Riau Pesisir dan "Ketamaddunan Melayu Bahari"

Perjuangan pemekaran wilayah Provinsi Riau Pesisir bukan tanpa alasan. Wacana yang dihembuskan dari berbagai tokoh terutama yang berkepentingan dengan wilayah eks Kabupaten Bengkalis yang memghampar disepanjang pesisir Selat Melaka dari Kepulauan Meranti hingga Rokan Hilir ini mengemukakan adanya Ketimpangan pembangunan, prioritas pembangunan, keunggulan serta homogenitas kultur serta struktur sosial ekonomi masyarakat sebagai alasan yang dilontarkan. 

Namun lebih jauh dari itu terdapat alasan filosofis kesejarahan yang penting ketika membahasan pemekaran wilayah Riau Pesisir yakni mengembalikan semangat "Ketamadunan Melayu Bahari" dengan Selat Melaka sebagai objek utama yang mengilhami peradaban tersebut. Internasionalisasi ekonomi yang pernah dijalankan masyarakat dikawasan ini sejak Masa Kerajaan Koying diawal Abad Pertama, Kegemilangan Sriwijaya di Abad ke 6 yang dilanjutkan oleh Kemasyhuran Melaka di Abad ke 14 sampailah Kerajaan Siak diabad ke 18 semuanya menjadikan kawasan hamparan pesisiran timur sumatera eks Kabupaten Bengkalis itu sebagi tumpuan utama ekonominya, yang ditopang pula oleh tiga suangai utama yakni, Sungai Kampar, Siak dan Rokan.

Sementara pulau-pulau yang berjejer disepanjang hamparan itu menjadi entri point serta penghubung utama menuju ke daratan besar Asia melalui semenanjung Malaysia. Perdangan-perdangan itu mengalir dan terhubung dengan pusaran ekonomi dunia melintasi jalur sutra dari Cina dan India serta menyebar ke Jazirah Arab dan Erofa. Disanalah pembentukan peradaban itu terjadi sehingga Melayu menjadi utama dalam bahasa, adat istiadat  serta ketamaddunannya. Semuanya terjadi dihamparan kawasan itu yang kini sedang diperjuangkan dalam entitas Provinsi Riau Pesisir. 

#Dr.Rizal Akbar
Bacalon DPD RI dari Riau 2024
30 April 2023


Selasa, 18 April 2023

"Lampu Colok" Budaya Akhir Ramadhan Pesisir Selat Melaka

Ketika 26 Ramadhan dan malamnya 27 Ramadhan yang juga disebut malam "Tujuh Likur", sebuah istilah jawa yang populer pada masyarakat Melayu pesisir Selat Melaka, terutama Bengkalis, Dumai, Kepulauan Meranti menjadikan malam tujuh likut itu sebagai malam yang ditunggu-tunggu, sebab pada malam tersebut pelita-pelita dinyalakan kampung-kampung Melayu pesisir Selat Melaka terang benderang oleh cahaya pelita-pelita yang disusun membentuk formasi tertentu yang eksotis dengan keindahan yang luarbiasa dan mereka menyebutnya dengan "Lampu Colok".

Berawal dari upaya menerangi jalan menuju Masjid dan Mushalla, dalam rangka meningkatkan ibdah diakhir-akhir Ramadhan yang memiliki nilai pahala yang melimpah ditambah dengan hadirnya satu malam pada rentang itu yang  pahalanya bagi orang beribadah pada malam tersebut sama dengan 1000 bulan. Malam itu disebut dengan malam Lailatut Qadar. Mativasi ibadah yang tinggi pada malam-malam yang gelap dipenggujung bulan tersebut menyebabkan  para ulama kampung pesisir selat Melaka pada masa itu berinisiatif untuk menerangi kampung terutama jalan-jalan menuju Masjid dan Mushala serta perkarangan Rumah dengan  memasang pelita yang berbahan bakar minyak tanah, maklum pada masa itu jaringan listrik belum tersedia.

Pemasangan pelita-pelita itu pada mulanya selain sebagaimana tujuan diatas, namun berkembang pula mitos bahwa penerangan jalan serta perkarangan rumah berkaitan dengan kepercayaan bahawa diakhir-akhir Ramadhan itu, arwah orang-orang tercinta yang telah berpulang kerahmatullah, akan kembali mengunjungi keluarganya. Sehinga diperluka  penerang jalan sehingga mereka tidak kesulitan menemui kediaman-kediaman dulu semasa hidupnya. Mitos ini diera 80an kebahwah sangat diyakini oleh masyarakat yang pada masa itu lebih bercorak Islam spritual. Namun tidak untuk saat ini dimana masyarakat muslim yang sudah sangat rasional. 

Mitos kembalinya arwah dimalam akhir-akhir Ramadhan sepertinya dikisahkan dengan tujuan yang juga berkaitan dengan ketaatan dan memperbanyak amal shaleh keluarga, dengan motivasi bahwa amal ibadah tersebut sangat disukai oleh para penghuni kubur. Sehingga jika ahli keluarga mencintai kawlanya yang telah meninggal maka mereka harus memperbanyak amal ibdah jelang akhir-akhir Ramadhan. 

Lampu Colok awalnya belum ada formasi bentuk-bentuk yang mengambarkan masjid atau yang lainnya dari pemasangan pelita tersebut. Di era 80an kebawah pelita-pelita itu disebar dengan mengunakan penahan kayu dengan bagian atasnya diberi alas untuk meletakan pelita dan ada juga yang mengunakan paku untuk menyangkut pelita. 

Pelita pada awalnya terbuat dari botol kaca bekas, dan selanjutnya juga digunakan bekas kaleng minuman kemasan. Namun ada pula yang mengunakan bambu atau buluh, baik yang dipacakkan langsung ketanah maupun dibuat formasi Melintang dengan sumbu yang berjejer dipermukaannya.

Akibat dari hidupnya lampu-lampu yang banyak dimalam hari sejak 27 Ramadhan sampai dengan malam 1 Sawal itu, menarik perhatian bagi masyarakat untuk keluar rumah untuk menikmati cahaya lampu tersebut. Kemerihan itu lama- kelamaan  menyebabkan Colok menjadi cita rasa budaya tersendiri bagi kawasan pesisir selat Melaka jelang Idul Fitri setiap tahunnya. 

27 Ramadhan 1444 H
H. M. Rizal Akbar