Running Text - Dr. Rizal Akbar
Dr. H. M. Rizal Akbar, S.Si, M.Phil adalah doctor ekonomi islam terbaik universitas Trisakti Jakarta tahun 2016. Anak bungsu dari pasangan H. Akbar Ali (Alm) dan Hj. Aisyah (Almh) ini lahir di Sungai Alam, Bengakalis 12 September 1974. Menikah dengan Lestary Fitriany ST, ME yang merupakan Putri dari H. A. Nong Manan, yang merupakan tokoh masyarakat di Selat Panjang Kepulauan Meranti. Masa kecil dan remajanya dihabiskan bersama rekan-rekannya di SD Negeri 61 Sungai Alam, SMPN 3 Bengkalis dan SMAN 2 Bengkalis. Sarjan S1 Diselesaikannya di Universitas Riau, Pada Jurusan Matematika FMIPA, Tahun 1998. Menyelesaikan S2 di Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM). Pada tahun 2007 dengan gelar Master Of Philosopy (M. Phil) yang selanjutnya mengantarkan beliau pada program Doktor di Islamic Economic dan Finance (IEF) Universitas Trisakti Jakarta yang diselesaikannya pada tahun 2016 dengan kelulusan Cumlaude, dan Doktor Ekonomi terbaik I.

Perlu Penguatan Visi Wisata Pulau Rupat

Visi pariwisata seharusnya dapat dituangkan didalam semua proses pembangunan di pulau ini, baik pada aspek perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian.

Teori Ekonomi Kebahagiaan Sejak Easterlin Paradox

Teori ekonomi kebahagiaan pertama kali mendapat perhatian luas setelah Richard Easterlin mengemukakan Easterlin Paradox pada tahun 1974.

Peradaban itu Berawal dari Arus Sungai Hingga Arus Informasi

Pradaban besar dunia pada masa awal sangat ditentukan oleh Sungai. Lihatlah peradaban Cina yang berawal dari sungai Kuning atau Hwang Ho, peradaban Eropa pula ditentukan oleh dua sungai yakni Eufrad dan Tigris.

Warisan Keulamaan H. Zainal Abidin Sungai Alam

Sebuah penelusuran awal trah keulamaan dan perjuangan dakwah Islam yang dijalankan oleh silsilah keturunan H. Zainal Abidin yang bermukim di desa Sungai Alam Bengkalis.

Fakta Tentang Batin Alam dan Awang Mahmuda

Sungai Alam terkuak sudah. Sebuah Kampung lama yang ada di pulau Bengkalis itu menyimpan misteri nama serta mitos yang selalu dikisahkan kepada setiap generasi.

Rabu, 21 November 2018

Caleg dan Tahun Politik


Berpolitik itu adalah sebuah metapora kehidupan. Membumbui aktifitas keseharian dengan sebuah misi yang berbeda dengan kebanyakan orang. Nyentrik dan terkesan unik itulah pesona poltik. Maka tidak salah ada ungkapan yang menyatakan bahwa, "jika ada orang yang tiba-tiba berprilaku ramah dan suka senyum, dapat dipastikan bahwa dia caleg".

Tahun politik jelang 17 April 2019 mendatang terasa panas dingin, terutama bagi mereka yang menyadang predikat caleg (calon legislatif). Berharap simpati masyarakat untuk dipilih dengan berbagai trik dilakukan, mulai dari hal-hal yang rasional sampailah kepada yang buat kita geleng-geleng kepala, itulah politik. Dia dapat dilakoni oleh siapapun, pada lefel pendidikan dan pengalaman apapun, namun hasilnya tergantung pada tingkat kebutuhan masyarakat akan politik itu sendiri.

Membahas tingkat kebutuhan masyarakat akan politik, dapat dijelaskan dari berbagai sudut pandang. Yang paling sederhana dari semua sudut pandang itu, adalah sudut pandang "pragmatis".  Dari sudut pandang ini masyarakat melihat politik sebagai sumberdaya ekonomi musiman. Mulai dari biaya politik, pilantropi dadakan sampailah serangan fajar selalu menjadi wacana yang menarik bila musim politik sudah ditabuhkan.

Politisi baru (pemain baru) biasanya sangat getir dengan isu ini, banyak yang mengrungkan niatnya untuk maju menjadi caleg jika merasa tidak memiliki modal finasial yang cukup untuk memenuhi segala kebutuhan pernak-pernik kebutuhan politik itu.  Bahkan tidak sedikit pula yang mengadaikan hartanya secara besar-besaran dengan hitungan pasti bak pedagang politik yang bertransaksi dalam pasar permintaan dan penawaran suara, meskipun pada akhirnya keputusan politik tidak selalu sama dengan apa yang diperhitungkan.

Dari sudut pandang filosofis akademik politik adalah kebutuhan, baik kebutuhan para politisi dalam berekspresi maupun kebutuhan masyarakat dalam menentukan pemimpin yang hebat untuk membela nasib mereka. Cara pandang ini dapat disebut dengan pandangan ideal, dimana  politik merupakan salah satu instrumen bangsa. Karena kemajuan bangsa akan tergantung kepada bagaimana pemimpinnya.

Memahamkan masyarakt akan tujuan ideal politik merupakan bagian dari kerja etis politik. Namun untuk mampu efektif maka kerja-kerja etis politik itu akan semakin dimungkinkan jika didukung oleh kekuasaan yang memihak. Sementara kekuasaan merupakan ruang praktis politik yang menjadi perebutan pada tiap-tiap musim politik. Sehingga keduanya saling mendukung baik etis maupun praktis politik.