Senin, 23 Juli 2018 | By: SahabatRiau

Ekonomi Islam Sebuah Solusi

DR. H. M. Rizal Akbar, S.Si, M.Phil

(Wawancara Eklusif bersama DR. H. M. Rizal Akbar, S.Si, M.Phil)

WACANA tentang Ekonomi Islam kini sedang marak diperbincangkan. Wacana itu didukung oleh fenomena wujudnya praktek perbankan syariah yang semakin hari semakin berkembang. Praktek perbankan syariah yang pada awalnya hanya dijalankan oleh Bank Muamalah, kini sudah menyebar kesemua bank konvensional di Indonesia. Bank-bank konvensional itupun kini telah membuka layanan-layanan syariah.

Selain perbankan, praktek Ekonomi Islam juga dijalankan pada sektor asuransi, dan penjaminan. Selain itu, Ekonomi Islam hanya bergulat pada masalah zakat, infaq, waqaf dan sedekah yang dikelola oleh Badan Amil Zakat (BAZ), Lembaga Amil Zakat (LAZ) serta Unit Pengumpulan Zakat (UPZ) yang tersebar baik di masjid maupun mushala dan instansi-instansi pemerintah maupun swasta. Permasalahannya adalah apakah Ekonomi Islam hanya terhenti pada sektor keuangan saja, berikut ini disajikan wawancara khusus dengan Bapak DR H. M. Rizal Akbar, M.Phil pengamat Ekonomi Islam, Dosen Muamalah  dan Ketua Yayasan STAI Tafaqquh Fiddin Dumai, tentang seputar masalah Ekonomi Islam.

Assalamu’alaikum Bapak...! Menurut Bapak  apa yang membedakan antara Ekonomi Islam dengan ekonomi yang kita jalankan saat ini.

Wa’alaikumsalam, Wr. Wb. Baik, ekonomi yang kita jalankan saat ini dapat disebut dengan ekonomi konvensional, nah dalam konteks perbedaan diantara Ekonomi Islam dengan Ekonomi konvensional itu, saya sependapat dengan beberapa pakar Ekonomi Islam yang menyatakan bahwa perbedaannya terletak pada masalah falsafah ekonominya, meskipun ada sebahagian yang lain menyebutkan perbedaannya terletak pada praktek dalam berekonomi. Ekonomi Islam secara philosofi berorientasi pada falah (kebahagian) sementara Ekonomi konvensional berorientasi pada materi (kebendaan). Selain itu, dari aspek keadilan dalam berekonomi juga terjadi perbedaan. Bila kita simak Surat Al-Baqarah ayat 275, di sana Allah SWT Menyatakan bahwa, ” Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Bila kita pahami ayat ini, maka dalam peraktek Ekonomi Islam secara philosofi tidak boleh adanya ketidak adilan ekonomi (pengzholiman) dan falah sebagai orientasi Ekonomi Islam hanya dapat diraih dengan jalan ”diusahakan” atau dengan kata lain tidak boleh ada prinsip ”uang mencari uang tanpa kerja ”. Bila dalam konteks jual-beli, nilai lebih atau yang disebut keuntungan adalah hasil dari  usaha. Beberapa ulama terdahulu mendefenisikan keuntungan ini dengan ”konpensasi”. Sementara riba’, juga berorientasi pada nilai lebih namun bedanya adalah nilai lebih itu lazim disebut dengan ”bunga”. Bunga, tidak dapat disamakan dengan konpensasi, karena ianya dihutung pada masa awal dan sang kreditur tidak memiliki resiko atas kerugian usaha yang diderita oleh sang peminjam. Sementara dalam Ekonomi Islam harus berlaku prinsip profit-loss Sharing atau bagi hasil (Mudharobah)

Tadi Bapak menyebutkan tentang falah (kebahagian) bisa dijelaskan lebih rinci tentang hal tersebut?

Falah (Kebahagiaan) merupakan orientasi dari Ekonomi Islam, jadi sesungguhnya kita masyarakat Muslim ini adalah orang-orang yang berbahagia. Bayangkan saja setiap kali adzan dikumandangkan, maka muadzin pasti  melantunkan ”hay ya’alal falah” (mari menuju kebahagiaan). Namun kebahagiaan yang telah digariskan di dalam ajaran kita adalah kebahagian di dunia untuk menuju kebahagiaan di akhirat. Sehingga untuk mencapai kebahagiaan itu, kita tidak boleh hanya terhenti pada materi (kebendaan) semata. Nah, disinilah letak perbedaannya, bila ekonomi konvesional hanya terbatas pada materi sementara Ekonomi Islam jauh melampauinya dengan falah (kebahagian). Artinya dalam konsep Ekonomi Islam materi yang diperoleh harus dapat menyelamatkan dan materi yang dapat menimbulkan kemudharatan dan menyengsarakan harus dijauhi dan dihindari. 

