Running Text - Dr. Rizal Akbar
Assoc Prof Dr. H. M. Rizal Akbar, S.Si, M.Phil adalah Rektor Institut Agama Islam Tafaqquh Fiddin Dumai dan Sekjen Perhimpunan Ilmuwan Pesisir Selat Melaka (PIPSM). Beliau juga merupakan Doktor Ekonomi Islam terbaik Universitas Trisakti Jakarta tahun 2016 dan Pengurus Pusat Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) Komite Organisasi, Wilayah dan Komisariat. Anak bungsu dari pasangan H. Akbar Ali (Alm) dan Hj. Aisyah (Almh) ini lahir di Sungai Alam, Bengkalis 12 September 1974. Memulai pendidikan di SD Negeri 61 Sungai Alam, SMPN 3 Bengkalis dan SMAN 2 Bengkalis. Sarjan S1 Diselesaikannya di Universitas Riau, Pada Jurusan Matematika FMIPA, Tahun 1998. Menyelesaikan S2 di Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM). Pada tahun 2007 dengan gelar Master Of Philosopy (M. Phil) yang selanjutnya mengantarkan beliau pada program Doktor di Islamic Economic and Finance (IEF) Universitas Trisakti Jakarta yang diselesaikannya pada tahun 2016 dengan kelulusan Cumlaude, dan Doktor Ekonomi terbaik I.

Senin, 10 Juni 2024

Budaya Melayu dalam Lintas Sejarah Perniagaan Selat Melaka

Materi disampaikan Pada :Webinar Seri #6 bertajuk “Mengulik Fenomena Lintas Budaya di Daerah Perbatasan” yang diselenggarakan oleh Pusat Riset Bahasa, Sastra, dan Komunitas, Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra, BRIN, 10 Juni 2024

Selat Melaka merupakan salah satu jalur pelayaran dan perdagangan terpenting dalam sejarah dunia. Letaknya yang strategis—menghubungkan Samudra Hindia dan Laut Cina Selatan—menjadikan kawasan ini sejak awal sebagai ruang pertemuan berbagai bangsa, komoditas, dan kebudayaan. Dalam lintasan sejarah yang panjang, Selat Melaka tidak hanya membentuk jaringan perdagangan internasional, tetapi juga melahirkan dan mematangkan budaya Melayu sebagai identitas peradaban maritim yang khas.

Sejak masa awal Masehi, Selat Melaka telah menjadi jalur utama perdagangan antara dunia Timur dan Barat. Pedagang dari India, Cina, dan Timur Tengah berlayar membawa rempah-rempah, sutra, dan barang-barang mewah lainnya. Aktivitas niaga ini mendorong tumbuhnya pelabuhan-pelabuhan awal dan komunitas pesisir yang kemudian menjadi embrio masyarakat Melayu maritim. Dalam fase ini, budaya Melayu mulai terbentuk melalui interaksi intensif dengan budaya asing, khususnya pengaruh Hindu–Buddha yang dibawa oleh pedagang dan pendeta dari India.

Bukti-bukti arkeologis menunjukkan keberadaan kerajaan-kerajaan Melayu bercorak Hindu–Buddha di sekitar Selat Melaka. Pengaruh ini tampak dalam struktur kekuasaan, sistem kepercayaan, seni, dan simbol-simbol kebudayaan awal Melayu. Namun, pengaruh tersebut tidak serta-merta menghilangkan identitas lokal. Sebaliknya, masyarakat Melayu menunjukkan kemampuan adaptif dengan menyerap unsur-unsur luar dan menyesuaikannya dengan konteks setempat.

Puncak kejayaan perniagaan Selat Melaka terjadi pada abad ke-15 dengan berdirinya Kesultanan Melaka. Kesultanan ini menjelma menjadi pusat perdagangan internasional sekaligus pusat kebudayaan Melayu dan penyebaran Islam di Asia Tenggara. Melaka bukan hanya pelabuhan transit, tetapi juga ruang kosmopolitan di mana pedagang dari berbagai bangsa hidup berdampingan dalam sistem niaga yang relatif tertib dan aman. Pada fase ini, Islam memainkan peran transformatif yang sangat signifikan.

Masuknya Islam membawa perubahan mendasar dalam budaya Melayu, terutama dalam bidang hukum, sastra, seni, dan arsitektur. Nilai-nilai Islam berpadu dengan tradisi lokal, melahirkan karakter budaya Melayu-Islam yang menjunjung adat, etika, dan tata kehidupan sosial yang berlandaskan agama. Kesultanan Melaka menjadi contoh bagaimana perdagangan, kekuasaan, dan agama saling menguatkan dalam membentuk peradaban.

Namun, kejayaan tersebut mengalami guncangan besar dengan datangnya kekuatan kolonial Eropa. Penjajahan Portugis, disusul Belanda dan Inggris, membawa perubahan drastis dalam struktur perniagaan Selat Melaka. Jalur perdagangan dikuasai kepentingan kolonial, dan pusat-pusat kekuasaan lokal mengalami kemunduran. Meski demikian, budaya Melayu tidak punah. Ia justru menunjukkan daya lenting yang kuat dengan beradaptasi terhadap perubahan politik dan ekonomi yang berlangsung.

Pada masa kolonial, masyarakat Melayu tetap mempertahankan bahasa, adat istiadat, dan nilai-nilai budaya sebagai penopang identitas. Hubungan internasional yang sebelumnya dijalin oleh Kesultanan Melaka—dengan Cina, India, Arab, dan Eropa—meninggalkan jejak kultural yang memperkaya kebudayaan Melayu. Budaya Melayu berkembang sebagai hasil dialog panjang antara lokalitas dan globalitas.

Hingga hari ini, warisan budaya Melayu di kawasan Selat Melaka masih dapat dijumpai dalam berbagai aspek kehidupan: bahasa, adat istiadat, kuliner, seni, dan praktik sosial masyarakat pesisir. Warisan ini tidak bersifat statis, melainkan terus berkembang dan diwariskan kepada generasi muda sebagai identitas kolektif. Selat Melaka, dalam konteks ini, bukan sekadar jalur perdagangan, tetapi jalur peradaban yang membentuk jati diri Melayu lintas zaman.

Dengan demikian, budaya Melayu adalah cermin dari perjalanan sejarah panjang perniagaan di Selat Melaka. Memahami lintasan sejarah ini memberikan wawasan penting tentang bagaimana perdagangan membentuk budaya, dan bagaimana budaya pada gilirannya menjaga kesinambungan peradaban. Selat Melaka telah, dan akan terus, menjadi ruang strategis bagi pembentukan identitas Melayu masa lalu, masa kini, dan masa depan

Dokumen : PPT Dokumentasi