Kamis, 14 April 2016 | By: SahabatRiau

Kusut Masai

Orang Melayu memiliki padanan kata yang banyak untuk mendefenisikan berbagai peristiwa. Peritilahan yang digunakan memiliki ruh tersendiri yang cukup kuat untuk menyentak rasa. Tidak jarang  ungkapan-ungkapan itu terkesan hiperbola, atau penekanan bunyi dengan ekspresi tertentu.

Citarasa kata dalam ungkapan melayu akan bergeser, sesuai dengan bagaimana iayanya diungkapkan, sebagi contoh kata anjing hanya menunjukan seekor binatang yang bernama anjing namun bila diungkapkan dengan “hanjing”, maka ini menandakan bahwa sang penutur sedang dalam emosi kemarahan yang memuncak.

Begitu pula halnya dengan ungkapan kusut. Jika ungkapan ini ditambah dengan masai, “kusut masai”, maka iya merupakan personifikasi atas satu kesulitan yang nyaris tak dapat diungkai lagi. Tidak mungkin menemukan punca dan pangkal persoalan, itulah “kusut masai”. Orang Melayu menggunakan ungkapan ini pada kondisi yang teramat sukar. Awalnya ungkapan ini dikenakan pada rambut yang berantakan. Namun berkembang menjadi ungkapan yang bersifat umum untuk menggambarkan berbagai fenomena sosial.

“Kusut masai” sangat kontrofersial dengan ungkapan “ bagaikan menarik rambut di dalam tepung”. Karena tidak mungkin lagi mengharapkan rambut yang  tidak putus dan tepung yang tidak berserakan dalam kondisi yang kusut masai. Sehingga ungkapan lain yang sepadan dengannya adalah “bercelaru, lintang pukang atau carut marut.

Dalam konteks sosiologi kusut masai dalam filologi Melayu itu, dapat juga disandingkan dengan kata “krisis”. Karena krisis merupakan bagian dari konflik atau pertentangan diantara das sain and das sollen.  Namun krisis merupakan bentuk konflik tertinggi setelah problematik dan dilemmatik. Pendekatan sosiologi menyangkut krisis, hanya menganjurkan upaya yang bersifat radikal dalam mengatasi krisis. Karena krisis dianalogikan seperti  kangker ganas yang menyerang organ tubuh sehingga  penanganannya perlu dengan amputasi.

Barangkali kita sedang berada ditengah kusut masi itu. Ketika sangat sukar untuk merasionalisasikan kehidupan, yang seharusnya rasional.  Banyak pristiwa yang kadang-kadang diluar akal sehat kita terjadi. Banyak keputusan yang tidak masuk akal, diputuskan. Rasionalitas kini harus digeser kepada doktrinitas. Maka kini bermunculanlah dokrit politik, doktrin ekonomi dan dokrin pendidikan.

Agama yang seyokyanya menjadi agen doktrin kini mulai ditinggalkan. Karena sosialisasi doktrin agama kalah hebat dengan doktrin-doktrin diatas. Mereka mengunakan segala sarana komunikasi untuk mengumandangkan doktrin-doktrin itu. Dan yang sangat menarik adalah bahwa masyarakat percaya dengan doktrin itu, terbukti dengan begitu banyak keputusan masyarakat melalui keputusan demokrasi, secara mayoritas dimenangkan oleh sesuatu yang tidak rasional, meskipun pada akhirnya mereka sendiri yang menerima akibat atas keputusan itu.

Kusut masai itu adalah ketika berkali-kali kesalahan itu terjadi, namun berkali-kali pula masyarakat tidak dapat memahami apa yang sesungguhnya terjadi, sehingga terjadilah kesalahan yang berulang-ulang, dan pada gilirannya keslahan-kesalahan bergeser pula menjadi suatu kewajaran karena tanpa disadari akhirnya masyarakat memaklumi kesalahan itu dan telah beradaptasi dengan kesalahan-keslahan tersebut.


“kusut masai”…. Maka benarlah sebuah ungkapan yang menyatakan “ Kesalahan yang dibiarkan, suatu saat akan berubah menjadi kejahatan”. 14/04/2016

1 Comments:

Posting Komentar