Running Text - Dr. Rizal Akbar
Assoc Prof Dr. H. M. Rizal Akbar, S.Si, M.Phil adalah Rektor Institut Agama Islam Tafaqquh Fiddin Dumai dan Sekjen Perhimpunan Ilmuwan Pesisir Selat Melaka (PIPSM). Beliau juga merupakan Doktor Ekonomi Islam terbaik Universitas Trisakti Jakarta tahun 2016 dan Pengurus Pusat Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) Komite Organisasi, Wilayah dan Komisariat. Anak bungsu dari pasangan H. Akbar Ali (Alm) dan Hj. Aisyah (Almh) ini lahir di Sungai Alam, Bengkalis 12 September 1974. Memulai pendidikan di SD Negeri 61 Sungai Alam, SMPN 3 Bengkalis dan SMAN 2 Bengkalis. Sarjan S1 Diselesaikannya di Universitas Riau, Pada Jurusan Matematika FMIPA, Tahun 1998. Menyelesaikan S2 di Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM). Pada tahun 2007 dengan gelar Master Of Philosopy (M. Phil) yang selanjutnya mengantarkan beliau pada program Doktor di Islamic Economic and Finance (IEF) Universitas Trisakti Jakarta yang diselesaikannya pada tahun 2016 dengan kelulusan Cumlaude, dan Doktor Ekonomi terbaik I.

Rizal Akbar Terima Anugrah Satria Pujangga Bangsa tahun 2025

Assoc Prof Dr.H.M. Rizal Akbar, M.Phil terpilih sebagai penerima Anugrah "Tokoh Adat Dan Budaya Nusabtara

Rizal Akbar Terima Anugrah Hang Tuah DMDI

Anugrah diserahkan langsung oleh TYT Tun Seri Setia Dr. Hj Mohd Ali Bin Rustam

Rizal Akbar Terima Anugrah KRH Dari Kraton Surakarta Hadininggrat Solo

Assoc Prof Dr. H. M. Rizal Akbar, M.Phil mendapat gelar Kanjeng Raden Haryo (KRH) Dwijobaroto Dipura dalam sebuah helat yang digelar Kraton Surakarta Hadiningrat.

Rizal Akbar Ikut Dilantik Menjadi Pengurus DPP IAEI 2025-2030

Ketum IAEI Pusat yang Juga Menteri Agama RI, Prof Dr KH Nazaruddim Umar MA: Sinergi Wujudkan Indonesia Pusat Ekonomi Islam Dunia

Rizal Akbar Pembicara Pada Seminar Internasional Pesisir Selat Melaka

Bentangkan Rekonstruksi Sejarah Ekonomi Maritim Selat Melaka Pada Forum Seminar Internasional di UiTM Shah Alam Malaysia

Jumat, 28 November 2025

Rizal Akbar Ikut Dilantik Menjadi Pengurus DPP IAEI 2025-2030, Prof Dr KH Nazaruddim Umar MA: Sinergi Wujudkan Indonesia Pusat Ekonomi Islam Dunia


Iaitfdumai.ac.id
-- Rektor IAITF Dumai, Assoc Prof Dr HM Rizal Akbar M.Phil ikut dilantik menjadi pengurus Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) periode 2025-2030 oleh Ketua Umum yang juga Menteri Agama RI, Prof Dr KH Nazaruddim Umar MA. Hadir mendampingi Ketua Umum diantaranya Dewan Pertimbangan, Dewan Penasehat, Dewan Ekonomi dan Pendiri IAEI serta sejumlah tokoh ekonomi Islam. Pelantikan Pengurus dan Rapat Kerja Nasional Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (DPP IAEI) 2025-2030 dengan tema sinergi untuk mewujudkan Indonesia menjadi pusat Ekonomi Islam Dunia dilaksanakan di Hotel The Ritz Carlton, Jakarta, 27-28 November 2025.

Rektor IAITF Dumai, Assoc Prof Dr HM Rizal Akbar M.Phi usai pelantikan mengatakan, pelantikan ini semoga menjadi tonggak terus tumbuh dan berkembang ekonomi syariah untuk kemajuan dan kemandirian kedaulatan ekonomi negara Republik Indonesia (RI) sehingga mempercepat melahirkan Indonesia Emas 2045.

