Running Text - Dr. Rizal Akbar
Dr. H. M. Rizal Akbar, S.Si, M.Phil adalah doctor ekonomi islam terbaik universitas Trisakti Jakarta tahun 2016. Anak bungsu dari pasangan H. Akbar Ali (Alm) dan Hj. Aisyah (Almh) ini lahir di Sungai Alam, Bengakalis 12 September 1974. Menikah dengan Lestary Fitriany ST, ME yang merupakan Putri dari H. A. Nong Manan, yang merupakan tokoh masyarakat di Selat Panjang Kepulauan Meranti. Masa kecil dan remajanya dihabiskan bersama rekan-rekannya di SD Negeri 61 Sungai Alam, SMPN 3 Bengkalis dan SMAN 2 Bengkalis. Sarjan S1 Diselesaikannya di Universitas Riau, Pada Jurusan Matematika FMIPA, Tahun 1998. Menyelesaikan S2 di Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM). Pada tahun 2007 dengan gelar Master Of Philosopy (M. Phil) yang selanjutnya mengantarkan beliau pada program Doktor di Islamic Economic dan Finance (IEF) Universitas Trisakti Jakarta yang diselesaikannya pada tahun 2016 dengan kelulusan Cumlaude, dan Doktor Ekonomi terbaik I.

Perlu Penguatan Visi Wisata Pulau Rupat

Visi pariwisata seharusnya dapat dituangkan didalam semua proses pembangunan di pulau ini, baik pada aspek perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian.

Teori Ekonomi Kebahagiaan Sejak Easterlin Paradox

Teori ekonomi kebahagiaan pertama kali mendapat perhatian luas setelah Richard Easterlin mengemukakan Easterlin Paradox pada tahun 1974.

Peradaban itu Berawal dari Arus Sungai Hingga Arus Informasi

Pradaban besar dunia pada masa awal sangat ditentukan oleh Sungai. Lihatlah peradaban Cina yang berawal dari sungai Kuning atau Hwang Ho, peradaban Eropa pula ditentukan oleh dua sungai yakni Eufrad dan Tigris.

Warisan Keulamaan H. Zainal Abidin Sungai Alam

Sebuah penelusuran awal trah keulamaan dan perjuangan dakwah Islam yang dijalankan oleh silsilah keturunan H. Zainal Abidin yang bermukim di desa Sungai Alam Bengkalis.

Fakta Tentang Batin Alam dan Awang Mahmuda

Sungai Alam terkuak sudah. Sebuah Kampung lama yang ada di pulau Bengkalis itu menyimpan misteri nama serta mitos yang selalu dikisahkan kepada setiap generasi.

Selasa, 04 Maret 2025

Teori Ekonomi Kebahagiaan Sejak Easterlin Paradox


Teori ekonomi kebahagiaan pertama kali mendapat perhatian luas setelah Richard Easterlin mengemukakan Easterlin Paradox pada tahun 1974. Easterlin menemukan bahwa meskipun pendapatan suatu negara meningkat dalam jangka panjang, tingkat kebahagiaan subjektif masyarakatnya tidak selalu ikut naik. Paradoks ini bertentangan dengan asumsi dasar dalam ekonomi neoklasik yang menyatakan bahwa peningkatan pendapatan akan selalu membawa peningkatan kesejahteraan.

Easterlin menjelaskan bahwa kebahagiaan individu tidak hanya bergantung pada pendapatan absolut tetapi juga pada pendapatan relatif. Ketika seseorang melihat orang lain memiliki pendapatan lebih tinggi, kepuasan mereka terhadap pendapatannya sendiri bisa berkurang. Fenomena ini dikenal sebagai efek perbandingan sosial, yang menjadi salah satu konsep utama dalam studi ekonomi kebahagiaan.

Perkembangan teori ekonomi kebahagiaan semakin meluas dengan penelitian yang dilakukan oleh Daniel Kahneman dan Angus Deaton pada tahun 2010. Mereka menemukan bahwa pendapatan memiliki hubungan positif dengan kesejahteraan emosional hingga batas tertentu, yaitu sekitar 75.000 USD per tahun. Setelah melewati batas ini, peningkatan pendapatan tidak lagi memberikan dampak signifikan terhadap kebahagiaan harian seseorang.

Bruno Frey dan Alois Stutzer (2002) memperkenalkan perspektif ekonomi kebahagiaan dengan pendekatan yang lebih luas. Mereka menekankan bahwa kebahagiaan tidak hanya ditentukan oleh pendapatan tetapi juga oleh faktor-faktor seperti kebebasan politik, partisipasi dalam proses demokrasi, dan kualitas institusi sosial. Penelitian mereka menegaskan bahwa kebahagiaan sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan kebijakan pemerintah.

