![]() |
| Materi disampaikan pada: STIE Syariah Bengkalis, 23 Juni 2023 |
Selat Melaka sejak awal sejarah bukan sekadar jalur air yang menghubungkan Samudra Hindia dan Laut Cina Selatan, melainkan sebuah ruang peradaban yang mempertemukan manusia, etnis, komoditas, dan gagasan lintas benua. Dalam lintasan waktu yang panjang, Selat Melaka membentuk karakter ekonomi dan sosial dunia Melayu yang kosmopolitan, terbuka, dan adaptif. Presentasi yang disampaikan oleh Rizal Akbar dalam Forum Bicara Ekonomi Melayu tahun 2023 menggarisbawahi satu tesis penting: perdagangan adalah motor utama yang membentuk struktur etnis dan identitas kawasan Selat Melaka sejak masa awal
Periodisasi Awal Perdagangan Selat Melaka
Jejak perdagangan Selat Melaka dapat ditelusuri jauh sebelum lahirnya Kesultanan Melaka. Catatan Tiongkok dari Dinasti Wu (abad ke-3 M) menyebut keberadaan Kerajaan Koying, yang menunjukkan bahwa wilayah ini telah menjadi bagian dari jaringan niaga Asia Timur sejak awal Masehi. Informasi tersebut kemudian diperkuat oleh ensiklopedi T’ung-tien dan Wen-hsien-t’ung-k’ao, yang menempatkan kawasan ini dalam orbit perdagangan regional Asia.
Periode berikutnya ditandai oleh kemunculan Sriwijaya pada abad ke-7 M, sebagaimana dibuktikan oleh Prasasti Kota Kapur. Sriwijaya tidak hanya berfungsi sebagai kerajaan, tetapi sebagai entitas maritim-komersial yang mengendalikan jalur pelayaran dan menjadikan Selat Melaka sebagai urat nadi perdagangan internasional. Puncak dari proses ini terjadi pada abad ke-15 ketika Kesultanan Melaka, di bawah Parameswara dan penerusnya, menjelma menjadi pusat perdagangan global sebelum jatuh ke tangan Portugis pada 1511—sebuah peristiwa yang menandai awal kolonialisme Eropa di Nusantara.
Melayu, Jaringan Maritim, dan Jalur Sutra Laut
Catatan perjalanan Yi Jing (I-Tsing) pada abad ke-7 memberikan gambaran konkret tentang Selat Melaka sebagai bagian dari apa yang dapat disebut Jalur Sutra Laut. Singgahnya Yi Jing di Fo-shi (Sriwijaya) dan penyebutannya tentang “Moloyu” menunjukkan bahwa wilayah Melayu telah menjadi simpul penting pertukaran budaya, agama, dan ekonomi antara Tiongkok dan India.
Dalam konteks ini, Selat Melaka berfungsi sebagai mediator peradaban: bukan hanya tempat pertukaran barang seperti sutra, rempah, dan hasil hutan, tetapi juga pertukaran ide—agama Buddha, Hindu, dan kemudian Islam. Jalur sutra laut menjadikan masyarakat Melayu terbiasa hidup dalam pluralitas etnis dan kosmopolitanisme sejak masa awal, jauh sebelum konsep globalisasi modern diperkenalkan.
Struktur Etnis dalam Dinamika Perdagangan
Salah satu kontribusi penting gagasan Prof Rizal Akbar adalah pemetaan struktur etnis Selat Melaka dalam konteks perdagangan. Mengacu pada pemikiran Barbara Watson Andaya, etnis di kawasan ini dapat dibagi ke dalam dua kategori besar: etnis dalaman dan etnis pendatang.
Etnis dalaman mencakup Melayu, Minangkabau, Aceh, Batak, Orang Laut, serta masyarakat pedalaman. Kelompok-kelompok ini bukan entitas pasif, melainkan aktor utama yang mengelola pelabuhan, jalur sungai, logistik, dan keamanan maritim. Khusus Orang Laut, mereka berperan sebagai penjaga ekosistem perdagangan, memastikan kelancaran pelayaran dan distribusi komoditas.
Sementara itu, etnis pendatang—Bugis, Jawa, Arab, Cina, India, dan Eropa—hadir sebagai konsekuensi logis dari intensitas perdagangan. Kehadiran mereka tidak serta-merta menghapus identitas lokal, melainkan berinteraksi dan bernegosiasi dalam satu sistem ekonomi maritim yang relatif inklusif. Inilah yang menjelaskan mengapa Selat Melaka tidak melahirkan masyarakat homogen, tetapi masyarakat majemuk dengan basis ekonomi perdagangan.
Selat Melaka sebagai Ruang Peradaban Ekonomi Melayu
Dari paparan tersebut, terlihat bahwa Selat Melaka tidak dapat dipahami semata-mata sebagai wilayah geografis. Ia adalah ruang peradaban yang membentuk etos ekonomi Melayu: terbuka terhadap pendatang, adaptif terhadap perubahan, dan berbasis pada jejaring (network-based economy). Kejatuhan Melaka pada 1511 memang menggeser pusat kekuasaan politik, tetapi tidak mematikan memori kolektif dan struktur ekonomi masyarakat pesisir Melayu.
Dalam konteks kekinian, pembacaan ulang sejarah perdagangan Selat Melaka memiliki relevansi strategis. Ia menyediakan landasan historis bagi penguatan identitas ekonomi Melayu kontemporer, khususnya dalam wacana ekonomi maritim, ekonomi Islam, dan kerja sama lintas negara di kawasan Selat Melaka.
Penutup
Esai ini menegaskan bahwa perdagangan awal Selat Melaka adalah fondasi utama pembentukan struktur etnis dan peradaban Melayu. Gagasan yang disampaikan oleh Prof Rizal Akbar menunjukkan bahwa ekonomi bukan variabel netral, melainkan kekuatan pembentuk identitas, jaringan sosial, dan arah sejarah kawasan. Dengan menjadikan Selat Melaka sebagai titik analisis, kita tidak hanya membaca masa lalu, tetapi juga memperoleh cermin strategis untuk merancang masa depan peradaban Melayu di era global.
Dokumen: PPT













