Selasa, 29 Maret 2016 | By: SahabatRiau

Menciptakan Orang Bukan Barang

Pendidikan saat ini mengalami pergeseran paradigm yang sulit. Paradigma itu sangat terpengaruh oleh perkembangan zaman yang semakin hari semakin sulit pula. Sebagai sebuah system terkadang pendidikan nyaris disamakan dengan sebuah mesin yang memproduksi sejinis barang tertentu. Analogi bahwa pendidikan seperti itu sesungguhnya tidak dapat dipersalahkan seluruhnya. Namun jika semua asumsi yang ada dalam mesin juga diasumsikan sama dengan system pendidikan, ini yang berakibat kepada kesalahan besar dalam arah pendidikan itu sendiri.
Tidak dapat dipungkiri bahwa ilmu manajemen membawa kita menjadi mudah. Mudah dalam melihat sejauhmana satu system organisasi itu berjalan dalam menuju tujuan yang telah ditetapkan. Standarisasi selain berpengaruh kepada kinerja system, juga berpengaruh kepada sebuah produk menjadi terukur dengan tepat serta sesuai dengan kualitas yang diperlukan.  Demikianlah halnya dengan menejemen pendidikan yang dijalankan saat ini di Indonesia baik pada tingkat dasar, menengah maupun tinggi.
Perubahan standar pengelolaan pendidikan di Indonesia malangnya lebih dipengaruhi oleh perkembangan kapitalisme dan globalisasi ekonomi yang menghendaki adanya standarisasi produk. Kegauan itu muncul disaat pendidikan harus menghadapi relitas yang memang berada dalam tatanan persaingan dengan pasar sebagai satu-satunya kedaulatan. Namun pada sisi lain, pembangunan pendidikan Nasional memiliki tujuan yang agung yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pilihan kata cerdas dalam konteks tujuan pembangunan Nasional itu tentuk memiliki dimensi yang luas bukan sebatas pintar, tahu, pandai, boleh atau bias. Namun cerdas memiliki makna filosofis bahwa kepintaran itu atau pengetahuan itu dimiliki oleh manusia. Karena tidak asaing bagi kita saat ini dengan prangkat teknologi pintar (smart technology), tapi pastilah teknologi itu tidak akan memasuki ruang teknologi cerdas, karena kecerdasan hanya dimiliki oleh manusia.
Kecerdasan juga disandingkan dengan kata cendikia. Cerdik, bijak (dalam istilah melayu), cadik (dalam istilah minang), adalah asal kata kecerdasan. Terkadang cadik, digunakan untuk menunjukan kepada prilaku yang culas. Namun sesungguhnya cerdik adalah melaupau pengetahuan dan tidak terkandangi oleh batas rasionalitas. Orang pintar, adalah ketika dia dapat menguasai sebuah persolan dengan kemampuan menjelaskan (eksplanasi), memprediksi (ekspektasi) dan pengawalan . Namun orang cerdas melaupau itu, karena mereka mampu mengambil manfaat dari sebuah persoaalan.
Kecerdasan adalah sebuah lompatan. Itulah sesungguhnya fitrah kemanusiaan yang berbeda dengan makhluk lainnya, apa lagi barang produksi. Manusia memiliki tingkat adaptasi sehingga mereka mampu memenuhi ruang dalam kondisi apapun. Ketika pengetahuan yang dikembangkan manusia itu belum ada, mereka juga bisa hidup dan berkembang biak seperti yang kita saksikan saat ini, tidak ada satu jenis sepesies manusiapun yang punah, yang ada hanyalah pergeseran budaya dan membuktikan bahwa mereka beradaptasi.
Kemampuan manusia beradaptasi lebih disebabkan oleh kecerdasan dibandingkan pengetahuan. Namun dengan didampingi oleh pengetahuan, kecerdasan akan semakin berkembang dan menyebabkan manusia semakin gemilang sebagai makhluk paling sempurna dipermukaan bumi. Kegemilangan itu bergeser darizaman-kezaman yang selalu didefenisikan dengan peradaban. Artinya, pondasi awal peradaban adalah kecerdasan, meskipun apa yang selalu tampil dan mudah terukur dalam sebuah pradaban itu adalah pengetahuan dan teknologi yang melingkupinya.