Layard (2005), dalam bukunya Happiness: Lessons from a New Science, menyoroti pentingnya faktor sosial dan psikologis dalam ekonomi kebahagiaan. Ia menekankan bahwa kebahagiaan tidak hanya berkaitan dengan pendapatan, tetapi juga dengan kesehatan mental, hubungan sosial, dan rasa aman. Layard juga mengusulkan bahwa kebijakan ekonomi seharusnya mempertimbangkan aspek-aspek psikologis masyarakat agar lebih efektif dalam meningkatkan kesejahteraan.

Sen (1999), dalam teori Capability Approach, mengkritik pendekatan ekonomi tradisional yang hanya berfokus pada pendapatan sebagai ukuran kesejahteraan. Ia berpendapat bahwa kesejahteraan lebih baik diukur berdasarkan kemampuan individu untuk menjalani kehidupan yang mereka anggap bermakna. Konsep ini memperluas studi ekonomi kebahagiaan dengan menekankan pentingnya kebebasan dan akses terhadap sumber daya yang memungkinkan individu mencapai potensi mereka.

Stiglitz, Sen, dan Fitoussi (2009), dalam laporan mereka untuk OECD, juga menegaskan bahwa PDB bukan satu-satunya indikator kesejahteraan. Mereka mengusulkan agar kebijakan ekonomi lebih menitikberatkan pada indikator kesejahteraan subjektif dan kualitas hidup, bukan hanya pertumbuhan ekonomi. Pendekatan ini membuka jalan bagi pengukuran kesejahteraan yang lebih komprehensif.

Diener et al. (2010) mengembangkan konsep Subjective Well-Being (SWB) yang menekankan aspek emosional dan kognitif dalam menilai kebahagiaan individu. Menurut mereka, kesejahteraan subjektif seseorang terdiri dari kepuasan hidup, pengalaman emosi positif, serta rendahnya tingkat stres dan kecemasan. Konsep ini menjadi salah satu fondasi dalam pengukuran kebahagiaan modern.

Helliwell, Layard, dan Sachs (2012), dalam laporan World Happiness Report pertama, memperkenalkan indeks kebahagiaan dunia. Laporan ini mengukur kebahagiaan berdasarkan berbagai indikator, termasuk pendapatan, kesehatan, dukungan sosial, kebebasan dalam mengambil keputusan hidup, dan tingkat korupsi. Laporan ini menjadi rujukan utama bagi berbagai negara dalam mengevaluasi kebijakan kesejahteraan mereka.

Stevenson dan Wolfers (2008) mengkritik Easterlin Paradox dengan menunjukkan bahwa hubungan antara pendapatan dan kebahagiaan tetap positif meskipun dalam jangka panjang. Mereka berpendapat bahwa Easterlin Paradox tidak berlaku secara universal, dan ada bukti bahwa di beberapa negara peningkatan pendapatan tetap meningkatkan kebahagiaan.

Clark, Frijters, dan Shields (2008) membahas efek habituasi dalam kebahagiaan. Mereka menemukan bahwa individu sering kali beradaptasi dengan peningkatan pendapatan sehingga manfaat kebahagiaan dari pendapatan tambahan bersifat sementara. Temuan ini memperkuat argumen bahwa kebijakan ekonomi harus lebih berfokus pada faktor sosial dan psikologis dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Kroll dan Delhey (2013) meneliti hubungan antara kebahagiaan dan keadilan sosial. Mereka menemukan bahwa negara dengan tingkat ketimpangan ekonomi yang rendah cenderung memiliki tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa distribusi kekayaan yang lebih merata dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

Graham (2017), dalam studinya mengenai kebahagiaan dan ketidaksetaraan, menunjukkan bahwa kesenjangan ekonomi dapat berdampak negatif terhadap kebahagiaan, terutama bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah. Ia juga menyoroti bahwa ketidakpastian ekonomi yang tinggi dapat menyebabkan stres dan menurunkan kesejahteraan subjektif.

Dalam beberapa tahun terakhir, penelitian ekonomi kebahagiaan semakin berkembang dengan mengintegrasikan aspek kesejahteraan digital dan keseimbangan antara kehidupan kerja dan kehidupan pribadi. Dengan meningkatnya kerja jarak jauh dan kemajuan teknologi, peneliti seperti Brynjolfsson dan McAfee (2020) mulai mengeksplorasi bagaimana transformasi digital memengaruhi kebahagiaan dan produktivitas.

