Sabtu, 29 April 2023 | By: SahabatRiau

Riau Pesisir dan "Ketamaddunan Melayu Bahari"

Perjuangan pemekaran wilayah Provinsi Riau Pesisir bukan tanpa alasan. Wacana yang dihembuskan dari berbagai tokoh terutama yang berkepentingan dengan wilayah eks Kabupaten Bengkalis yang memghampar disepanjang pesisir Selat Melaka dari Kepulauan Meranti hingga Rokan Hilir ini mengemukakan adanya Ketimpangan pembangunan, prioritas pembangunan, keunggulan serta homogenitas kultur serta struktur sosial ekonomi masyarakat sebagai alasan yang dilontarkan. 

Namun lebih jauh dari itu terdapat alasan filosofis kesejarahan yang penting ketika membahasan pemekaran wilayah Riau Pesisir yakni mengembalikan semangat "Ketamadunan Melayu Bahari" dengan Selat Melaka sebagai objek utama yang mengilhami peradaban tersebut. Internasionalisasi ekonomi yang pernah dijalankan masyarakat dikawasan ini sejak Masa Kerajaan Koying diawal Abad Pertama, Kegemilangan Sriwijaya di Abad ke 6 yang dilanjutkan oleh Kemasyhuran Melaka di Abad ke 14 sampailah Kerajaan Siak diabad ke 18 semuanya menjadikan kawasan hamparan pesisiran timur sumatera eks Kabupaten Bengkalis itu sebagi tumpuan utama ekonominya, yang ditopang pula oleh tiga suangai utama yakni, Sungai Kampar, Siak dan Rokan.

Sementara pulau-pulau yang berjejer disepanjang hamparan itu menjadi entri point serta penghubung utama menuju ke daratan besar Asia melalui semenanjung Malaysia. Perdangan-perdangan itu mengalir dan terhubung dengan pusaran ekonomi dunia melintasi jalur sutra dari Cina dan India serta menyebar ke Jazirah Arab dan Erofa. Disanalah pembentukan peradaban itu terjadi sehingga Melayu menjadi utama dalam bahasa, adat istiadat  serta ketamaddunannya. Semuanya terjadi dihamparan kawasan itu yang kini sedang diperjuangkan dalam entitas Provinsi Riau Pesisir. 

#Dr.Rizal Akbar
Bacalon DPD RI dari Riau 2024
30 April 2023


Selasa, 18 April 2023 | By: SahabatRiau

"Lampu Colok" Budaya Akhir Ramadhan Pesisir Selat Melaka

Ketika 26 Ramadhan dan malamnya 27 Ramadhan yang juga disebut malam "Tujuh Likur", sebuah istilah jawa yang populer pada masyarakat Melayu pesisir Selat Melaka, terutama Bengkalis, Dumai, Kepulauan Meranti menjadikan malam tujuh likut itu sebagai malam yang ditunggu-tunggu, sebab pada malam tersebut pelita-pelita dinyalakan kampung-kampung Melayu pesisir Selat Melaka terang benderang oleh cahaya pelita-pelita yang disusun membentuk formasi tertentu yang eksotis dengan keindahan yang luarbiasa dan mereka menyebutnya dengan "Lampu Colok".

Berawal dari upaya menerangi jalan menuju Masjid dan Mushalla, dalam rangka meningkatkan ibdah diakhir-akhir Ramadhan yang memiliki nilai pahala yang melimpah ditambah dengan hadirnya satu malam pada rentang itu yang  pahalanya bagi orang beribadah pada malam tersebut sama dengan 1000 bulan. Malam itu disebut dengan malam Lailatut Qadar. Mativasi ibadah yang tinggi pada malam-malam yang gelap dipenggujung bulan tersebut menyebabkan  para ulama kampung pesisir selat Melaka pada masa itu berinisiatif untuk menerangi kampung terutama jalan-jalan menuju Masjid dan Mushala serta perkarangan Rumah dengan  memasang pelita yang berbahan bakar minyak tanah, maklum pada masa itu jaringan listrik belum tersedia.

Pemasangan pelita-pelita itu pada mulanya selain sebagaimana tujuan diatas, namun berkembang pula mitos bahwa penerangan jalan serta perkarangan rumah berkaitan dengan kepercayaan bahawa diakhir-akhir Ramadhan itu, arwah orang-orang tercinta yang telah berpulang kerahmatullah, akan kembali mengunjungi keluarganya. Sehinga diperluka  penerang jalan sehingga mereka tidak kesulitan menemui kediaman-kediaman dulu semasa hidupnya. Mitos ini diera 80an kebahwah sangat diyakini oleh masyarakat yang pada masa itu lebih bercorak Islam spritual. Namun tidak untuk saat ini dimana masyarakat muslim yang sudah sangat rasional. 

Mitos kembalinya arwah dimalam akhir-akhir Ramadhan sepertinya dikisahkan dengan tujuan yang juga berkaitan dengan ketaatan dan memperbanyak amal shaleh keluarga, dengan motivasi bahwa amal ibadah tersebut sangat disukai oleh para penghuni kubur. Sehingga jika ahli keluarga mencintai kawlanya yang telah meninggal maka mereka harus memperbanyak amal ibdah jelang akhir-akhir Ramadhan. 

Lampu Colok awalnya belum ada formasi bentuk-bentuk yang mengambarkan masjid atau yang lainnya dari pemasangan pelita tersebut. Di era 80an kebawah pelita-pelita itu disebar dengan mengunakan penahan kayu dengan bagian atasnya diberi alas untuk meletakan pelita dan ada juga yang mengunakan paku untuk menyangkut pelita. 

Pelita pada awalnya terbuat dari botol kaca bekas, dan selanjutnya juga digunakan bekas kaleng minuman kemasan. Namun ada pula yang mengunakan bambu atau buluh, baik yang dipacakkan langsung ketanah maupun dibuat formasi Melintang dengan sumbu yang berjejer dipermukaannya.

Akibat dari hidupnya lampu-lampu yang banyak dimalam hari sejak 27 Ramadhan sampai dengan malam 1 Sawal itu, menarik perhatian bagi masyarakat untuk keluar rumah untuk menikmati cahaya lampu tersebut. Kemerihan itu lama- kelamaan  menyebabkan Colok menjadi cita rasa budaya tersendiri bagi kawasan pesisir selat Melaka jelang Idul Fitri setiap tahunnya. 

27 Ramadhan 1444 H
H. M. Rizal Akbar