"Alhamdulilah, berkesempatan dan ikut diberi amanah sebagai pengurus DPP IAEI. Melalui peran ini semoga bisa memberikan manfaat untuk terus tumbuh dan berkembangnya IAEI," ungkapnya.

Ketua Umum yang juga Menteri Agama RI, Prof Dr KH Nazaruddim Umar MA dalam sambutannya mengatakan mari bersama sinergi wujudkan Indonesia sebagai pusat ekonomi Islam dunia.

"Ini menjadi tantangan kita sebagai pengurus untuk selalu bersinergi dan ini bagian dari pengabdian ibadah. Amanah ini adalah tugas kita bersama untuk memperjuangkan visa dan misi organisasi. Disinilah kita bersama membangun wajah dunia Islam dan kita harus menjadi pusat Ekonomi dunia Islam dengan konsep Indonesia sendiri," ungkapnya.

Senada dengan itu, Ketua Tim Formatur, Dr Mustafa Edwin Nasution juga mengajak pengurus yang dilantik untuk bersama ketua umum bergandeng bahu mewujudkan sinergi bersama mewujudkan Indonesia sebagai pusat ekonomi Islam dunia.

Ketua Dewan Pertimbangan, Drs H Yusuf Kalla, dalam sambutannya mengatakan yang tak boleh adalah yang dilarang agama . Selain itu, mari bersama kembangkan.

"Dorong untuk maju dan jangan dibatasi-batasi. Sebab semuanya akan terus berkembang. Dan mari kita bicarakan kedepan dan jangan katakan tidak adil. Kalau sebenarnya kitalah yang tak mau maju dan berkembang," pesannya kepada seluruh pengurus.***

Jumat, 07 November 2025

Rizal Akbar Terima Anugrah Satria Pujangga Bangsa, Tokoh Adat Dan Budaya Nusantar tahun 2025

 

Melaka IAITF. Bertempat di Dewan JKKN Air Keruh Melaka Malaysia Sabtu (8/11), Rektor IAITF Dumai Assoc Prof Dr.H.M. Rizal Akbar, M.Phil bersama dengan akademisi, budayawan dan penggiat Seni Nusantara, Indonesia dan Malaysia terpilih sebagai penerima Anugrah "Tokoh Adat Dan Budaya Nusabtara" dengan gelaran "Satria Pujangga Bangsa". Anugrah ini diserahkan langsung oleh Prof. Dr. (HC) Ezlina bte Alias, Pengarah Jabatan Kebudayaan Dan Kesenian Negara Negeri Melaka dan Prof. Dr. Haji R.A. Huzaifah Dato’ Hashim, Pengarah Program merangkap Pengerusi Biro Penyelidikan & Tugas Khas DMDI.

Anugrah ini diberikan sempena Festival Warisan Etnik Nusantara dan Seminar Peradaban DMDI 2025. Tokoh-tokoh yang diberikan penghargaan adalah para penggiat Seni Dan kebudayaan Nusantara yang memiliki dedikasi tinggi dalam hal Adat, Seni Dan kebudayaan, dari kalangan akademisi, guru-guru silat, aktifis sanggar, para seniman bahkan dari kalangan Keraton Dan kesultanan Nusantara.

Berita ditulis Oleh : Lestary

Sabtu, 25 Oktober 2025

Rizal Akbar Terima Anugrah Hang Tuah DMDI Dari Yang di Pertua Negeri Melaka Dan Presiden Dunia Melayu Dunia Islam

 


Jakarta IAITF Dumai, Pada Konvensyen ke 23 Dunia Melayu Dunia Islam (DMDI) yang diselengarakan di Hotel Brobudur Jakarta pada tanggal 23 - 26 Okteber 2025, Rektor IAITF Dumai Assoc Prof Dr. H. M. Rizal Akbar, M.Phil sekali lagi mendapat anugrah kehormatan berupa "Anugrah Hang Tuah DMDI (AHTD)" yang diserahkan langsung oleh TYT Tun Seri Setia Dr. Hj Mohd Ali Bin Rustam, yang merupakan Dipertua Negeri Melaka Dan Presiden Dunia Melayu Dunia Islam (DMDI) pada serimony peremian Konvensyen, Jumat (24/10) di Hotel Brobudur Jakarta.