Pandemi COVID-19 membawa dimensi baru dalam ekonomi kebahagiaan. Studi yang dilakukan oleh De Neve dan Krekel (2021) menunjukkan bahwa keterhubungan sosial dan jaminan kesehatan menjadi semakin krusial dalam menentukan kesejahteraan individu. Ini menunjukkan bahwa kebijakan ekonomi pasca-pandemi harus lebih menekankan pada dukungan kesehatan mental dan kohesi sosial.

Dolan et al. (2022) menyoroti peran makna dan tujuan hidup dalam ekonomi kebahagiaan. Penelitian mereka menemukan bahwa individu yang terlibat dalam pekerjaan yang bermakna serta kegiatan sosial dan keagamaan melaporkan tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi, terlepas dari tingkat pendapatan mereka.

Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah mulai mengadopsi metrik berbasis kebahagiaan dalam kebijakan mereka. Indeks Kebahagiaan Nasional Bruto (GNH) Bhutan, yang pertama kali diperkenalkan pada tahun 1970-an, kembali mendapat perhatian sebagai alternatif terhadap model pembangunan yang hanya berfokus pada PDB. Pendekatan serupa telah diterapkan di negara seperti Selandia Baru, yang memperkenalkan Wellbeing Budget sebagai bagian dari kebijakan ekonomi mereka.

Integrasi ekonomi Islam dalam penelitian kebahagiaan juga mulai berkembang. Chapra (2016) dan Nasr (2020) berpendapat bahwa prinsip-prinsip ekonomi Islam, yang menekankan keadilan, zakat, dan kesejahteraan sosial, sangat selaras dengan konsep ekonomi kebahagiaan. Mereka berargumen bahwa penerapan nilai-nilai etika dan spiritual dalam kebijakan ekonomi dapat menghasilkan kesejahteraan yang lebih holistik.

Penelitian masa depan dalam ekonomi kebahagiaan diperkirakan akan mengeksplorasi dampak kecerdasan buatan, otomatisasi, dan perubahan iklim terhadap kesejahteraan global. Seligman (2021) berpendapat bahwa psikologi positif akan memainkan peran yang semakin penting dalam merancang kebijakan ekonomi yang berorientasi pada kebahagiaan manusia.

Perkembangan ekonomi kebahagiaan menunjukkan bahwa kesejahteraan manusia dipengaruhi oleh interaksi yang kompleks antara faktor ekonomi, sosial, dan psikologis. Meskipun pendapatan tetap menjadi faktor penting, semakin banyak penelitian yang mendukung pandangan bahwa kebahagiaan yang berkelanjutan bergantung pada aspek yang lebih luas, seperti kesehatan, hubungan sosial, dan makna hidup.

Daftar Pustaka

  • Brynjolfsson, E., & McAfee, A. (2020). The Second Machine Age: Work, Progress, and Prosperity in a Time of Brilliant Technologies. W. W. Norton & Company.
  • Chapra, M. U. (2016). Islam and the Economic Challenge. Islamic Foundation.
  • Clark, A. E., Frijters, P., & Shields, M. A. (2008). "Relative Income, Happiness, and Utility: An Explanation for the Easterlin Paradox and Other Puzzles." Journal of Economic Literature, 46(1), 95–144.
  • De Neve, J. E., & Krekel, C. (2021). "The Science of Well-being and COVID-19: A Review." World Happiness Report 2021.
  • Diener, E., Lucas, R. E., & Scollon, C. N. (2006). "Beyond the Hedonic Treadmill: Revising the Adaptation Theory of Well-Being." American Psychologist, 61(4), 305–314.
  • Diener, E., Oishi, S., & Tay, L. (2018). Happiness: The Science of Subjective Well-Being. Guilford Publications.
  • Dolan, P., Peasgood, T., & White, M. (2022). Happiness by Design: Change What You Do, Not How You Think. Penguin Books.
  • Easterlin, R. A. (1974). "Does Economic Growth Improve the Human Lot? Some Empirical Evidence." In P. A. David & M. W. Reder (Eds.), Nations and Households in Economic Growth: Essays in Honor of Moses Abramovitz (pp. 89–125). Academic Press.
  • Frey, B. S., & Stutzer, A. (2002). Happiness and Economics: How the Economy and Institutions Affect Human Well-Being. Princeton University Press.
  • Graham, C. (2017). Happiness for All? Unequal Hopes and Lives in Pursuit of the American Dream. Princeton University Press.
  • Helliwell, J. F., Layard, R., & Sachs, J. (2012). World Happiness Report 2012. Earth Institute, Columbia University.
  • Kahneman, D., & Deaton, A. (2010). "High Income Improves Evaluation of Life but Not Emotional Well-Being." Proceedings of the National Academy of Sciences, 107(38), 16489–16493.
  • Kroll, C., & Delhey, J. (2013). "A Happy Nation? Opportunities and Challenges of Using Subjective Indicators in Policymaking." Social Indicators Research, 114(1), 13–28.
  • Layard, R. (2005). Happiness: Lessons from a New Science. Penguin Books.
  • Nasr, S. H. (2020). The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity. HarperOne.
  • Seligman, M. E. P. (2021). Flourish: A Visionary New Understanding of Happiness and Well-being. Atria Books.
  • Sen, A. (1999). Development as Freedom. Oxford University Press.
  • Stevenson, B., & Wolfers, J. (2008). "Economic Growth and Subjective Well-Being: Reassessing the Easterlin Paradox." Brookings Papers on Economic Activity, 2008(1), 1–87.
  • Stiglitz, J. E., Sen, A., & Fitoussi, J. P. (2009). Report by the Commission on the Measurement of Economic Performance and Social Progress. Commission on the Measurement of Economic Performance and Social Progress.