Pandanglah Pyramid di Mesir. Sampai saat ini kekaguman akan peradaban itu tidak dapat terbantahkan. Semua peneliti dan ilmuan mengatakan bahwa benda itu adalah lambang peradaban tinggi dimasa itu. Namun, teknologi apa dan bagaimana iyanya dibangun merupakan teka-teki yang belum terjawab sampai dengan saat ini, karena semua temuaan penelitian tentang Piramid masih bersifat asumsi. Artinya, pengetahuan yang dikatakana sangat berkembang itu masih kalah dengan kecerdasan dimasa Mesir kuno itu. Karena yang pasti adalah, bahwa dengan kecerdasan. mereka mampu membangun Pyramid dimasa itu. Namun pengetahuan kita saat ini, jangankan untuk membangun pyramid sekokoh itu, menjawab pertanyaan bagaimana dan dengan teknologi apa Pyramid itu dibangun pun kita belum mampu.
Kembali kepada system pendidikan, menjawab kebutuhan kehidupan yang memang dikuasa sepenuhnya oleh pasar, adalah satu realitas. Namun jika kita pikirkan kembali, maka itulah kecerdasan kita dan generasi kita saat ini, yakni generasi manusia yang sangat lemah. Dulu bangsa manusia tanpa teknologi mampu mengalahkan binatang buas. Dimana binatang-binatang buas itutelah dibekali dengan segala sisi tubuh yang kokoh dan filing bertempur dan melemahkan musuh, sementara bangsa manusia tidak. Tapi ternyata bangsa manusia mampu bertahan dan bahkan berkembang biyak mengalahkan bangsa-bangsa hewan yang gagah itu.
Namun kini system pendidikan kita dengan segala ketakutan akan kehidupan yang semakin keras menawarkan seperangkan system untuk penyelamatan diri, namun bukan dari bangsa binatang buas, namun dari bangsa manusia yang serakah dengan spirit kapitalisme dan hedonism. Kemana arah pendidikan kita? “memanusiakan manusiakah”, atau menyiapkan manusia untuk menjadi makanan bagi manusia lainnya, jika itu yang terjadi benarlah jika dikatakan bahwa system pendidikan kita sama dengan mesin-mesin yang memproduksi barang bernama “manusia”
Sabtu, 12 Maret 2016 | By: SahabatRiau

Ekonomi Kebahagiaan

Dalam banyak faktor yang berpotensi mempengaruhi kesejahteraan manusia, pendapatan merupakan variabel paling menonjol dalam penelitian kebahagiaan ekonomi. Hal ini mungkin tidak mengejutkan sebab pendapatan atau standar hidup layak seseorang, biasanya sudah terserap oleh GDP atau GNP, yang merupakan indikator empiris utama kesejahteraan individu di bidang ekonomi. 
Berangkat dari mazhab Easterlin paradoks (1974 & 2010), menyatakan bahwa banyak tes empiris yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang cukup besar diantara pendapatan dengan kesejahteraan subjektif (kebahagiaan). Namun hal ini terjadi hanya pada keluarga dengan pendapatan yang tinggi dan/atau para buruh/ tenaga kerja dengan pendapatan yang tinggi. Serta hal itu juga berbeda untuk  negara kaya dan negara miskin. 
Kontroversi diantara keduanya muncul, bilamana hubungan antara pertumbuhan pendapatan dan tingkat kebahagiaan dari waktu ke waktu. Pendukung Easterlin paradoks menegaskan bahwa tidak terdapat hubungan diantar pendapatan per kapita rata-rata dan kebahagiaan di sebuah negara. Dan mereka membantah bahwa pertumbuhan pendapatan menghasilkan lebih tinggi rata-rata kebahagiaan. Berbeda dengan pengikut Easterlin, Stevenson dan Wolfers (2008). Clark et al. (2008) mereka menemukan bahwa pendapatan mutlak berkontribusi terhadap tingkat kebahagiaan.