 Anugrah yang  diterima oleh Rektor IAITF itu merupakan penghargaan DMDI Kepada beliau sebagai AJK Biro Penyelidikan dan Tugas-Tugas Khas DMDI Pusat. Menurut Rizal, anugrah ini diberikan berkat  Usulan Pengerusi Biro Penyelidikan & Tugas-Tugas Khas yakni Datuk Prof. Dr. Huzaifah Bin Hasyim, SE. Bersama Datuk Huzaifah, Selamat ini kami banyak melaksanakan aktifitas-aktifitas yang berkaitan dengan Penyelidikan terutama terkait jaringan Ulama Pesisir Selat Melaka. Menyusri Manuskrip, Dakwah Ulama hingga ke Kedah, Patani Thailan, Muzium Cheng Ho hingga Pulau Jawa. Ungkap Rizal

Selain itu, pada Komvensyen 23 DMDI Kali ini Biro Penyelidikan dan Tugas-Tugas Khas berhasil Pula meletakan batu pertama dalam penerbitan Journal Ilmiah Malay & Islamic Civilization, yang menjadi journal Ilmiah DMDI untuk Kali pertama sejak ditubuhkannya DMDI, yang merupakan kerja kolaboratif Tim di Biro Penyelidikan & Tugas-Tugas Khas DMDI, dimana Rizal aktif dalam aktifitas tersebut bersama Tim Lainnya, Datuk Huzaifah, Prof, Dr Muhaizi, Ustad Rahimin Dan yang lainnya.

Ditulis Oleh; Lestary

Sabtu, 30 Agustus 2025

Rizal Akbar Terima Anugrah KRH Dari Kraton Surakarta Hadininggrat Solo

 



Solo IAITF Dumai, Rektor IAITF Assoc Prof Dr. H. M. Rizal Akbar, M.Phil mendapat gelar Kanjeng Raden Haryo (KRH) Dwijobaroto Dipura dalam sebuah helat yang digelar Kraton Surakarta Hadiningrat Solo (31/8). Gelar Kangjeng Raden Haryo Dwijo Barotodipuro dapat dimaknai sebagai Yang mulia, bangsawan keraton, seorang guru atau cendekiawan yang utama dan bijaksana, serta menjadi bagian dari kemuliaan istana.” Gelar in tentu sangat sesuai dengan aktifitas Rektor IAITF Dumai sebagai seorang cendikiawan bahkan Sekjen Perhimpunan Ilmuwan Pesisir Selat Melaka.

Penganugrahan itu langsung diberikan oleh Sinoehoen Kangjeng Soesoehoenan Pakoeboewono Sinoehoen Tedjowoelan kepada berbagai kalangan, dari berbagai daerah di Indonesia ,juga beberapa penerima anugrah berasal dari Melaka, Shah Alam dan Terenganu Malaysia.

Dengan penganugrahan gelar kepada Rektor IAITF ini memberikan penguatan peran IAITF dalam pengembangan komitmen kebudayaan serta pelestarian Khazanah adat istiadat nusantra.

 

ditulis oleh : Tary

Rabu, 30 Juli 2025

Rizal Akbar Bentangkan Rekonstruksi Sejarah Ekonomi Maritim Selat Melaka Pada Forum Seminar Internasional di UiTM Shah Alam Malaysia

 

Iaitfdumai.ac.id - SHAH ALAM – Rabu, 30 Juli 2025 menjadi momen penting dalam penguatan jejaring keilmuan kawasan Asia Tenggara melalui Seminar Internasional Selat Melaka sebagai Aset Strategik Perdagangan dan Pemacu Ekonomi Dunia Islam yang digelar oleh Perhimpunan Ilmuwan Pesisir Selat Melaka (PIPSM) bekerja sama dengan Universiti Teknologi MARA (UiTM) Shah Alam. Kegiatan ini menghadirkan deretan narasumber dari Indonesia dan Malaysia, termasuk para akademisi, praktisi logistik, serta pakar sejarah dan ekonomi maritim.

