Perubahan sosial-ekonomi suatu bangsa tidak berlangsung secara acak atau sepenuhnya linear, melainkan mengikuti pola historis tertentu yang dibentuk oleh interaksi nilai moral, solidaritas sosial, institusi, dan kekuasaan politik. Banyak teori pembangunan modern memandang perubahan sebagai proses progresif dari keterbelakangan menuju kemajuan melalui pertumbuhan ekonomi dan modernisasi. Namun, pengalaman sejarah menunjukkan bahwa kemajuan material tidak selalu sejalan dengan stabilitas sosial, keadilan distributif, maupun keberlanjutan institusional. Dalam konteks inilah, pemikiran Ibn Khaldun menawarkan kerangka analitis alternatif yang memandang perubahan sosial sebagai proses dinamis dan generasional.
Dalam al-Muqaddimah, Ibn Khaldun menjelaskan bahwa transformasi masyarakat berlangsung secara siklis, dipandu oleh kekuatan ʿasabiyyah—solidaritas sosial yang menopang pembentukan kekuasaan politik, tata kelola negara, dan aktivitas ekonomi. Ketika ʿasabiyyah kuat, masyarakat mampu membangun tatanan sosial yang stabil meskipun dengan keterbatasan sumber daya material. Sebaliknya, ketika kemakmuran berkembang tanpa pengendalian moral dan institusional, solidaritas sosial melemah dan membuka jalan bagi erosi legitimasi serta krisis struktural. Pandangan ini menempatkan perubahan sosial bukan sebagai kemajuan yang pasti, melainkan sebagai proses yang selalu mengandung potensi keberlanjutan maupun kemunduran.
Esai ini mengambil tahun 1905 sebagai titik awal analisis, bukan semata-mata karena pertimbangan kronologis, melainkan karena tahun tersebut merepresentasikan fase awal formasi ʿasabiyyah modern di Indonesia. Munculnya organisasi pergerakan dan kesadaran nasional pada periode ini menandai transformasi solidaritas sosial dari ikatan lokal dan kultural menuju solidaritas ideologis dan nasional. Dengan demikian, 1905 dipahami sebagai momen historis ketika fondasi moral dan kolektif bagi perubahan sosial-ekonomi dan politik Indonesia mulai terbangun secara sistematis.
Selanjutnya, esai ini menggunakan rentang waktu sekitar empat puluh tahun sebagai satu periode atau generasi analitis, mengikuti observasi Ibn Khaldun bahwa pergantian generasi merupakan faktor kunci perubahan sosial. Satu generasi dipahami sebagai masa kematangan nilai, orientasi kepemimpinan, dan praktik institusional suatu masyarakat. Rentang empat puluh tahun ini tidak dimaknai secara kaku, melainkan sebagai pendekatan sosiologis untuk menangkap pergeseran ʿasabiyyah, hubungan negara dan masyarakat, serta dinamika ekonomi dalam jangka menengah-panjang.
Berdasarkan pendekatan generasional tersebut, pengalaman Indonesia direkonstruksi ke dalam empat fase utama. Fase pertama (1905–1945) merupakan fase formasi dan penguatan solidaritas ideologis. Pada periode ini, meskipun kondisi ekonomi sangat terbatas akibat kolonialisme, kekuatan moral, pengorbanan, dan kesadaran kolektif menjadi motor utama perubahan. Dalam perspektif Ibn Khaldun, fase ini mencerminkan tahap awal peradaban, ketika ʿasabiyyah yang kuat mampu mengimbangi keterbatasan material dan mempersiapkan lahirnya tatanan politik baru.
Fase kedua (1945–1985) adalah fase konsolidasi negara dan pembangunan. Negara tampil sebagai aktor utama dalam menjaga stabilitas politik dan mengelola pembangunan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi dan penguatan institusi birokrasi mencerminkan tahap kematangan peradaban dalam kerangka Khaldunian. Namun, pada fase ini pula terjadi pergeseran ʿasabiyyah dari solidaritas horizontal yang partisipatif menuju loyalitas vertikal terhadap negara dan elite penguasa, menandai awal pelemahan kontrol moral terhadap kekuasaan.
Fase ketiga (1985–2025) ditandai oleh kemakmuran material, liberalisasi ekonomi, dan meningkatnya kompleksitas institusional. Integrasi ke dalam ekonomi global dan ekspansi kelas menengah menciptakan kesan keberhasilan pembangunan yang kuat. Namun, sebagaimana diingatkan Ibn Khaldun, kemakmuran membawa konsekuensi ambivalen. Solidaritas sosial melemah, fragmentasi dan polarisasi meningkat, serta institusi semakin prosedural tetapi kehilangan daya ikat etis. Pembangunan tetap berlangsung, tetapi keberlanjutannya menjadi rapuh karena ketidakseimbangan antara kemajuan material dan ketahanan moral-institusional.
Memasuki periode pasca-2025, Indonesia menghadapi indikasi awal fase keempat dalam siklus Khaldunian. Tekanan fiskal, tantangan tata kelola, serta perubahan struktur ekonomi global memperbesar risiko krisis legitimasi jika tidak diimbangi oleh pembaruan solidaritas sosial dan etika publik. Namun, mengikuti pembacaan non-fatalistik yang dikembangkan Umar Chapra, fase ini tidak harus berujung pada kemunduran yang tak terelakkan. Reformasi institusional, kepemimpinan yang berorientasi pada keadilan, dan revitalisasi nilai moral dapat memperlambat atau bahkan membalikkan kecenderungan kemunduran tersebut.
Dengan demikian, transformasi sosial-ekonomi Indonesia dapat dipahami sebagai perjalanan generasional yang memperlihatkan hubungan erat antara ʿasabiyyah, kemajuan material, dan kualitas institusi. Tantangan pembangunan kontemporer bukan semata-mata persoalan pertumbuhan ekonomi atau teknologi, melainkan krisis kohesi sosial dan legitimasi moral. Melalui lensa Ibn Khaldun, esai ini menunjukkan bahwa keberlanjutan pembangunan sangat bergantung pada kemampuan masyarakat dan negara dalam menjaga keseimbangan antara kemakmuran material dan solidaritas sosial.
Pada akhirnya, fase yang dihadapi Indonesia saat ini merupakan fase persimpangan. Sejarah, dalam pandangan Ibn Khaldun, tidak sekadar berulang, tetapi memberikan pelajaran bagi mereka yang mampu membacanya secara kritis. Apakah Indonesia akan memasuki fase kemunduran atau justru menemukan momentum pembaruan sangat ditentukan oleh pilihan kolektif dalam merawat nilai moral, memperkuat institusi, dan membangun kembali ʿasabiyyah yang sesuai dengan tantangan negara-bangsa modern.
Rizalakbar_IAITFDumai,18/12/25