Teori ekonomi kebahagiaan pertama kali di kemukakan oleh Easterlin (1974) dalam penelitiannya yang berjudul “Does Economic Growth Improve the Human Lot”. Kajian ini menyimpulkan bahwa negara dengan pendapatan per kapita tinggi memiliki alasan untuk masyarakatnya menyatakan berbahagia. Namun kebahagiaan yang dinyatakan oleh masyarakat itu tidak berbeda jauh dengan negara-negara lainnya bahkan dengan negara dengan pendapatan per kapita yang hanya memenuhi kebutuhan dasar sekalipun. Demikian pula halnya, meskipun pendapatan per kapita meningkat terus di Amerika Serikat antara tahun 1946 dan 1970, rata-rata melaporkan kebahagiaan tidak menunjukkan tren jangka panjang dan menurun antara tahun 1960 dan 1970.
Easterli paradoks mendapat sanggahan untuk pertama kalinya oleh Ruut Veenhoven dan Michael Hagerty (2003), analisis yang mereka lakukan dari berbagai sumber data baru , memperoleh  kesimpulan bahwa tidak ada paradoks diantara pendapatan dengan kebahagiaan. Dan argumen yang sama juga dilontarkan oleh Betsey Stevenson dan Justin Wolfers (2008) yang menilai kembali paradoks Easterlin menggunakan data Time series baru. Hagerty ad el (2003) menyimpulkan bahwa, kenaikan pendapatan mutlak jelas terkait dengan peningkatan kebahagiaan baik untuk kedua orang individu maupun seluruh negara.
Kritikan terhadap Eastelin paradoks ini akhirnya dijawab sendiri oleh Easterlin (2010), yang mempertegas kebali teorinya dengan melakukan analisis terhadap sampel 37 negara. Namun hasil kajian Eastelin (2010) itu, kembali mendapat bantahan dari Wolfers (2010) dan oleh Richard Layard, Andrew Clark dan Claudia Senik (2013). Mereka membuktikan melalui variabel lain termasuk kepercayaan, PDB per kapita memiliki pengaruh terhadap kebahagiaan.
William Nordhaus dan James Tobin (1973) memberikan pertanyaan yang radikal tentang pertumbuhan sebagai mesin kesejahteraan, yang akhirnya membuat kesimpulan negatif diantara pertumbuhan dengan kesejahteraan. Banyak ekonom dan ilmuwan sosial telah sampai pada kesimpulan bahwa, di negara-negara maju, pertumbuhan ekonomi memiliki dampak kecil pada kesejahteraan dan karena itu tidak menjadi tujuan utama dari kebijakan ekonomi (lihat Oswald, 1997). Meskipun hal ini masih dapat dipercayai sebagaimana proposisi Inglehart et al. (2008) bahwa pertumbuhan material, yang diukur dengan PDB per kapita, dapat meningkatkan kesejahteraan di negara-negara berkembang. Namun kesimpulan ini bersifat sangat sementara karena bagi orang-orang miskin standar kesejahteraan itu sangatlah sederhana, sehingga variabel ekonomi menjadi satu satunya tumpuan dalam kepuasan.
Dalam sebuah artikel yang terkenal, Easterlin (1974) pertanyaan ironis yang muncul adalah: apakah "meningkatnya pendapatan semua akan meningkatkan kebahagiaan semua?" Ini didasarkan pada pengamatan bahwa tindakan kebahagiaan rata-rata tetap datar selama jangka panjang di negara-negara yang telah mengalami tingkat tinggi pertumbuhan PDB. Diantara Pendapatan dan kebahagiaan telah menjadi perdebatan selama dua dekade terakhir oleh para ekonom, psikolog dan ilmuwan politik. Namun, sebagian besar bukti sampai saat ini tentang hubungan antara pendapatan dan kesejahteraan subjektif hanya mengamati negara-negara maju.
Kajian Easterlin (2009) menemukan bahwa  tidak terdapat hubungan yang signifikan antara peningkatan kebahagiaan dan tingkat jangka panjang pertumbuhan PDB per kapita. Hal ini berlaku untuk tiga kelompok negara yang dianalisis secara terpisah, 17  negara membangun, 9 negara sedang membangun dan 11 negara kurang membangun.  Analisis juga dilakukan untuk 37 negara secara bersama-sama. Dengan pendektan analisis time series ditemukan hubungan positif jangka pendek antara pertumbuhan kebahagiaan dan pendapatan, yang timbul dari fluktuasi kondisi ekonomi makro, dimana dengan hubungan jangka panjang, hubungan tersebut tidak signifikan.