Keynote speech disampaikan oleh Prof. Dr. S. Salahudin Suyurno selaku Presiden PIPSM. Seminar kemudian menghadirkan lima narasumber utama: Assoc. Prof. Dr. H. M. Rizal Akbar, S.Si., M.Phil., Rektor Institut Agama Islam Tafaqquh Fiddin (IAITF) Dumai dan Sekjen PIPSM; Mahmuzin Taher, MM, seorang pengusaha logistik dari Indonesia; Dr. Zulkefli Aini dari Universiti Kebangsaan Malaysia; dan Dr. Norazlina Mamat dari ACIS UiTM Shah Alam.

Dalam pemaparannya, Dr. Rizal Akbar menekankan pentingnya merekonstruksi sejarah ekonomi maritim Melayu dengan pendekatan dekolonial dan multidisipliner. Ia menyampaikan gagasannya melalui kerangka “Rekonstruksi Ekonomi Maritim Melayu: Membaca Ulang Sejarah Pesisir Selat Melaka” berdasarkan hasil kajiannya terhadap literatur Anthony Reid dan Leonard Andaya. Menurutnya, pelabuhan-pelabuhan Melayu bukanlah entitas pasif dalam sejarah kolonial, tetapi merupakan simpul kosmopolitan dalam jaringan dagang global antara 1450–1680.

Pelabuhan Melayu merupakan ruang ekonomi, sosial, dan spiritual. Dalam ruang ini, syahbandar, saudagar perempuan, dan komunitas dagang asing berinteraksi dalam jejaring etika Islam dan bahasa Melayu sebagai lingua franca. Sayangnya, intervensi kolonial seperti VOC dan EIC menjadikan pelabuhan-pelabuhan tersebut terpinggirkan akibat sistem monopoli,” jelas Rizal.

Seminar ini juga menjadi ruang refleksi bersama atas upaya membangkitkan kembali khazanah ekonomi Islam pesisir dengan menekankan pentingnya literasi sejarah lokal sebagai pilar kekuatan identitas dan pembangunan kawasan. Dialog lintas-batas ini mengukuhkan misi PIPSM sebagai forum yang mengintegrasikan pemikiran ilmuwan pesisir dari Indonesia dan Malaysia dalam membangun peradaban Islam berbasis warisan maritim.

Acara yang berlangsung di Kampus UiTM Shah Alam ini turut dihadiri oleh akademisi dan mahasiswa dari IAITF Dumai, STAI Ar-Ridho Bagan Siapi-Api Rokan Hilir, Universitas Lancang Kuning, serta para ilmuwan dan praktisi dari Malaysia. Seminar ini tidak hanya menjadi ruang akademik, tetapi juga panggung kebangkitan identitas ekonomi Melayu dalam lanskap global Islam.

Selasa, 01 Juli 2025

Serahkan Dua Buku, Rizal Akbar Ajak FKPMR Kolaborasi dalam Mempotensikan Pesisir Selat Melaka

IAITF Dumai. Pada Rapat Koordinasi Persiapan pengukuhan Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau (FKPMR), Selasa (1/07) diruang Medium DPRD Provinsi Riau Pekanbaru, Assoc Prof Dt. H. M. Rizal Akbar, M. Phil sebagai salah satu dari 99 orang yang tergabung dalam Majelis Tokoh Masyarakat Riau yang direkomendasikan oleh tim formatur Kongres FKPMR III, mengambil kesempatan menyerahkan dua buku kepada Dr. Chaidir Ketua Umum FKPMR.

Adapun kedua buku yang diserabkannya itu adala buku dengan judul"Selat Melaka dari berbagai Perspektif" Karyanya sendiri. Dan buku dengan judul " Masjid Kampung Hulu, Khazanah Islam Pesisir Selat Melaka" Karya tim KKN-KIPSM 2024.

Pada kkesempatan itu, Rizal mengajak FKPMR bersama-sama memikirkan tentang nasib pesisir selat Melaka sebagai bagian terluar Provinsi Riau dan Indoneaia. Penyerahan buku ini menyimbolkan bahwa IAITF sebagai perguruan tinggi yang menjadikan kajian pesisir selat Melaka sebagai diatingsinya, tidak hanya terhenti pada lefel wacana pemikiran namun juga diperluka dukunga politik dan kebijakan.

