Sabtu, 20 Agustus 2016 | By: SahabatRiau

Negara Bangsa : Sebuah Kontemplasi 71 tahun Kemerdekaan Republik Indonesia

Bagian 2 

Sejarah negara bagsa selalu mencatat tentang gerakan-gerakan heroic yang dilakukan menjelang kelahiran satu negara bangsa, hal ini didefinisikan dengan perjuangan kemerdekaan. Konsep perjuangan  selanjutnya berkonstribusi pula pada apa yang disebut dengan “pahlawan”. Seorang pahlawan selalu dikaitkan dengan segala upaya yang mereka lakukan untuk tegaknya perubahan menuju kepada tatanan baru yakni “negara bangsa”. Artinya para pahlawan kemerdekaan itu adalah orang-orang yang berbeda dengan zamannya. Mereka bukanlah orang yang hidup nyaman dengan keadaan dimasa mereka, meskipun merka memiliki kemungkinan untuk dapat menikmati kehidupan yang nyaman dimasa itu. Seorang pahlawan seharusnya merupakan orang yang aneh dimasanya, yakni orang-orang yang tidak berdamai dengan relitas.

Indonesia adalah sebuah negara bangsa yang diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta pada17 Agustus 1945. Negara bangsa ini sangat sempurna, dengan tanah air yang satu, bangsa yang satu dan bahasa yang satu. Inilah yang membedakan dengan bangsa-bangsa lainya di dunia. Ada negara dengan banyak bangsa, ada bangsa yang tidak memiliki negara. Indonesia telah digagas oleh para founding father kita pada tahun 1945 sebagi negara dengan konsep kesatuan dan penyatuan. Dalam konteks kepelbagaian budaya maka muncul semangat “bhinneka tunggal ika”.

Tegaknya Indonesia sebgai sebuah negara bangsa, setelah melalui sejarah panjang penjajahan. Selama tiga ratus lima puluh tahun Indonesia dijajah oleh Belanda. Bila Ibnu Khaldun membuat pengalan satu generasi itu adalah 40 tahun, maka dapat dikatakan penjajahan itu terjadi selama sembilan generasi. Sangat masuk akal bila kondisi keterjajahan itu dianggap sebagai sebuah suratan takdir, namun tidak bagi mereka yang selalu menginginkan perubahan maka sepantasnyalah mereka disebut sebagai “pahlawan”. 
Kamis, 18 Agustus 2016 | By: SahabatRiau

Negara Bangsa : Sebuah Kontemplasi 71 tahun Kemerdekaan Republik Indonesia

(Bagian 1)

Perubahsan sosial merupakan sebuah teori dalam sisiologi yang untuk pertama kalinya dikemukakan oleh Ibnu Khaldun. Konsep ini menjelaskan hasil pengamatannya terhadap bangsa Badui yang hidup di gurun pasir secara berpindah-pindah di jazirah Arab. Menurutnya, perubahan social pada masyarakat Badui itu melalui empat pase yakni pase perjuangan merebut kekuasan, pase mempertahankan kekuasaan. Pase kejayaan dan terakhir pase kejatuhan kekuasaan.

Ibnu Khaldun menegaskan bahwa pase-pase perubahan sosial itu akan ditentukan oleh variabel ruang dan waktu, namun perubahan itu bersifat terus, kontinu dan siklus. Dengan paradigma inilah agaknya Kita dapat mengatakan bahwa "sejarah pasti berulang". Pengulangan sejarah menurut Ibnu Khaldun dapat terjadi dengan ciri dan karakter sosiologi yang sama. Paradigma ini mengantarkan kepada teori sejarahnya Ibnu Khaldun yang lebih melihat sejarah sebagi sebuah proses transmisi kerifan atas sebuah tamaddun manusia, pada tiap-tiap priodeisasi sejarah. Sementara Karl Marx, dengan pendekatan sosiologi konfliknya melihat sejarah sebagai pertentangan antar kelas.  