Bandura (2008) memberikan gambaran tentang literatur yang tumbuh di kesejahteraan subjektif atau lebih dikenal sebagai "kebahagiaan". Secara tradisional, kesejahteraan telah diidentifikasi dengan tujuan dimensi tunggal: kemajuan material diukur dengan pendapatan atau PDB. Namun, sekarang diterima secara luas bahwa konsep kesejahteraan tidak dapat ditangkap sendiri oleh GDP: kesejahteraan bersifat multidimensi meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Salah satu pendekatan untuk mengukur kesejahteraan multidimensi adalah dengan menggunakan indikator objektif untuk melengkapi, suplemen atau mengganti PDB. Pendekatan lain adalah melalui langkah-langkah subjektif: meminta orang untuk melaporkan kebahagiaan dan kepuasan hidup. Makalah ini menyajikan temuan-temuan utama dari literatur tentang faktor-faktor penentu ekonomi dan non-ekonomi kebahagiaan.
Meskipun kebahagiaan adalah penting dalam hal teori ekonomi dan kebijakan, dia juga menunjukkan bahwa indikator kebahagiaan memiliki beberapa keterbatasan.  Dimana dia mengemukakan dua pertanyan. Pertama, haruskah kebahagiaan menjadi tujuan utama manusia? Kedua, apakah indikator kebahagiaan dapat dijadikan panduan yang baik untuk pembuatan kebijakan?
Andrew E. Clark & Claudia Senik (2011), coba menjawab apa negara-negara berpenghasilan rendah dapat diharapkan dari pertumbuhan dalam hal kebahagiaan. Dengan menggunakan kumpulan data set Internasional yang telah tersedia yang  berkaitan dengan hubungan antara pertumbuhan pendapatan dan kesejahteraan subjektif ditemukan hasil yang konsisten dengan paradoks Easterlin, pendapatan yang lebih tinggi selalu dikaitkan dengan skor kebahagiaan yang lebih tinggi, kecuali dalam satu kasus: apakah ketika pertumbuhan pendapatan nasional yang lebih tinggi akan menyebabkan kesejahteraan yang tinggi pula, adalah wacana yang masih hangat diperdebatkan. Kajian ini menemukan bukti yang berisi dua pelajaran penting: perbandingan pendapatan tampaknya mempengaruhi kesejahteraan subjektif, bahkan di negara-negara yang sangat miskin, sehingga kajian ini mendapati bahwa gagasan pertumbuhan akan meningkatkan kebahagiaan di negara-negara berpenghasilan rendah tidak dapat ditolak atas dasar bukti yang tersedia. 
Antal (2011) Alternatif yang diusulkan terhadap PDB sebagai ukuran kesejahteraan sosial atau kemajuan manusia dievaluasi secara singkat. Empat kategori utama yang dipertimbangkan, yaitu Index of Sustainable Economic Welfare (ISEW) dan Genuine progress indicator (GPI) berdasarkan koreksi dari PDB, berkelanjutan atau green GDP, tabungan asli / investasi dan indeks komposit. Semua alternatif ini ternyata memiliki berbagai kekurangan. Namun demikian, beberapa dari mereka merupakan peningkatan yang cukup atas informasi PDB mendekati kesejahteraan sosial. Hal ini memberikan dukungan gagasan bahwa PDB (per kapita), meskipun belum seluruhnya sempurna namun sudah dapat dijadikan informasi dalam pengambilan keputusan publik hingga indikator alternatif yang sempurna tersedia.

Oswald (2014) Kajiannya membahas teka-teki yang terkenal dalam ilmu sosial. Mengapa beberapa negara melaporkan kebahagiaan yang tinggi seperti itu? Denmark, misalnya, secara teratur puncak tabel liga bangsa-bangsa yang kaya kesejahteraan, sementara Inggris dan Amerika Serikat tertinggal di bawahnya. Prancis dan Italia malah melaporkan relatif buruk. Meskipun telah banyak dilakukan pembahasan dengan menggunakan pendekatan GDP dan variabel sosial ekonomi serta budaya, namun punca penyebabnya belum dapat diketahui secara pasti. Berbeda dengan itu kajian ini  mengeksplorasi jalan baru. Yakni dengan menggunakan data pada 131 negara, dimana dilakukan dokumentasi dari berbagai bukti yang konsisten dengan hipotesis bahwa negara-negara tertentu mungkin memiliki keunggulan genetik dalam kesejahteraan.