Kembali pada pokok masalahnya, Bagaimana menurut bapak tentang praktek Ekonomi Islam saat ini?

Ya, praktek Ekonomi Islam sampai saat ini masih berkutat pada sektor keuangan. Perbankan, Asuransi, Penjaminan dan sektor klasik, zakat, sedekah, infaq dan waqaf. Sementara ruang-ruang ekonomi lainnya masih dalam konteks wacana keilmuan seperti : Ekonomi Pembangunan Islam, Ekonomi Makro dan Mikro Islam, Akuntansi Syari’ah dan sebagainya. Pada hal bila wacana ilmu ini dapat dipraktekkan saya yakin bahwa ianya dapat merubah corak perekonomian dunia saat ini. Saat ini kita dapat melihat perekonomian dunia semakin hari semakin parah. Kapitalisme ternyata gagal memakmurkan penduduk bumi, malah sebaliknya melahirkan bencana yang berkepanjangan. Namun sayangnya disaat orang hampir sepakat bahwa kapitalisme gagal, ilmuan Islam belum sepenuhnya dapat menampilkan konsep Ekonomi Islam sebagai solusi, disebabkan kurang diminatinya bidang ilmu ini pada masa-masa lalu.

Selanjutnya menurut Bapak, apakah praktek perbankan syari’ah saat ini sudah sesuai dengan prinsip-prinsipnya?

Menyangkut sudah sesuai atau tidaknya praktek perbankan dengan prinsip-prinsip syari’ah sesungguhnya secara formal sudah diatur oleh Dewan Syari’ah. Selagi praktek perbankan syari’ah itu mengikuti fatwa-fatwa Dewan Syari’ah tersebut secara formal ya sudah sesuai. Namun saya berharap masyarakat juga harus cerdas dalam bermuamalah. Sesunggunya benar-tidaknya praktek muamalah itu, masyarakat sendirilah  yang menilainya. Untuk itu memahami ilmu muamalah adalah kewajiban bagi setiap muslim.

Mungkin sedikit perlu Bapak jalaskan perbedaan diantara Ekonomi Islam dengan Muamalah?

Diantara Muamalah dan Ekonomi Islam sebenarnya sama saja. Muamalah ya ekonomi Islam. Tapi karena saat ini terjadi pengelompokan Ilmu, akhirnya ada Ekonomi Islam dan ada Muamalah (Hukum Ekonomi Islam). Padahal prinsip Ekonomi Islam itu adalah tidak memisahkan diantara positif ekonomi (praktek ekonomi) dengan normatif ekonomi (hukum berekonomi).

Terakhir, Apa yang menjadi harapan Bapak terhadap pengembangan Ekonomi Islam dimasa dapan?

Harapan saya Ekonomi Islam harus dikembangkan oleh semua kalangan. Hari ini Ekonomi Islam lebih terkonsentrasi di Lembaga Pendidikan Tinggi Islam. Dan Sarjana Ekonomi Islam di Indonesia hari ini, lebih banyak yang berlatar belakang pendidikan agama. Padahal pemahaman Ekonomi Islam harus didukung oleh pengetahuan-pengetahuan umum lainnya seperti matematika, ekonometrika, statistik dan ekonomi konvensional.
Di samping itu, saya berharap pemerintah harus memberikan dukungan terutama dalam pengembangan program studi ini ke depan, yaitu dengan  memberikan porsi kepada para Sarjana Muamalah ini pada jabatan-jabatan yang ada di pemerintahan. Mereka para Sarjana Muamalah sesungguhnya bukan hanya menguasai Ekonomi Islam tapi juga memahami Ekonomi Konvensional dan Hukum Bisnis sekaligus. Sehingga tidak ada salahnya pemerintah memberikan kesempatan kepada mereka baik di bidang perencanaan, administrasi, ekonomi, pembangunan dan bahkan dengan kompetensi dasar sebagai ulama mereka juga mampu menyangga persoalan sosial dan keagamaan. (frd)