Sabtu, 27 Mei 2023

Fakta Tentang Batin Alam dan Awang Mahmuda




Kronik Sungai Alam terkuak sudah. Sebuah Kampung lama yang ada di pulau Bengkalis itu menyimpan misteri nama serta mitos yang selalu dikisahkan kepada setiap generasi. Dalam penuturannya maka hadirnya sosok Batin Alam, Mak Sikancing serta Awang Mahmuda yang menjadi legenda dalam kisah asal usul desa Sungai Alam itu yang selama ini belumdapat terungkap melalui sebuahn fakta sejarah. Meskipun baik Hikayat Siak maupun catatatan sejarah lainnya sempat menyebut adanya Bathin dipulau Bengkalis pada kurun Abat ke 15 sd 18 tersebut.

Pulau yang setrategis diera niaga pra kolonialis itu, didiami oleh orang selat demikian hikayat Melayu dan Siak menuturkan. Masyarakat dipulau itu dikepalai oleh beberapa orang Bathin. Alkisah tersebutlah seorang Batin di pulau ini dengan sebutan Batin Alam, mitos dan legenda kesaktiannya dikabarkan dari generasi kegenerasi sebagai seorang tokoh hebat yang tinggal dikampung yang terhubung oleh sebatang sungai menuju kelaut. Sangking populernya tokoh tersebut sehingga sungai itu dinamakan Sungai Alam. Kisah legenda keperkasaan Batin Alam ini, sudah lama menjadi cerita dari mulut kemulut yang belum memiliki fakta sejarah yang dapat mengokohkannya. 

Sampailah pada beberapa waktu yang lalau disaat penulis menekuni kajian "sejarah perdagangan awal selat Melaka". kajian kesejarahan serta fakta-faktar tentang eksistensi pulau-pulau sepannjang garis pantai  Selat Melaka menjadi menarik untuk diamati terutama pulau Bengkalis dan Rupat. Dalam proses pengumpulan data, tiba-tiba penulis menemukan sebuah dokumen lama berupa kliping koran yang diterbitkan di Belanda berkisar tahun Sept 1867 sebagaimana gabar dibawah ini:

Pada paragraf 2 sebelah kanan artikel ini menyebutkan tentang Batin, jika ditulis kembali maka dapat dituliskan sebagai berikut :

Naarmate zij wies, nam de toeloop van volk toe inzonderheid daar Marlimou, en wel zoodanig, dai Batin Alam zich weldra genoodzaakt zag daar tij delijk een bandar (sjahbandar) aan te stellen. Daartoe werd aangewesen een bit Pagoeroejoeng geboortig, doch te Merbau woonachtig persoon, wien de gelar Werd toegekend van : Bandar Sendrak.” Deze zou de cerste Bandar van Bengkalis zijn geweeet.