Ditulis oleh : Tary

Selasa, 04 Maret 2025

Teori Ekonomi Kebahagiaan Sejak Easterlin Paradox


Teori ekonomi kebahagiaan pertama kali mendapat perhatian luas setelah Richard Easterlin mengemukakan Easterlin Paradox pada tahun 1974. Easterlin menemukan bahwa meskipun pendapatan suatu negara meningkat dalam jangka panjang, tingkat kebahagiaan subjektif masyarakatnya tidak selalu ikut naik. Paradoks ini bertentangan dengan asumsi dasar dalam ekonomi neoklasik yang menyatakan bahwa peningkatan pendapatan akan selalu membawa peningkatan kesejahteraan.

Easterlin menjelaskan bahwa kebahagiaan individu tidak hanya bergantung pada pendapatan absolut tetapi juga pada pendapatan relatif. Ketika seseorang melihat orang lain memiliki pendapatan lebih tinggi, kepuasan mereka terhadap pendapatannya sendiri bisa berkurang. Fenomena ini dikenal sebagai efek perbandingan sosial, yang menjadi salah satu konsep utama dalam studi ekonomi kebahagiaan.

Perkembangan teori ekonomi kebahagiaan semakin meluas dengan penelitian yang dilakukan oleh Daniel Kahneman dan Angus Deaton pada tahun 2010. Mereka menemukan bahwa pendapatan memiliki hubungan positif dengan kesejahteraan emosional hingga batas tertentu, yaitu sekitar 75.000 USD per tahun. Setelah melewati batas ini, peningkatan pendapatan tidak lagi memberikan dampak signifikan terhadap kebahagiaan harian seseorang.

Bruno Frey dan Alois Stutzer (2002) memperkenalkan perspektif ekonomi kebahagiaan dengan pendekatan yang lebih luas. Mereka menekankan bahwa kebahagiaan tidak hanya ditentukan oleh pendapatan tetapi juga oleh faktor-faktor seperti kebebasan politik, partisipasi dalam proses demokrasi, dan kualitas institusi sosial. Penelitian mereka menegaskan bahwa kebahagiaan sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan kebijakan pemerintah.

Layard (2005), dalam bukunya Happiness: Lessons from a New Science, menyoroti pentingnya faktor sosial dan psikologis dalam ekonomi kebahagiaan. Ia menekankan bahwa kebahagiaan tidak hanya berkaitan dengan pendapatan, tetapi juga dengan kesehatan mental, hubungan sosial, dan rasa aman. Layard juga mengusulkan bahwa kebijakan ekonomi seharusnya mempertimbangkan aspek-aspek psikologis masyarakat agar lebih efektif dalam meningkatkan kesejahteraan.

Sen (1999), dalam teori Capability Approach, mengkritik pendekatan ekonomi tradisional yang hanya berfokus pada pendapatan sebagai ukuran kesejahteraan. Ia berpendapat bahwa kesejahteraan lebih baik diukur berdasarkan kemampuan individu untuk menjalani kehidupan yang mereka anggap bermakna. Konsep ini memperluas studi ekonomi kebahagiaan dengan menekankan pentingnya kebebasan dan akses terhadap sumber daya yang memungkinkan individu mencapai potensi mereka.

Stiglitz, Sen, dan Fitoussi (2009), dalam laporan mereka untuk OECD, juga menegaskan bahwa PDB bukan satu-satunya indikator kesejahteraan. Mereka mengusulkan agar kebijakan ekonomi lebih menitikberatkan pada indikator kesejahteraan subjektif dan kualitas hidup, bukan hanya pertumbuhan ekonomi. Pendekatan ini membuka jalan bagi pengukuran kesejahteraan yang lebih komprehensif.

Diener et al. (2010) mengembangkan konsep Subjective Well-Being (SWB) yang menekankan aspek emosional dan kognitif dalam menilai kebahagiaan individu. Menurut mereka, kesejahteraan subjektif seseorang terdiri dari kepuasan hidup, pengalaman emosi positif, serta rendahnya tingkat stres dan kecemasan. Konsep ini menjadi salah satu fondasi dalam pengukuran kebahagiaan modern.

