Running Text - Dr. Rizal Akbar
Assoc Prof Dr. H. M. Rizal Akbar, S.Si, M.Phil adalah Rektor Institut Agama Islam Tafaqquh Fiddin Dumai dan Sekjen Perhimpunan Ilmuwan Pesisir Selat Melaka (PIPSM). Beliau juga merupakan Doktor Ekonomi Islam terbaik Universitas Trisakti Jakarta tahun 2016 dan Pengurus Pusat Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) Komite Organisasi, Wilayah dan Komisariat. Anak bungsu dari pasangan H. Akbar Ali (Alm) dan Hj. Aisyah (Almh) ini lahir di Sungai Alam, Bengkalis 12 September 1974. Memulai pendidikan di SD Negeri 61 Sungai Alam, SMPN 3 Bengkalis dan SMAN 2 Bengkalis. Sarjan S1 Diselesaikannya di Universitas Riau, Pada Jurusan Matematika FMIPA, Tahun 1998. Menyelesaikan S2 di Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM). Pada tahun 2007 dengan gelar Master Of Philosopy (M. Phil) yang selanjutnya mengantarkan beliau pada program Doktor di Islamic Economic and Finance (IEF) Universitas Trisakti Jakarta yang diselesaikannya pada tahun 2016 dengan kelulusan Cumlaude, dan Doktor Ekonomi terbaik I.

Rizal Akbar Terima Anugrah Satria Pujangga Bangsa tahun 2025

Assoc Prof Dr.H.M. Rizal Akbar, M.Phil terpilih sebagai penerima Anugrah "Tokoh Adat Dan Budaya Nusabtara

Rizal Akbar Terima Anugrah Hang Tuah DMDI

Anugrah diserahkan langsung oleh TYT Tun Seri Setia Dr. Hj Mohd Ali Bin Rustam

Rizal Akbar Terima Anugrah KRH Dari Kraton Surakarta Hadininggrat Solo

Assoc Prof Dr. H. M. Rizal Akbar, M.Phil mendapat gelar Kanjeng Raden Haryo (KRH) Dwijobaroto Dipura dalam sebuah helat yang digelar Kraton Surakarta Hadiningrat.

Rizal Akbar Ikut Dilantik Menjadi Pengurus DPP IAEI 2025-2030

Ketum IAEI Pusat yang Juga Menteri Agama RI, Prof Dr KH Nazaruddim Umar MA: Sinergi Wujudkan Indonesia Pusat Ekonomi Islam Dunia

Rizal Akbar Pembicara Pada Seminar Internasional Pesisir Selat Melaka

Bentangkan Rekonstruksi Sejarah Ekonomi Maritim Selat Melaka Pada Forum Seminar Internasional di UiTM Shah Alam Malaysia

Jumat, 23 Juni 2023

Etnis dan Perdagangan Awal di Selat Melaka: Fondasi Historis Peradaban Melayu

Materi disampaikan pada: 
STIE Syariah Bengkalis, 23 Juni 2023



Pendahuluan

Selat Melaka sejak awal sejarah bukan sekadar jalur air yang menghubungkan Samudra Hindia dan Laut Cina Selatan, melainkan sebuah ruang peradaban yang mempertemukan manusia, etnis, komoditas, dan gagasan lintas benua. Dalam lintasan waktu yang panjang, Selat Melaka membentuk karakter ekonomi dan sosial dunia Melayu yang kosmopolitan, terbuka, dan adaptif. Presentasi yang disampaikan oleh Rizal Akbar dalam Forum Bicara Ekonomi Melayu tahun 2023 menggarisbawahi satu tesis penting: perdagangan adalah motor utama yang membentuk struktur etnis dan identitas kawasan Selat Melaka sejak masa awal

Periodisasi Awal Perdagangan Selat Melaka

Jejak perdagangan Selat Melaka dapat ditelusuri jauh sebelum lahirnya Kesultanan Melaka. Catatan Tiongkok dari Dinasti Wu (abad ke-3 M) menyebut keberadaan Kerajaan Koying, yang menunjukkan bahwa wilayah ini telah menjadi bagian dari jaringan niaga Asia Timur sejak awal Masehi. Informasi tersebut kemudian diperkuat oleh ensiklopedi T’ung-tien dan Wen-hsien-t’ung-k’ao, yang menempatkan kawasan ini dalam orbit perdagangan regional Asia.