Met de toename van het aantal immigranten steeg ook de urgentie tot aanstolling van meerdero Batins, waartoe, naa verluidi, Intje Timah. later meer be kend onder de gelar van Djandjang Radja (de eerste hantoe troeboek), den stoot zou hobben gegeven. Mij werd terzaker het volgende verhaal gedaan:

 Sialang Laoet was een man die er behagen in vond kandoeris (offermaalfeestan) te geven. Zoo gebeurde 't dat door hem een kandoeris werd geor ganiseerd, die twee maanden had geduurd. enwaaraan vale menschen  doelaamen. Gedurende dit offerfeest nu, at plaats vond In een bovon het wateroppervlak van de Brouwerstraat, aan de koewala der Soengei Alam, gebonwde bangsal

yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia;

Seiring pertumbuhannya, masuknya orang meningkat, terutama di Marlimou, dan sedemikian rupa sehingga Batin Alam segera terpaksa menunjuk sementara seorang bandar (shahbandar) di sana. Untuk itu, lahirlah seorang Pagoeroejoeng kecil yang tinggal di Merbau, yang dianugerahi gelar: Bandar Sendrak.” Ini akan menjadi Bandar Bengkalis pertama.

Dengan bertambahnya jumlah pendatang, urgensi untuk memantapkan beberapa Batin juga meningkat, salah satunya menurut laporan Intje Timah. kemudian lebih dikenal dengan gelar Djandjang Radja (hantu trouboek pertama), pukulan akan diberikan. Kisah berikut diceritakan kepada saya:

Sialang Laut adalah orang yang senang memberikan kanduris (pesta kurban). Kebetulan dia mengorganisir kanduery yang berlangsung selama dua bulan. dan yang disebut pria pucat. Sekarang selama pesta kurban ini, yang berlangsung di bagian atas permukaan air Brouwerstraat, di kuwala Alam Soengei, bangsal dibangun

Paling tidak catatan diatas menjelaskan bahwa Batin Alam bukan dongen, bahkan beliaulah yang menunjuk datuk Bandar pertama di Pulau Bengkalis serta hadirnya sosok peria pucat yang disebut "Sialang Laut" yang sangat dermawan yang melaksanakan kenduri di kuala Sungai Alam selama dua bulan penuh boleh jadi pemuda inilai yang banyak dituturkan pada sasra lisan disebut sebagai Awang Mahmuda. kisah ini tentu memerlukan analisis serta memerlukan dukungan fakta lainnya atau kronik-kronik sejarah yang mendukung fakta tersebut. Namun apa yang pasti bahwa sebagai sebuah kampung lama Sungai Alam merupakan wujud dari sejarah atas pulau yang pernah diperebuatkan oleh berbagai kekuatan diera niaga selat Melaka.

Catatan, HM.Rizal Akbar 28/05/2023


Sabtu, 29 April 2023

Riau Pesisir dan "Ketamaddunan Melayu Bahari"

Perjuangan pemekaran wilayah Provinsi Riau Pesisir bukan tanpa alasan. Wacana yang dihembuskan dari berbagai tokoh terutama yang berkepentingan dengan wilayah eks Kabupaten Bengkalis yang memghampar disepanjang pesisir Selat Melaka dari Kepulauan Meranti hingga Rokan Hilir ini mengemukakan adanya Ketimpangan pembangunan, prioritas pembangunan, keunggulan serta homogenitas kultur serta struktur sosial ekonomi masyarakat sebagai alasan yang dilontarkan. 

Namun lebih jauh dari itu terdapat alasan filosofis kesejarahan yang penting ketika membahasan pemekaran wilayah Riau Pesisir yakni mengembalikan semangat "Ketamadunan Melayu Bahari" dengan Selat Melaka sebagai objek utama yang mengilhami peradaban tersebut. Internasionalisasi ekonomi yang pernah dijalankan masyarakat dikawasan ini sejak Masa Kerajaan Koying diawal Abad Pertama, Kegemilangan Sriwijaya di Abad ke 6 yang dilanjutkan oleh Kemasyhuran Melaka di Abad ke 14 sampailah Kerajaan Siak diabad ke 18 semuanya menjadikan kawasan hamparan pesisiran timur sumatera eks Kabupaten Bengkalis itu sebagi tumpuan utama ekonominya, yang ditopang pula oleh tiga suangai utama yakni, Sungai Kampar, Siak dan Rokan.

Sementara pulau-pulau yang berjejer disepanjang hamparan itu menjadi entri point serta penghubung utama menuju ke daratan besar Asia melalui semenanjung Malaysia. Perdangan-perdangan itu mengalir dan terhubung dengan pusaran ekonomi dunia melintasi jalur sutra dari Cina dan India serta menyebar ke Jazirah Arab dan Erofa. Disanalah pembentukan peradaban itu terjadi sehingga Melayu menjadi utama dalam bahasa, adat istiadat  serta ketamaddunannya. Semuanya terjadi dihamparan kawasan itu yang kini sedang diperjuangkan dalam entitas Provinsi Riau Pesisir. 

