Konsep Pembangunan Ekonomi dalam Islam

SahabatRiau
0
Konsep pembangunan dalam Islam bersifat menyeluruh. Berbeda dengan konsep-konsep pembangunan lain yang lebih mengarah pada pengertian fisik dan materi, tujuan pembangunan dalam Islam lebih dari itu. Bagi Islam pembangunan yang dilakukan oleh manusia seharusnya hanya mengejar satu tujuan utama, yaitu: kesejahteraan individu beserta ummat. Tujuan utama pembangunan menurut Islam mengarah pada kemakmuran dan kebahagiaan. Bukan saja di dunia, namun juga di akhirat kelak atau biasa disebut sebagai falâh (Rama ed.al, 2013).
Dalam konteks falâh , Sadeq (1987)  memperkenalkan konsep a two stage permanent life of human beings. Kehidupan manusia terdiri dari dua tahapan berurutan, yakni kehidupan di dunia yang bersifat temporer dan kehidupan akhirat yang bersifat permanen dan abadi (QS. Al-A’raf: 16-17). Islam mengharapkan kesejahteraan (falâh) di kedua tahapan kehidupan manusia itu. Sehingga kesejahteraan/kebahagiaan manusia (human walfare – W) adalah fungsi dari kesejahteraan di kedua tahapan kehidupan tersebut,  Wt adalah kesejahteraan sementara dan Wp adalah kesejahteraan permanen. Sehingga bentuk persamaan fungsinya adalah:
        W = f1 (Wt, Wp) .... (1)
Selanjutnya variabel Wt, dan Wp adalah fungsi dari sekumpulan variabel yang mempengaruhi kesejahteraan dalam jangka pendek dan jangka panjang dalam kehidupan. Persamaan fungsinya adalah:
        Wt = f2 (Xt, D) .... (2)
        Wp = f3 (Xp, D) .... (3)
Dimana f1, fp, fd > 0, D adalah pembangunan ekonomi, Xt dan Xp adalah variabel yang tidak berhubungan dengan pembangunan ekonomi tetapi berdampak pada kesejahteraan di kedua kehidupan, dunia dan akhirat. Beberapa yang masuk kategori variabel Xt adalah kepuasan yang berasal dari prestasi manusia di dunia, kebahagiaan yang berasal dari hubungan antar sesama, kehidupan lingkungan yang aman dan harmonis, dan sebagainya. Sementara variabel Xp bergantung pada ibadah formal, kebaikan terhadap sesama manusia, dan lain-lain.  Sebenarnya perhatian utama dari hubungan fungsi tersebut adalah pengaruh pembangunan ekonomi (D) terhadap kesejahteraan manusia (W) (Sadeq,1987). 
 Sementara itu yang mempengaruhi pembangunan ekonomi dalam perspektif Islam adalah pertumbuhan ekonomi (economic growth -G), distribusi kekayaan (distributive equity -E) dan nilai-nilai Islam (Islamic values –V).  Sehingga persamaan hubungan fungsionalnya adalah:
        D = f4 (G, E, V) .... (4)
Di mana fg, fe, fv > 0 
Rama ed.al, (2013) menegaskan bahwa pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendapatan yang tinggi adalah indikator ketersediaan makanan, pakaian, tempat tinggal, pendidikan, kesehatan dan kebutuhan dasar lainnya untuk mendapatkan kenyaman hidup. Mencari kenyamanan hidup adalah sesuatu yang tidak dilarang dalam Islam bahkan dianjurkan selama tidak tenggelam dalam buaian hawa nafsu yang membuat lupa kepada Allah (lihat QS. Al-Jumû’ah: 7;  Al-Qashash: 77 dan Al-‘Araf: 31)
Namun demikian, pertumbuhan pendapatan yang tinggi tidaklah cukup untuk menyediakan kebutuhan dasar dan kenyamanan hidup terhadap semua populasi manusia. Karena, meskipun tingkat pendapatan tinggi tetapi tidak terdistribusi secara merata dan adil, maka hanya sebagian atau sekelompok tertentu saja yang akan menikmati pertumbuhan dan perkembangan pendapatan tersebut, sementara yang lain mengalami yang sebaliknya, yaitu kesengsaraan, kekurangan dan kemiskinan. Kondisi tersebut tidak diinginkan oleh Islam. Justru Islam menganjurkan pertumbuhan dan perkembangan ekonomi dan di saat bersamaan menghendaki terjadinya distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil (Rama ed.al, 2013).
