![]() |
| Materi disampaikan pada: |
Pertumbuhan ekonomi sering kali dipersepsikan sebagai indikator tunggal kesejahteraan masyarakat. Namun dalam realitas sosial, peningkatan ekonomi tidak selalu berbanding lurus dengan kualitas kehidupan keluarga, khususnya keluarga Islam. Di Kota Dumai, sebagaimana di banyak wilayah lain, dinamika pertumbuhan ekonomi justru berkelindan dengan persoalan sosial yang kompleks—salah satunya meningkatnya angka perceraian. Di sinilah ekonomi Islam menemukan relevansinya: bukan hanya sebagai sistem ekonomi, tetapi sebagai kerangka etis dan sosial yang menempatkan keluarga sebagai pusat kesejahteraan.
Pertumbuhan Ekonomi dan Ketahanan Keluarga
Data empiris menunjukkan dua wajah pertumbuhan ekonomi. Di satu sisi, keberhasilan pembangunan ekonomi dapat menurunkan angka perceraian, sebagaimana terjadi di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan, ketika peningkatan kesejahteraan berdampak positif pada stabilitas rumah tangga. Namun di sisi lain, Kota Dumai memperlihatkan fenomena berbeda: pertumbuhan ekonomi yang tidak diiringi penguatan nilai dan ketahanan keluarga justru berkorelasi dengan meningkatnya perkara perceraian di Pengadilan Agama.
Fenomena ini menegaskan bahwa ekonomi bukan variabel netral. Ia dapat menjadi solusi, tetapi juga sumber problem, tergantung pada nilai yang melandasi perilaku ekonomi masyarakat. Ekonomi Islam hadir untuk menjembatani pertumbuhan material dan kesejahteraan sosial-spiritual.
Pendekatan Tauhidic Systems of Relations (TSR)
Dalam kerangka pemikiran Prof. Dr. Masudul Alam Choudhury, yang diangkat dalam presentasi ini, kesejahteraan keluarga Islam dipahami melalui pendekatan Tauhidic Systems of Relations (TSR). Pendekatan ini menempatkan tauhid sebagai pusat relasi antara individu, keluarga, masyarakat, dan sistem ekonomi.
Kebahagiaan keluarga tidak dipandang sebagai hasil akhir yang statis, melainkan sebagai proses dinamis yang terus dievaluasi melalui mekanisme musyawarah (shura), refleksi moral (tasbih), dan pembaruan iman. Dengan kata lain, kesejahteraan keluarga Islam adalah hasil interaksi berkelanjutan antara iman, perilaku ekonomi, dan struktur sosial.
Model Transformasi Keluarga Islam
Presentasi Prof Rizal Akbar menawarkan sebuah model transformasi keluarga Islam yang memetakan perjalanan manusia antara iman dan ingkar, dunia dan akhirat, konsumsi dan investasi spiritual. Dalam model ini, perilaku ekonomi keluarga tidak hanya diukur dari tingkat pendapatan atau konsumsi, tetapi dari orientasi nilai: apakah ekonomi dijalankan dalam bingkai takwa atau sekadar memenuhi hasrat duniawi.
Konsep qana’ah, bakhil, dan thulul amal dijadikan indikator moral dalam perilaku ekonomi keluarga. Qana’ah mendorong keseimbangan dan ketenangan, sementara bakhil dan orientasi hidup yang terlalu panjang tanpa kesadaran akhirat berpotensi merusak harmoni keluarga.
Ekonomi Islam di Era Revolusi Industri 4.0
Tantangan keluarga Islam semakin kompleks di era Revolusi Industri 4.0. Disrupsi teknologi menghadirkan kecerdasan buatan, e-commerce, transportasi digital, pembelajaran daring, hingga praktik keberagamaan melalui media sosial. Perubahan ini tidak hanya menggeser sistem ekonomi, tetapi juga mengubah pola relasi dalam keluarga.
Belanja daring, pekerjaan berbasis aplikasi, dan konsumsi digital membawa kemudahan sekaligus risiko. Tanpa kerangka nilai Islam, disrupsi ini dapat melemahkan komunikasi keluarga, meningkatkan tekanan ekonomi, dan menjauhkan anggota keluarga dari nilai spiritual. Karena itu, ekonomi Islam dituntut tidak bersifat defensif, tetapi adaptif dan transformatif.
Relevansi bagi Masyarakat Dumai
Dalam konteks Dumai sebagai kota industri dan pelabuhan, implementasi ekonomi Islam harus berpijak pada realitas lokal. Penguatan ekonomi keluarga berbasis nilai Islam—melalui edukasi keuangan syariah, penguatan etika kerja, dan internalisasi nilai tauhid dalam konsumsi—menjadi strategi penting untuk menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan ketahanan sosial.
Ekonomi Islam, dalam perspektif ini, bukan sekadar alternatif sistem, tetapi kerangka peradaban yang menghubungkan pembangunan ekonomi dengan kebahagiaan keluarga dan stabilitas masyarakat.
Penutup
Presentasi ini menegaskan bahwa keberhasilan pembangunan tidak cukup diukur dari angka pertumbuhan ekonomi semata. Tanpa fondasi nilai, pertumbuhan dapat melahirkan krisis sosial dalam lingkup paling dasar: keluarga. Ekonomi Islam menawarkan jalan tengah—mengintegrasikan iman, etika, dan rasionalitas ekonomi—agar pertumbuhan sosioekonomi benar-benar bermuara pada kesejahteraan yang utuh, dunia dan akhirat
Dokumen: PPT