Adalah negara bangsa (nation state) yang merupakan proses perubahan sosial dari imprialisme dan kolonialisme. Negara bangsa lahir dari sebuah gagasan  “kemerdekaan”.  Gagasan ini merupakan negasi dari “penjajahan”. Penguasaan satu bangsa terhadap bangsa lain adalah bentuk dari penjajahan. Imprialisme dan kolonialisme dalam konteks negara bangsa adalah penjajahan. Maka negara-negara bangsa harus keluar dari kedua kondisi tersebut jika ingin menjadi merdeka. Namun sudah sejauh mana negara-negara bangsa yang telah mendeklarasikan kemerdekaannya itu telah terbebas dari kedua penguasaan tersebut adalah sebuah kenyataan pahit bagi banyak negara-negara bangsa di dunia.

Tidak sedikit negara bangsa yang lahir hanya sebagai proses salin baju menuju kepada penjajahan baru. Ini sebuah keniscayaan, ketika negara bangsa lahir bukan berarti imprialisme mati. Imprialisme terus hidup dalam berbagai bentuk baru. Memanglah dia tidak mungkin lagi berwujud seperti empayer Romawi dan Persia. Tapi kehadirannya masuk dalam sendi kehidupan masyarakat dunia baik pada sektor ekonomi, sosial maupun budaya.  

Kita merdeka secara toritorial, namun terjajah dari sisi ekonomi, disaat negara nyaris tidak memiliki kewenangan sedikitpun mengatur ekonomi guna menyelamatkan masyarakat kecil. Sebagaiman tujuan awalnya mensejahterakan kehidupan rakyat. Bahkan negara terpaksa menguras keringat rakyatnya melalu pajak, serta pungutan lain seperti BPJS hanya sebuah alasan fiscal. Dan dengan alasan fiscal juga negara dipaksa menerima kejahatan dari pemilik modal besar yang bertahun-tahun tidak mau membayar pajak, namun terlindungi oleh oknum-oknum atas nama negara juga dengan melakukan pengampunan pajak.

Belum lagi banyak negara bangsa yang harus menerima kenyataan bergantung harap dengan mata uang yang tidak pernah berhenti dengan inflasi. Kenyataannya bahwa defisa negara, perdagangan luar negri, hutang luar negeri serta transaksi internasional lainnya harus mengunakan Dolar Amerika. maka wajar saja bila inflasi di Zimbabwe mencapai 500 milliar persen pada tahun 2008.


Selain itu, negara bangsa juga sangat rentan dengan pergeseran sosial budaya akibat penetrasi budaya luar yang dikomunikasikan secara masal serta disosialisasikan dengan segala kecanggihan teknologi informasi. Sistem pendidikan sebagai benteng penetrasi kebudayaan di bayak negara bangsa  seperti tidak cukup ampuh untuk menangkal perubahan tersebut. Akibatnya tidak sedikit negara-nagara bangsa yang gagal dalam menanamkan semangat kebangsaanya. 


Minggu, 07 Agustus 2016 | By: SahabatRiau

Ontologi Diklat Penelitian

Gagasan yang melimpah dan cara pandang yang beragam, itulah suasana yang melingkupi Diklat Penelitian angkatan III Pusdiklat Tenaga Pendidikan dan Keagamaan Kemenag RI tahun 2016 pada kali ini. Dengan tiga puluh peserta dari institusi perguruan tinggi dan lembaga penelitian yang berbeda dari seluruh wilayah Indonesia, tergambar beragam pemikiran yang melatarbelakangi basis keilmuannya masing-masing.

Prof. Dr. H. M. Atho Mudzhar
Gagasan baru serta metode penelitian yang beragam diperkenalkan oleh para narasumber yang memang handal dalam bidangnya masing-masing. Berawal dari materi yang dibawakan oleh Prof. Dr. H. M. Atho Mudzhar yang membahas tentang Pengembangan Teori dan Kritik Methodologi dalam Penelitian Agama. sebagai ilmuan senior dalam bidang metodologi penelitian agama, beliau sangat piawai  menyampaikan materinya.