Jumat, 11 Maret 2016 | By: SahabatRiau

Tawhidi String Relation dalam Konteks Pembangunan, Perspektif Q. S. Al-Mukminun

Pandangan Islam terhadap kesejahteraan atau well-being selalu dikaitkan dengan konsep al-falah. Dengan demikian, pada proses 1 TSR, ontology tawhid yang disimbolkan dengan  Ω   dalam konteks ini dapat terlihat dari firman Allah SWT  dalam surat Al-Mukminun ayat 1 yang artinya “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman”.
            Qad aflahal mu’minuna (sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman). Kata aflaha adalah bentuk fi‘l madhi (kata kerja berbentuk lampau) dari kata falâh. Kata falâh sendiri terambil dari kata falaha – yaflahu – falhan wa falâhatan, yang diartikan sebagai “hasil baik”, “sukses”, atau ”memperoleh apa yang dikehendaki”. Dari sini, kata falah seringkali diterjemahkan dengan “beruntung”, “berbahagia”, “memperoleh kemenangan”, “memperoleh keselamatan”, dan sejenisnya dalam konteks penelitian ini disebut dengan kesejahteraan. Selain dalam Surat Al-Muslimun, di dalam al-Quran, kata aflaha yang berdiri sendiri di dalam suatu redaksi terulang sebanyak empat kali, yakni pada Q S. Thâhâ (20): 64, Q S. Al-Mu’minûn (23): 1, Q S. Al-A‘la (87): 14, dan Q S. Asy-Syams (91): 9. Keempatnya didahului oleh kata qad yang berarti “sesungguhnya”, yakni menunjukkan makna kepastian. Artinya kesejahteraan itu pasti terjadi pada setiap Mukmin.
            Kepastian Mukmin mendapatkan kesejahteraan sebagaimana janji Allah SWT Qad aflahal mu’minuun (Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman), di dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa harus memenuhi syarat sebagai berikut:
1.      Alladziina Hum fii shalaatihim khaasyi’uuna (yakni, orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya) (Q S. Al-Mu’minûn: 2). Ali bin Abi Thalhah menceritakan dari Ibnu ‘Abbas: khaasyi’uuna (Orang-orang yang khusyu) yaitu orang-orang yang takut lagi penuh ketenangan.” Dari ‘Ali bin  Thalib ra: “Yang dimaksud dengan khusyu’ di sini adalah kekhusyukan hati.” Sedangkan al-Hasan al-Bashri mengungkapkan: “Kekhusyukan mereka itu berada di dalam hati mereka, sehingga karenanya mereka menundukkan pandangan serta merendahkan diri mereka.
Khusyu’ dalam shalat hanya dapat dilakukan oleh orang yang mengonsentrasikan hati padanya serta melupakan berbagai aktivitas selain shalat, serta mengutamakan shalat atas aktivitas yang lain. Pada saat itulah akan terwujud ketenangan dan kebahagiaan baginya. Sebagaimana yang disabdakan Rasulullah saw. dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan an-Nasa-i, dari Anas, dari Rasulullah saw., dimana beliau bersabda: “Diberikan kepadaku kecintaan terhadap wanita dan wangi-wangian, dan shalat dijadikan untukku sebagai amalan yang paling menyenangkan.” (HR Ahmad dan an-Nasa-i).
2.      Walladziina Hum ‘anil laghwi mu’ri-dluun (Q S. Al-Mu’minûn: 3) (Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari perbuatan dan perkataan, yang tidak berguna) (Q S. Al-Mu’minûn:3). Yakni dari kebathilan dimana hal itu mencakup juga  kemusyrikan, sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian mereka, serta berbagai ucapan dan perbuatan yang tidak membawa faedah dan manfaat, sebagaimana yang difirmankan Allah: wa idzaa marruu bil laghwi marruu kiraaman (Dan apabila mereka bertemu dengan orang-orang yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui saja dengan menjaga kehormatan dirinya”) (al-Furqaan: 72). Qatadah berkata: “Demi Allah, mereka didatangi perintah Allah yang menghentikan mereka dari hal tersebut (tak berguna).