Pertumbuhan ekonomi sangat diperlukan dalam perekonomian, menjadi insentif bagi usaha manusia untuk mengeksploitasi sumber daya ekonomi yang tersedia dengan tujuan untuk menghilangkan kemiskinan dan mencapai pertambahan pendapatan dan kekayaan. Anjuran Islam terhadap kegiatan ekonomi bukan untuk mengakumulasi modal, tetapi semata-mata untuk kesejahteraan manusia secara menyeluruh. Kemiskinan membuat individu tidak dapat menjalankan kewajiban pribadi, sosial dan moralnya, oleh karena itu setiap manusia dianjurkan untuk selalu berdoa untuk dihindarkan dari kemiskinan, kekurangan dan kehinaan. Bahkan kemiskinan akan mengantarkan kepada kekufuran (Rama ed.al, 2013).
Berbeda dengan Sadeq (1987), Chapra (2009) memformulasikan sebuah model hubungan fungsional yang menjelaskan variabel-variabel yang mempengaruhi pembangunan dan kemunduran berdasarkan teori Ibnu Khaldun tentang penyebab maju dan runtuhnya sebuah peradaban dalam bentuk model dinamis berbasis pendekatan multidisiplin.
 Model fungsional tersebut sangat dinamis dan lintas disiplin yang memasukkan variabel sosio-ekonomi dan politik, termasuk pemerintah dan otoritas politik (G), keyakinan dan aturan perilaku atau syariah (S), manusia (N), harta benda dan cadangan sumber daya (W), pembangunan (G), keadilan (J) dalam sebuah perputaran inter-dependen yang masing-masing mempengaruhi yang lain dan pada gilirannya akan dipengaruhi oleh yang lain pula (Chapra, 2001).
Model dinamis tersebut menjelaskan bagaimana faktor-faktor politik, moral, sosial, dan ekonomi saling berintegrasi terus-menerus dan mempengaruhi kemajuan dan kemunduran jatuh bangunnya suatu peradaban. Dalam model ini tidak mengakui adanya asumsi ceteris paribus karena tidak ada variabel yang konstan (tetap). Salah satu variabel bisa menjadi mekanisme pemicu (trigger mechanism) yang nantinya akan bereaksi secara berantai yang pada akhirnya akan berdampak pada maju mundurnya sebuah pembangunan dalam jangka panjang.
 Implikasi dalam bentuk hubungan fungsional faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pembangunan dan kemunduran menurut Umar Chapra adalah:  G = f (S, N, W, g dan j). Model ini tidak membatasi dirinya pada variabel-variabel ekonomi untuk menjelaskan pembangunan dan kemunduran. Akan tetapi mengadopsi pendekatan multidisiplin dan dinamik untuk menunjukkan hubungan yang saling terkait antara faktor-faktor sosial, moral, ekonomi, politik, sejarah dan demografi dalam memicu kemajuan pembangunan dan kemunduran dalam masyarakat.
Model dinamis Umar Capra itu dikritisi oleh Choudhury (2008) degan  Paradigma TSR yang merupakan epistimologi pengetahuan. Choudhury menjelaskan bahwa gerakan melingkar epistimologi pengetahuan  itu harus dimulai dari sumber tawhid yakni Al-quran dan Hadits yang disimbolkan dengan Ω (Q,S) dan berputar dan berakhir dengannya. Sehingga menurutnya, hal tersebut berbeda dengan apa yang dikembangkan oleh Chapra (2001), yang menggambarkan fungsi saling berhubungan diantara satu dengan lainnya dimana dia mendefinisikan dengan fungsi G = f (S, N, W, g dan j)" dimana, G menunjukkan variabel Pemerintah; N menunjukkan populasi; W menunjukkan kekayaan, S menunjukkan Syariah; g menunjukkan tahap perkembangan; j menunjukkan keadilan social.