#Dr.Rizal Akbar
Bacalon DPD RI dari Riau 2024
30 April 2023


Selasa, 18 April 2023

"Lampu Colok" Budaya Akhir Ramadhan Pesisir Selat Melaka

Ketika 26 Ramadhan dan malamnya 27 Ramadhan yang juga disebut malam "Tujuh Likur", sebuah istilah jawa yang populer pada masyarakat Melayu pesisir Selat Melaka, terutama Bengkalis, Dumai, Kepulauan Meranti menjadikan malam tujuh likut itu sebagai malam yang ditunggu-tunggu, sebab pada malam tersebut pelita-pelita dinyalakan kampung-kampung Melayu pesisir Selat Melaka terang benderang oleh cahaya pelita-pelita yang disusun membentuk formasi tertentu yang eksotis dengan keindahan yang luarbiasa dan mereka menyebutnya dengan "Lampu Colok".

Berawal dari upaya menerangi jalan menuju Masjid dan Mushalla, dalam rangka meningkatkan ibdah diakhir-akhir Ramadhan yang memiliki nilai pahala yang melimpah ditambah dengan hadirnya satu malam pada rentang itu yang  pahalanya bagi orang beribadah pada malam tersebut sama dengan 1000 bulan. Malam itu disebut dengan malam Lailatut Qadar. Mativasi ibadah yang tinggi pada malam-malam yang gelap dipenggujung bulan tersebut menyebabkan  para ulama kampung pesisir selat Melaka pada masa itu berinisiatif untuk menerangi kampung terutama jalan-jalan menuju Masjid dan Mushala serta perkarangan Rumah dengan  memasang pelita yang berbahan bakar minyak tanah, maklum pada masa itu jaringan listrik belum tersedia.

Pemasangan pelita-pelita itu pada mulanya selain sebagaimana tujuan diatas, namun berkembang pula mitos bahwa penerangan jalan serta perkarangan rumah berkaitan dengan kepercayaan bahawa diakhir-akhir Ramadhan itu, arwah orang-orang tercinta yang telah berpulang kerahmatullah, akan kembali mengunjungi keluarganya. Sehinga diperluka  penerang jalan sehingga mereka tidak kesulitan menemui kediaman-kediaman dulu semasa hidupnya. Mitos ini diera 80an kebahwah sangat diyakini oleh masyarakat yang pada masa itu lebih bercorak Islam spritual. Namun tidak untuk saat ini dimana masyarakat muslim yang sudah sangat rasional. 

Mitos kembalinya arwah dimalam akhir-akhir Ramadhan sepertinya dikisahkan dengan tujuan yang juga berkaitan dengan ketaatan dan memperbanyak amal shaleh keluarga, dengan motivasi bahwa amal ibadah tersebut sangat disukai oleh para penghuni kubur. Sehingga jika ahli keluarga mencintai kawlanya yang telah meninggal maka mereka harus memperbanyak amal ibdah jelang akhir-akhir Ramadhan. 

Lampu Colok awalnya belum ada formasi bentuk-bentuk yang mengambarkan masjid atau yang lainnya dari pemasangan pelita tersebut. Di era 80an kebawah pelita-pelita itu disebar dengan mengunakan penahan kayu dengan bagian atasnya diberi alas untuk meletakan pelita dan ada juga yang mengunakan paku untuk menyangkut pelita. 

Pelita pada awalnya terbuat dari botol kaca bekas, dan selanjutnya juga digunakan bekas kaleng minuman kemasan. Namun ada pula yang mengunakan bambu atau buluh, baik yang dipacakkan langsung ketanah maupun dibuat formasi Melintang dengan sumbu yang berjejer dipermukaannya.

Akibat dari hidupnya lampu-lampu yang banyak dimalam hari sejak 27 Ramadhan sampai dengan malam 1 Sawal itu, menarik perhatian bagi masyarakat untuk keluar rumah untuk menikmati cahaya lampu tersebut. Kemerihan itu lama- kelamaan  menyebabkan Colok menjadi cita rasa budaya tersendiri bagi kawasan pesisir selat Melaka jelang Idul Fitri setiap tahunnya. 

27 Ramadhan 1444 H
H. M. Rizal Akbar