Helliwell, Layard, dan Sachs (2012), dalam laporan World Happiness Report pertama, memperkenalkan indeks kebahagiaan dunia. Laporan ini mengukur kebahagiaan berdasarkan berbagai indikator, termasuk pendapatan, kesehatan, dukungan sosial, kebebasan dalam mengambil keputusan hidup, dan tingkat korupsi. Laporan ini menjadi rujukan utama bagi berbagai negara dalam mengevaluasi kebijakan kesejahteraan mereka.

Stevenson dan Wolfers (2008) mengkritik Easterlin Paradox dengan menunjukkan bahwa hubungan antara pendapatan dan kebahagiaan tetap positif meskipun dalam jangka panjang. Mereka berpendapat bahwa Easterlin Paradox tidak berlaku secara universal, dan ada bukti bahwa di beberapa negara peningkatan pendapatan tetap meningkatkan kebahagiaan.

Clark, Frijters, dan Shields (2008) membahas efek habituasi dalam kebahagiaan. Mereka menemukan bahwa individu sering kali beradaptasi dengan peningkatan pendapatan sehingga manfaat kebahagiaan dari pendapatan tambahan bersifat sementara. Temuan ini memperkuat argumen bahwa kebijakan ekonomi harus lebih berfokus pada faktor sosial dan psikologis dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Kroll dan Delhey (2013) meneliti hubungan antara kebahagiaan dan keadilan sosial. Mereka menemukan bahwa negara dengan tingkat ketimpangan ekonomi yang rendah cenderung memiliki tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa distribusi kekayaan yang lebih merata dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

Graham (2017), dalam studinya mengenai kebahagiaan dan ketidaksetaraan, menunjukkan bahwa kesenjangan ekonomi dapat berdampak negatif terhadap kebahagiaan, terutama bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah. Ia juga menyoroti bahwa ketidakpastian ekonomi yang tinggi dapat menyebabkan stres dan menurunkan kesejahteraan subjektif.

Dalam beberapa tahun terakhir, penelitian ekonomi kebahagiaan semakin berkembang dengan mengintegrasikan aspek kesejahteraan digital dan keseimbangan antara kehidupan kerja dan kehidupan pribadi. Dengan meningkatnya kerja jarak jauh dan kemajuan teknologi, peneliti seperti Brynjolfsson dan McAfee (2020) mulai mengeksplorasi bagaimana transformasi digital memengaruhi kebahagiaan dan produktivitas.

Pandemi COVID-19 membawa dimensi baru dalam ekonomi kebahagiaan. Studi yang dilakukan oleh De Neve dan Krekel (2021) menunjukkan bahwa keterhubungan sosial dan jaminan kesehatan menjadi semakin krusial dalam menentukan kesejahteraan individu. Ini menunjukkan bahwa kebijakan ekonomi pasca-pandemi harus lebih menekankan pada dukungan kesehatan mental dan kohesi sosial.

Dolan et al. (2022) menyoroti peran makna dan tujuan hidup dalam ekonomi kebahagiaan. Penelitian mereka menemukan bahwa individu yang terlibat dalam pekerjaan yang bermakna serta kegiatan sosial dan keagamaan melaporkan tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi, terlepas dari tingkat pendapatan mereka.

Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah mulai mengadopsi metrik berbasis kebahagiaan dalam kebijakan mereka. Indeks Kebahagiaan Nasional Bruto (GNH) Bhutan, yang pertama kali diperkenalkan pada tahun 1970-an, kembali mendapat perhatian sebagai alternatif terhadap model pembangunan yang hanya berfokus pada PDB. Pendekatan serupa telah diterapkan di negara seperti Selandia Baru, yang memperkenalkan Wellbeing Budget sebagai bagian dari kebijakan ekonomi mereka.

Integrasi ekonomi Islam dalam penelitian kebahagiaan juga mulai berkembang. Chapra (2016) dan Nasr (2020) berpendapat bahwa prinsip-prinsip ekonomi Islam, yang menekankan keadilan, zakat, dan kesejahteraan sosial, sangat selaras dengan konsep ekonomi kebahagiaan. Mereka berargumen bahwa penerapan nilai-nilai etika dan spiritual dalam kebijakan ekonomi dapat menghasilkan kesejahteraan yang lebih holistik.

