![]() |
Perkembangan ilmu pengetahuan modern telah melahirkan metodologi penelitian yang sangat maju secara teknis, namun sering kali terjebak dalam fragmentasi nilai. Ilmu dipisahkan dari agama, fakta dipisahkan dari makna, dan penelitian direduksi menjadi sekadar prosedur logico–hypothetico–verifikatif. Dalam konteks inilah Workshop TSR yang disampaikan oleh Rizal Akbar menjadi penting: ia menawarkan kerangka epistemologis alternatif bagi penelitian keislaman yang tidak hanya sahih secara ilmiah, tetapi juga utuh secara nilai.
Keterbatasan Metodologi Penelitian Konvensional
Metodologi penelitian modern umumnya bergerak dari masalah, dirumuskan menjadi variabel, diuji melalui hipotesis, lalu diverifikasi secara empiris. Pendekatan ini efektif untuk menjelaskan hubungan sebab-akibat, tetapi memiliki keterbatasan ketika diterapkan pada kajian keislaman. Nilai, iman, dan tujuan hidup sering kali berada di luar jangkauan instrumen statistik dan verifikasi empiris murni.
Akibatnya, penelitian keislaman kerap terjebak pada dua ekstrem: normatif-teologis yang kurang empiris, atau empiris-positivistik yang kehilangan ruh keislaman. Di sinilah kebutuhan akan integrasi epistemologis menjadi mendesak.
Integrasi Ilmu: Dari Islamisasi ke Relasi Tauhidik
Integrasi keilmuan bukan sekadar menempelkan ayat Al-Qur’an pada teori konvensional, atau memberi label “syariah” pada konsep Barat. Integrasi sejati menuntut sumber pengetahuan yang jelas, dan dalam epistemologi Islam, sumber itu adalah wahyu.
Pendekatan Tauhidic System of Relations (TSR) yang dikembangkan oleh Prof. Dr. Masudul Alam Choudhury menempatkan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber utama pengetahuan. Ilmu dipahami sebagai hasil interaksi dinamis antara wahyu, akal, manusia, dan realitas sosial. Integrasi lahir bukan dari kompromi, melainkan dari konsensus nilai tauhid.
TSR sebagai Epistemologi dan Metodologi
Dalam kerangka TSR, realitas disimbolkan dengan (Ω, S), di mana Ω merepresentasikan ontology tauhid dan S merepresentasikan sistem sosial. Pengetahuan tidak lahir secara linear, tetapi melalui proses interaksi, musyawarah (shura), refleksi (tasbih), evaluasi, dan evolusi berkelanjutan.
Model ini tidak menolak logika, hipotesis, dan verifikasi, tetapi menempatkannya dalam lingkaran tauhid. Dengan demikian, penelitian tetap ilmiah, namun tidak kehilangan orientasi nilai dan tujuan akhir.
Falah sebagai Tujuan Ilmu dan Penelitian
Salah satu kontribusi penting dalam presentasi ini adalah penegasan bahwa tujuan akhir penelitian dalam perspektif Islam adalah al-falah. Berangkat dari QS. Al-Mu’minun ayat 1 (“Qad aflaha al-mu’minun”), falah dipahami bukan sekadar keberuntungan material, tetapi kesejahteraan holistik: spiritual, sosial, dan material.
Dalam kerangka TSR, falah direpresentasikan sebagai θ (theta)—variabel kesejahteraan yang bersifat dinamis. Kesejahteraan bukan kondisi statis, melainkan hasil dari proses iman, amal, dan pengelolaan kehidupan sosial yang berkelanjutan.
Well-Being Function: Menjembatani Material dan Spiritual
Presentasi ini juga memperkenalkan konsep well-being function W(θ, X(θ)), yaitu fungsi kesejahteraan yang mengintegrasikan aspek material dan spiritual. Berbeda dengan pendekatan kapitalis atau sosialis yang cenderung menitikberatkan pada dimensi material, pendekatan TSR menempatkan variabel iman, amanah, zakat, dan ibadah sebagai bagian integral dari pembangunan.
Dengan pendekatan ini, pembangunan tidak hanya diukur dari pertumbuhan ekonomi, tetapi dari sejauh mana ia mendekatkan manusia pada nilai khusyuk, tanggung jawab moral, dan keadilan sosial.
Implikasi bagi Penelitian Keislaman Kontemporer
Epistemologi TSR membuka jalan bagi lahirnya penelitian keislaman yang:
-
Terintegrasi antara kajian Islam dan ilmu konvensional,
-
Berorientasi nilai, bukan netral semu,
-
Relevan secara sosial, karena menyentuh persoalan nyata umat,
-
Adaptif, karena bersifat evolutif dan kontekstual.
Pendekatan ini sangat relevan untuk kajian ekonomi Islam, pembangunan, kebijakan publik, hingga ilmu sosial-keagamaan di perguruan tinggi Islam.