3.      Walladziina Hum lizzakaati faa’iluun (Q S. Al-Mu’minûn: 4) (dan orang-orang yang menunaikan zakat.) mayoritas berpendapat bahwa yang dimaksud dengan zakat di sini adalah zakat maal (harta), padahal ayat ini adalah Makkiyyah. Yang tampak secara lahiriyah, bahwa yang diwajibkan di Madinah adalah nishab dan ukuran yang khusus. Jika tidak demikian, berarti dasar zakat pertama diwajibkan di Makkah. Dan dalam surah al-An’am yang merupakan surah Makkiyyah, Allah Ta’ala berfirman: wa aatuu haqqahuu yauma hashaadihi (Dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya.) (al-An’am: 141), bisa saja yang dimaksud dengan zakat di sini adalah penyucian jiwa dari kemusyrikan dan kotoran. Yang demikian itu sama seperti firman-Nya: qad aflaha man zakkaaHaa wa qad khaaba man dassaaHaa (“Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (asy-Syams: 9-10) wallaaHu a’lam.
4.      walladziina Hum lifuruujiHim haafidhuun. Illaa ‘alaa azwaajiHim au maa malakat aimaanuHum fa innaHum ghairu maluumiina. Famanibtaghaa waraa-a dzaalika fa-ulaa-ika Humul ‘aaduun. (Q S. Al-Mu’minûn: 5-7) (Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa yang mencari dibalik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas). yakni orang-orang yang telah memelihara kemaluan mereka dari yang haram, sehingga mereka tidak terjerumus dalam hal-hal yang dilarang oleh Allah swt. Baik itu dalam bentuk perzinaan maupun liwath (homoseksual). Dan mereka tidak mendekati kecuali istri-istri mereka sendiri yang telah dihalalkan oleh Allah bagi mereka atau budak-budak yang mereka miliki. Barang siapa yang mengerjakan apa yang dihalalkan oleh Allah, maka tidak ada cela dan dosa baginya. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman: fa innaHum ghairu maluumiin. famanibtaghaa waraa-a dzaalika (Maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa mencari yang dibalik itu) maksudnya selain istri dan budak. Fa-ulaa-ika Humul ‘aaduun (“Maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.”) wallaaHu a’lam.
5.      Walladziina Hum li amaanaatiHim wa ‘aHdiHim raa’uuna (Q S. Al-Mu’minûn: 9) (Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat yang dipikulnya dan janjinya), yakni jika mereka diberi kepercayaan, maka mereka tidak akan mengkhianatinya tetapi mereka menunaikannya kepada yang berhak. Dan jika mereka berjanji atau melakukan akan perjanjian, maka mereka menepatinya, tidak seperti sifat-sifat orang munafik.
6.      Walladziina Hum ‘alaa shalawaatiHim yuhaafidhuuna (Q S. Al-Mu’minûn: 9). (Dan orang-orang yang memelihara shalatnya). Maksudnya senantiasa mereka mengerjakannya tepat pada waktunya, sebagaimana diungkapkan oleh Ibnu Mas’ud, aku pernah bertanya kepada Rasulullah saw., kutanyakan: “Ya Rasulallah, apakah amal perbuatan yang paling disukai Allah?” Beliau menjawab: “Shalat tepat pada waktunya.” “Lalu apa lagi?” tanyaku. Beliau menjawab: “Berbakti kepada kedua orang tua.” “Kemudian apa lagi?” tanyaku lebih lanjut. Maka beliau menjawab: “Jihad di jalan Allah.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim di dalam kitab ash-Shahihain. Qatadah berkata: “Tepat pada waktunya, ruku’ dan sujudnya.”