Penelitian masa depan dalam ekonomi kebahagiaan diperkirakan akan mengeksplorasi dampak kecerdasan buatan, otomatisasi, dan perubahan iklim terhadap kesejahteraan global. Seligman (2021) berpendapat bahwa psikologi positif akan memainkan peran yang semakin penting dalam merancang kebijakan ekonomi yang berorientasi pada kebahagiaan manusia.

Perkembangan ekonomi kebahagiaan menunjukkan bahwa kesejahteraan manusia dipengaruhi oleh interaksi yang kompleks antara faktor ekonomi, sosial, dan psikologis. Meskipun pendapatan tetap menjadi faktor penting, semakin banyak penelitian yang mendukung pandangan bahwa kebahagiaan yang berkelanjutan bergantung pada aspek yang lebih luas, seperti kesehatan, hubungan sosial, dan makna hidup.

Daftar Pustaka

  • Brynjolfsson, E., & McAfee, A. (2020). The Second Machine Age: Work, Progress, and Prosperity in a Time of Brilliant Technologies. W. W. Norton & Company.
  • Chapra, M. U. (2016). Islam and the Economic Challenge. Islamic Foundation.
  • Clark, A. E., Frijters, P., & Shields, M. A. (2008). "Relative Income, Happiness, and Utility: An Explanation for the Easterlin Paradox and Other Puzzles." Journal of Economic Literature, 46(1), 95–144.
  • De Neve, J. E., & Krekel, C. (2021). "The Science of Well-being and COVID-19: A Review." World Happiness Report 2021.
  • Diener, E., Lucas, R. E., & Scollon, C. N. (2006). "Beyond the Hedonic Treadmill: Revising the Adaptation Theory of Well-Being." American Psychologist, 61(4), 305–314.
  • Diener, E., Oishi, S., & Tay, L. (2018). Happiness: The Science of Subjective Well-Being. Guilford Publications.
  • Dolan, P., Peasgood, T., & White, M. (2022). Happiness by Design: Change What You Do, Not How You Think. Penguin Books.
  • Easterlin, R. A. (1974). "Does Economic Growth Improve the Human Lot? Some Empirical Evidence." In P. A. David & M. W. Reder (Eds.), Nations and Households in Economic Growth: Essays in Honor of Moses Abramovitz (pp. 89–125). Academic Press.
  • Frey, B. S., & Stutzer, A. (2002). Happiness and Economics: How the Economy and Institutions Affect Human Well-Being. Princeton University Press.
  • Graham, C. (2017). Happiness for All? Unequal Hopes and Lives in Pursuit of the American Dream. Princeton University Press.
  • Helliwell, J. F., Layard, R., & Sachs, J. (2012). World Happiness Report 2012. Earth Institute, Columbia University.
  • Kahneman, D., & Deaton, A. (2010). "High Income Improves Evaluation of Life but Not Emotional Well-Being." Proceedings of the National Academy of Sciences, 107(38), 16489–16493.
  • Kroll, C., & Delhey, J. (2013). "A Happy Nation? Opportunities and Challenges of Using Subjective Indicators in Policymaking." Social Indicators Research, 114(1), 13–28.
  • Layard, R. (2005). Happiness: Lessons from a New Science. Penguin Books.
  • Nasr, S. H. (2020). The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity. HarperOne.
  • Seligman, M. E. P. (2021). Flourish: A Visionary New Understanding of Happiness and Well-being. Atria Books.
  • Sen, A. (1999). Development as Freedom. Oxford University Press.
  • Stevenson, B., & Wolfers, J. (2008). "Economic Growth and Subjective Well-Being: Reassessing the Easterlin Paradox." Brookings Papers on Economic Activity, 2008(1), 1–87.
  • Stiglitz, J. E., Sen, A., & Fitoussi, J. P. (2009). Report by the Commission on the Measurement of Economic Performance and Social Progress. Commission on the Measurement of Economic Performance and Social Progress.