Periode berikutnya ditandai oleh kemunculan Sriwijaya pada abad ke-7 M, sebagaimana dibuktikan oleh Prasasti Kota Kapur. Sriwijaya tidak hanya berfungsi sebagai kerajaan, tetapi sebagai entitas maritim-komersial yang mengendalikan jalur pelayaran dan menjadikan Selat Melaka sebagai urat nadi perdagangan internasional. Puncak dari proses ini terjadi pada abad ke-15 ketika Kesultanan Melaka, di bawah Parameswara dan penerusnya, menjelma menjadi pusat perdagangan global sebelum jatuh ke tangan Portugis pada 1511—sebuah peristiwa yang menandai awal kolonialisme Eropa di Nusantara.

Melayu, Jaringan Maritim, dan Jalur Sutra Laut

Catatan perjalanan Yi Jing (I-Tsing) pada abad ke-7 memberikan gambaran konkret tentang Selat Melaka sebagai bagian dari apa yang dapat disebut Jalur Sutra Laut. Singgahnya Yi Jing di Fo-shi (Sriwijaya) dan penyebutannya tentang “Moloyu” menunjukkan bahwa wilayah Melayu telah menjadi simpul penting pertukaran budaya, agama, dan ekonomi antara Tiongkok dan India.

Dalam konteks ini, Selat Melaka berfungsi sebagai mediator peradaban: bukan hanya tempat pertukaran barang seperti sutra, rempah, dan hasil hutan, tetapi juga pertukaran ide—agama Buddha, Hindu, dan kemudian Islam. Jalur sutra laut menjadikan masyarakat Melayu terbiasa hidup dalam pluralitas etnis dan kosmopolitanisme sejak masa awal, jauh sebelum konsep globalisasi modern diperkenalkan.

Struktur Etnis dalam Dinamika Perdagangan

Salah satu kontribusi penting gagasan Prof Rizal Akbar adalah pemetaan struktur etnis Selat Melaka dalam konteks perdagangan. Mengacu pada pemikiran Barbara Watson Andaya, etnis di kawasan ini dapat dibagi ke dalam dua kategori besar: etnis dalaman dan etnis pendatang.

Etnis dalaman mencakup Melayu, Minangkabau, Aceh, Batak, Orang Laut, serta masyarakat pedalaman. Kelompok-kelompok ini bukan entitas pasif, melainkan aktor utama yang mengelola pelabuhan, jalur sungai, logistik, dan keamanan maritim. Khusus Orang Laut, mereka berperan sebagai penjaga ekosistem perdagangan, memastikan kelancaran pelayaran dan distribusi komoditas.

Sementara itu, etnis pendatang—Bugis, Jawa, Arab, Cina, India, dan Eropa—hadir sebagai konsekuensi logis dari intensitas perdagangan. Kehadiran mereka tidak serta-merta menghapus identitas lokal, melainkan berinteraksi dan bernegosiasi dalam satu sistem ekonomi maritim yang relatif inklusif. Inilah yang menjelaskan mengapa Selat Melaka tidak melahirkan masyarakat homogen, tetapi masyarakat majemuk dengan basis ekonomi perdagangan.

Selat Melaka sebagai Ruang Peradaban Ekonomi Melayu

Dari paparan tersebut, terlihat bahwa Selat Melaka tidak dapat dipahami semata-mata sebagai wilayah geografis. Ia adalah ruang peradaban yang membentuk etos ekonomi Melayu: terbuka terhadap pendatang, adaptif terhadap perubahan, dan berbasis pada jejaring (network-based economy). Kejatuhan Melaka pada 1511 memang menggeser pusat kekuasaan politik, tetapi tidak mematikan memori kolektif dan struktur ekonomi masyarakat pesisir Melayu.

Dalam konteks kekinian, pembacaan ulang sejarah perdagangan Selat Melaka memiliki relevansi strategis. Ia menyediakan landasan historis bagi penguatan identitas ekonomi Melayu kontemporer, khususnya dalam wacana ekonomi maritim, ekonomi Islam, dan kerja sama lintas negara di kawasan Selat Melaka.

Penutup

Esai ini menegaskan bahwa perdagangan awal Selat Melaka adalah fondasi utama pembentukan struktur etnis dan peradaban Melayu. Gagasan yang disampaikan oleh Prof Rizal Akbar menunjukkan bahwa ekonomi bukan variabel netral, melainkan kekuatan pembentuk identitas, jaringan sosial, dan arah sejarah kawasan. Dengan menjadikan Selat Melaka sebagai titik analisis, kita tidak hanya membaca masa lalu, tetapi juga memperoleh cermin strategis untuk merancang masa depan peradaban Melayu di era global.

Dokumen: PPT