Umar Chapra mengembangkan hubungan tersebut dari paradigma yang dinyatakan oleh Ibnu Khaldun (1986) dalam Al-Mukadimah. Namun Choudhury (2008) mengkritisi konsepsi ini, Ketidaktepatan metodologis analisis Chapra tentang penyebab lingkaran dalam fungsinya di atas dimulai dari memobilisasi keterkaitan antara variabel-variabel endogen lain. Jika S adalah entitas yang terpisah seperti yang ditunjukkan, kemudian diketahui bahwa jika S pengaruh {N, W, g dan j} sementara semua variabel ini bersama-sama mempengaruhi S, maka harus ada faktor umum yang masih intrinsik dalam semua variabel tersebut mempengaruhi hubungan melingkar. Sehingga Choudhury (2008) memperbaiki model tersebut dengan model kesejahteraannya sebagai berikut:
W = W (θ, G, S, N, w, g, j; ∩ ≥) [θ] (1)                                         (1)
Dan selanjutnya model tersebut menjadi :
{θ} W = W (θ (A), G, S, N, w, g, j, {∩ ≥}) [θ (A)]                      (2)
Sehingga
G (θ) = f 1 (θ (A), S, N, w, g, j, W (θ (A)); {∩ ≥}) [θ (A)],               (3)
N (θ) = f 2 (θ (A), S, G, w, g, j, W (θ (A)); {∩ ≥}) [θ (A)],               (4)
S (θ) = f 3 (θ (A), N, G, w, g, j, W (θ (A)); {∩ ≥}) [θ (A)],               (5)
w (θ) = f 4 (θ (A), S, G, N, g, j, W (θ (A)); {∩ ≥}) [θ (A)],               (6)
g (θ) = f 5 (θ (A), S, G, N, w, j, W (θ (A)); {∩ ≥}) [θ (A)],               (7)
j (θ) = f 6 (θ (A), S, G, N, w, g, W (θ (A)); {∩ ≥}) [θ (A)],               (8)
θ = f 7 (θ -, G, S, N, w, g, j, W (θ (A)); {∩ ≥}) [θ - (A)],                  (9)
Dalam model di atas, variabel endogen saling berhubungan, nilai-nilai tertinggal ditunjukkan oleh (-). Setiap hubungan circular causation adalah subscripted dari  {∩≥}[θ]. Hal ini menunjukkan pembelajaran interaktif dan integratif. Interaksi ditandai dengan keragaman dan banyaknya arus pengetahuan. Integrasi antar-nilai pengetahuan ini dilambangkan dengan ∩. Rincian pembelajaran interaktif dan integratif seperti antara agen dan sistem tidak ditampilkan di sini. Preferensi evolusi pengetahuan diinduksikan dalam peserta terjadi karena evolusi dari nilai θ (A) (Choudhury,2008).
Selain pemikiran diatas, Khan (1995) dalam konteks pembangunan ekonomi lebih menekankan pada aspek tenaga kerja. Khan (1995) menggambarkan kurva penawaran tenaga kerja sebagai berikut :

                                                Gambar : 2.2. Penawaran Tenaga Kerja
Dari gambar diatas, SS adalah kurva penawaran tenaga kerja, sementara itu DD menunjukkan permintaan tenaga kerja di dalam sektor yang terorganisasi. H adalah jumlah penduduk usia kerja yang memiliki kapasitas produktif. H1 adalah bagian dari tenaga kerja (H) yang bersedia bekerja dengan upah W yang merupakan upah reservasi minimum; dibawah tingkat upah tersebut, tidak seorang pun yang bersedia bekerja di sektor yang terorganisasi. Di luar H1, hanya H0 yang dipekerjakan pada upah W. H0H1 adalah jumlah tenaga kerja yang bersedia bekerja dengan tingkat upah W tetapi tidak berhasil mendapatkan pekerjaan. Atau dengan kata lain disebut pengangguran. Sementara itu H1H adalah jumlah tenaga kerja yang tidak bersedia bekerja dengan upah W. Mereka hanya mau bekerja jika tingkat upah meningkat hingga sama dengan supply price mereka. Dalam ekonomi konvensional mereka ini disebut bukan angkatan kerja (Khan, 1995).
Dengan menggunakan kurva diatas, Khan (1995) menegaskan bahwa dalam kerangka Islam, kita harus memasukan H0H1 ke dalam surplus tenaga kerja karena tidak ada sumber daya manusia dapat diasumsikan duduk menganggur atau menganggur secara sukarela. Kemalasan tidak disarankan dalam Islam untuk sumber daya apapun, baik tana, tenaga kerja maupun modal. Masih menurut Khan (1995) dengan demikian dalam kerangka pemikiran ekonomi Islam alasan utama seorang individu dalam aktivitas ekonominya adalah sebagai berikut :
1.      Karena dia tidak boleh menjadi penganggur.
2.      Karena dia diperlukan untuk menghidupi diri dan keluarganya dan tidak boleh bergantung dengan orang lain.
3.      Karena dia harus dapat membantu orang-orang miskin ada dalam masyarakatnya.
4.      Karena dia harus menyediakan sumber daya yang dapat digunakan dalam mendakwahkan ajaran Islam
Khan (1995) menganjurkan keberlimpahan tenaga kerja terutama bagi negara-negara ketiga, harus dapat terserap kedalam pasar tenaga kerja. Namun ketika kondisi itu tidak memungkinkan maka angkatan kerja yang tidak terserap kedalam pasar kerja harus dapat didorong menjadi usahawan, sehingga dapat mendorong produktivitas negara.


Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)