Kesejahteraan yang diperoleh seorang Mukmin sebagaimana janji Allah SWT diatas,  bukan hanya terhenti pada kehidupan dunia, akan tetapi kesejahteraan itu akan berakhir di akhirat. Hal itu sebagai mana Ibnu Khasir dalam tafsir ayat berikutnya,  ulaa-ika Humul waaritsuuna. Alladziina yaritsuunal firdausaHum fiiHaa khaaliduuna (Q S. Al-Mu’minûn: 10,11) (“Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi, yakni yang akan mewarisi Surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya.). Dalam kitab ash-Shahihain disebutkan, bahwa Rasulullah saw. telah bersabda: “Jika kalian meminta surga kepada Allah, maka mintalah surga Firdaus kepada-Nya, karena sesungguhnya Firdaus adalah surga yang paling tengah-tengah dan paling tinggi. Diperlihatkan kepadaku di atasnya terdapat ‘Arsy Rabb yang Maha Pemurah.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra. dia bercerita, Rasulullah saw. bersabda: “Tidak seorang pun dari kalian melainkan mempunyai dua kedudukan. Satu kedudukan di surga dan satu kedudukan di neraka. jika dia mati dan masuk neraka, maka kedudukannya di surga diwarisi oleh penghuni surga. Dan itulah makna firman-Nya: ‘Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi.’” (HR Ibnu Majah).
Dari Surat Al-Mukminun 1 sd 11,  serta didukung oleh hadist-hadist  sebagaimana tafsir Ibnu Katsir diatas sesungguhnya dapat ditarik pengetahuan tawhid menyangkut kesejahteraan yang dalam konteks TSR dilambangkan dengan teta (θ). Bahwa keberadaan Islam dan umatnya adalah untuk menciptakan keadaan yang sejahtera (falah), hal  ini didukung pula dengan firman Allah SWT  yang artinya : Dan tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam (Q.S. alanbiyâ’: 107).
Teta (θ) yang dikeluarkan dari surat Al-Mukminun 1- 11 itu mengajarkan bahwa kesejahteraan akan diperoleh bilamana manusia mengaktualisasikan ketentuan Allah SWT sebagai berikut :
1.      Khusyuk dalam beribadah.
2.      Menjauhkan diri dari perbuatan dan perkataan yang tidak berguna.
3.      Mengeluarkan zakat.
4.      Menjaga kehormatan diri
5.      Menjaga amanah
6.      Dan memelihara sholatnya.
Ketika teta (θ) kesejahteraan ini dilihat dari sudut pandang maqasyid syariah, maka kehendak tawhid yang disampaikan dalam bahasa langit itu diterjemahkan dalam bahasa yang membumi untuk kepentingan sejagat. Maka terjadilah proses interaksi dengan sistem yang ada, diantaranya sistem politik, ekonomi dan budaya. Integrasi yang dilahirkan dari sistem itu melahirkan X (θ), dimana dalam konteks penelitian ini X (θ) tidak lain adalah proses pembangunan itu sendiri. Sehingga pembangunan dapat dipandang sebagai syuratic proses,  diantara teori dengan realitas, diantara berbagai stake holder, pemerintah, masyarakat dan pelaku usaha dan sebagainya.
Perbedaan sistem pada masyarakat akan menyebabkan model integrasi yang berbeda bagi tiap-tiap masyarakat. Masyarakat dengan sistem kapitalis percaya bahwa proses pembangunan harus dapat memperbesar kapasitas ekonomi masyarakat, sehingga melahirkan pendapatan (PDB per kapita) sebagai ukuran kinerja pembangunan. Lain pula halnya dengan masyarakat sosialis, pembangunan selalu dipandang sebagai proses pemerataan dengan cita-cita welfare stat (negara kesejahteraan).
Meskipun dengan berbagai perbedaan dalam model X (θ) atau pendekatan pembangunan, semua model itu pasti berharap kepada suatu tatanan nilai well-being fuction  yang dilambangkan dengan W(θ, X (θ)), dimana semua model pendekatan pembangunan menginginkan satu tatanan masyarakat yang sejahtera.
Kamis, 10 Maret 2016 | By: SahabatRiau

Sekilas Institut Agama Islam Tafaqquh Fiddin Dumai

Gambar: Penyerahan SK Alih Status oleh Prof. Dr. Dede Rosada (Direktur Diktis Kementerian Agama RI) kepada H. M. Rizal Akbar  (ketua Yayasan Tafaqquh Fiddin Dumai, Jakarta 8 Desember 2014  
Berawal dari Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Tafaqquh Fiddin Dumai yang didirikan pada Tahun 1999 di bawah naungan Yayasan Tafaqquh Fiddin. Melalui Surat Keputusan Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama RI Nomor:  6266 tahun 2014, tanggal 5 November 2014, STAI Tafaqquh Fiddin Dumai resmi naik status menjadi Institut Agama Islam dengan tiga Fakultas yakni, Fakultas Tarbiyah dan Tamaddun Melayu, Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum serta Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam.