Metodologi penelitian menurut Prof Atho merupakan integrasi dari teori dan pengukuran realitas. Teori sosial menurutnya tidak ajek seperti pada pengetahuan kealaman. Sehingga beliau tidak terlalu menguatkan pada feodalitas teori yang mendefenisikan adanya grant, midle dan small teori. Menurutnya teori itu dapat saja berubah-rubah akibat dari perkembangan penelitian yang dilakukan dalam bidang kajian tersebut.

Kualitatif jadi gini ya....."Mahal"
Materi berikutnya disajikan oleh Dr. Farida Hanum dari Balai Puslitbang Kehidupan Keberagamaan Kemenag RI. Beliau menyajikan materi tentang teknik pengumpulan dan analisis data. Secara detil beliau menjelaskan bagaimana langkah-langkah penelitian kuantitatif serta teknik analisisnya. Dia menekankan sebuah kajian kuantitatif itu "mahalnya" ada pada analisis dari pembacaan akngka-angka kuantitatif yang dihasilkan dari prangkat analisisnya. Selain itu penelitian kuantitatif itu harus benar-benar memperhatikan bagaimana istrumen penelitian itu di rumuskan.

Bersama Dr. Molyamin Aini
Sesi kuantitatif selanjutnya disambung oleh narasumber  Dr Molyamin. Beliau sangat terpesona dengan metode kuantitatif, sehingga hampir sebahagian besar penelitiannya mengunakan metode tersebut. Beliau mencontohkan tema kajiannya tentang nikah beda agama serta isu-isu tentang radikalisme. Beliau memang spesial sekali pada tema tersebut. Sehingga, gagasan-gagasan libralnya meluncur bagaikan beselancar di atas gelombang dahsyat paradigma keilmuan yang beragam. Namun tidak sedikit dari peserta yang renyah dengan hidangan akademik ilmuan ini. Tapi ada juga  peserta yang resah dan bahkan menyanggah.

Dr. Adlin Sila, MA
Suasana kuantitatif yang ruet dengan angka-angka, model persamaan dan sebagainya, berubah menjadi humanis tatkala Dr. Adlin Sila, MA, mengawal materi pelatihan dengan membawakan bahasan metode etnografi. Dia, seolah-olah mengajak peserta bercengkrama dalam dialog-dialog longgar penuh perisa yang memeriksa. Meskipu sederhana dan datar, tidak terasa pelan-pelan dia masuk dalam perbincangan yang mendalam menyoal selidik segalanya. Itulah etnografi, kata kata nya. Materi ini memunculkan perbicangan yang sangat ramai, nyaris setiap kesempatan ada saja yang menyela. Ada yang menyoal tetang akurasi data, adapula yang bersikukuh dengan letak teori dalam kajian, bahkan tak pelak ada yang membahas akhir dari penelitian ini untuk apa, jika hanya mengungkap fenomena tanpa ada model yang ditawarkan oleh sang peneliti terhadap fenomena itu.

Dr. Fahriati
Keterpesonaan akan etnografi bergeser kepada nisan dan manuskrip. Dr. Fahriati, dengan senyuman khas Aceh nya, mampu memukau peserta dengan penjelasan-penjelasan serta menampilkan dokumen-dokumen purbanya (maaaf, bukan pura-pura baik sebagaimana istilah yang berkembang dalam arena pelatihan). Penjelasanya mengenai manuskrip menarik perhatian peserta. Bahkan suasan pelatihan berubah drastis dari pemahaman makna pada simbol dan sistem nilai sebagaiman anjuran antropolog pada kajian etnografi menjadi tekun mengamati goresan-goresan kuno layaknya pakar peneliti purba, yang memang sudah dari sananya "purba". Manuskrip itu, lembar demi lembar di perkenalkan, cara merawatnya, menyalin semula serta membaca  dan menganalisisnya semua dijelaskan dalam sesi ini.

Bersambung......