![]() |
| Disampaikan pada 22 Juni 2024, Seminar Antarabangsa Islam Sebagai Ad-Din yang diadakan di Universiti Teknologi MARA (UiTM) Cawangan Pahang, Kampus Raub |
Di tengah arus globalisasi dan derasnya pertukaran gagasan lintas batas, liberalisme menjadi salah satu ideologi yang paling kuat memengaruhi cara berpikir masyarakat modern, termasuk generasi muda Muslim. Ide tentang kebebasan individu, hak asasi manusia, dan otonomi berpikir kini hadir bukan hanya dalam wacana politik dan ekonomi, tetapi juga merasuk ke ruang budaya, pendidikan, dan bahkan tafsir keagamaan.
Dalam situasi ini, belia Islam berada di garis depan. Mereka adalah kelompok yang paling akrab dengan dunia digital, paling terbuka pada gagasan baru, sekaligus paling menentukan arah masa depan umat. Karena itu, pertanyaannya bukan lagi apakah liberalisme akan berpengaruh, melainkan bagaimana belia Islam menyikapinya.
Liberalisme memiliki sejarah panjang dalam tradisi pemikiran Barat. Sejak John Locke, Montesquieu, hingga Adam Smith, liberalisme berkembang sebagai respons atas absolutisme kekuasaan dan ketimpangan sosial. Dalam konteks tertentu, gagasan ini melahirkan kemajuan politik dan ekonomi. Namun, ketika liberalisme dipahami sebagai ideologi yang melepaskan kebebasan dari nilai dan batas moral, ia berpotensi bertabrakan dengan prinsip dasar ajaran Islam.
Persoalan menjadi lebih kompleks ketika muncul istilah “Islam liberal”. Sebagian melihatnya sebagai upaya pembaruan pemikiran Islam agar relevan dengan zaman, sementara sebagian lain menganggapnya sebagai infiltrasi nilai liberalisme Barat ke dalam tubuh Islam. Di sinilah pentingnya kejernihan berpikir. Islam liberal perlu dibedakan antara ideologi dan proses.
Jika Islam liberal diposisikan sebagai ideologi yang menjadikan kebebasan individu sebagai nilai tertinggi tanpa rujukan wahyu, maka hal itu problematik. Namun jika ia dipahami sebagai proses ijtihad, sebagai ikhtiar intelektual untuk membaca teks dan konteks secara bertanggung jawab, maka proses tersebut justru merupakan kebutuhan setiap zaman. Ijtihad, bagaimanapun, tidak pernah bebas nilai; ia harus selalu berpijak pada Al-Qur’an, Sunnah, dan tujuan kemaslahatan umat.
Di sinilah tanggung jawab belia Islam menjadi krusial. Belia Islam tidak cukup hanya menjadi generasi yang toleran dan terbuka, tetapi juga harus tafāqquh fī al-dīn—memiliki pemahaman agama yang mendalam, kritis, dan utuh. Tanpa fondasi ini, keterbukaan mudah berubah menjadi kebingungan, dan kebebasan mudah tergelincir menjadi relativisme.
Belia Islam juga dituntut memiliki wawasan moderasi (wasaṭiyyah). Moderasi bukan sikap setengah-setengah, melainkan kemampuan menempatkan diri secara adil di antara ekstremisme dan liberalisme tanpa batas. Dalam konteks masyarakat majemuk, sikap ini memungkinkan Islam hadir sebagai kekuatan moral yang komunikatif, humanis, dan membangun peradaban.
Selain itu, belia Islam perlu berakar pada kearifan lokal. Islam tidak hidup di ruang hampa; ia selalu berdialog dengan budaya dan sejarah masyarakat. Pendekatan seperti Islam Nusantara, Islam Madani, atau Islam Hadari menunjukkan bahwa nilai-nilai Islam dapat tumbuh serasi dengan konteks sosial tanpa kehilangan prinsip dasarnya.
Pada akhirnya, liberalisme adalah realitas zaman yang tidak dapat dihindari, tetapi tidak harus diterima tanpa kritik. Belia Islam bukan sekadar objek pengaruh, melainkan subjek peradaban. Dengan kedalaman ilmu, kejernihan berpikir, dan kematangan spiritual, belia Islam dapat mengawal perubahan, menyaring ide, dan memastikan bahwa modernitas tidak menjauhkan umat dari nilai, tetapi justru memperkuat makna Islam sebagai ad-dīn yang membimbing dan membebaskan.
Dokumen : PPT Dokumentasi