Keinginan STAI Tafaqquh Fiddin Dumai untuk berubah menjadi Institut, telah direncanakan sejak tahun 2010. Pada waktu itu keinginan tersebut disambut hangat oleh DR. H. Mastuki HS, M.Ag, yang pada masa itu menjabat sebagai Kasubdit Akademik dan Kemahasiswaan Direktur Pendidikan Tinggi Islam Kementerian Agama RI pada temu ramah bersama sivitas akademika STAI Tafaqquh Fiddin Dumai pada tanggal 15 Juli 2010 di hotel Grand Zuri Dumai.
Mastuki menganjurkan bahwa untuk meningkatkan status menjadi Institut, perlu melakukan penambahan prodi dengan melihat potensi prodi-prodi baru yang harus dikembangkan. Menurutnya, Pembangunan Masyarakat Islam Pesisir (PMIP) dan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) adalah dua prodi yang layak dikembangkan di STAI Tafaqquh Fiddin Dumai ke depan. Untuk mengembangkan prodi tersebut beliau menganjurkan supaya banyak belajar dari pengalaman beberapa Perguruan Tinggi Agama Islam lainnya di pulau Jawa.
Adapun cita-cita yang digariskan dalam peningkatan status pada waktu itu adalah dalam rangka merespon perkembangan kota Dumai yang semakin hari semakin berkembang dan menjadi lokomotif pembangunan, terutama untuk kawasan Riau pesisir.  Perkembangan pembangunan kota yang begitu pesat tentu harus sejalan dengan peningkatan sumberdaya manusia masyarakat terutama pada aspek sosial keagamaan. Untuk itu, peningkatan status ini diharapkan dapat membekalkan para intelektual yang dapat menyelaraskan diantara kebutuhan akan materialisme dan mental spritual. Fenomena bahwa pembangunan industri dan perdagangan yang meningkat pesat namun disatu sisi moralitas agama masih terhenti pada institusi-institusi ustadz dan ustadzah yang pendidikan agamanya didapat dari kampung, mengakibatkan perkembangan kedua sisi ini tidak singkron. Demikian dinyatakan Rizal Akbar  Ketua Yayasan Tafaqquh Fiddin, pada pertemuan tersebut.
Rencana peningkatan status menjadi institut itu ditargetkan terealisasi pada tahun 2020. Namun atas dorongan yang diberikan oleh Diktis Kementerian Agama RI dan Kopertais Wilayah XII, maka pada tahun 2014 dengan diketuai langsung oleh ketua Yayasan Tafaqquh Fiddin Dumai Tim persiapan institut bekerja menyusun proposal pengembangan program studi dan peningkatan status. Pada 20 Mei 2014, Kopertais Wilayah XII mengeluarkan Rekomendasi Nomor : 018.a/SK /K-XII/V/2014, tentang Alih Status STAI Tafaqquh Fiddin menjadi Institut Agama Islam Tafaqquh Fiddin. Perjuangan tim alih status Tafaqquh Fiddin mendapat respon dari Diktis Kementrian Agama RI yang diundang untuk mepresentasikan kesiapan dan peluang peningkatan status STAI Tafaqquh Fiddin Dumai menjadi Institut pada hari Kamis 14 Agustus 2014 di Hotel Ibis Kemayoran Jakarta.
Peningkatan status bagi Rizal, bukan sekadar ganti baju. Sejak tahun 2010, tekat peningkatan status itu telah dicanangkan, selari dengan perubahan visi dalam menyongsong era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015. Tekat untuk menjadi yang terdepan di pesisir pantai timur sumatera adalah visi utama perubahan itu. Langkah awalnya adalah ketika STAI Tafaqquh Fiddin Dumai menjadi tuan rumah Pekan Ilmiah Olahraga dan Seni (PIOS) ke-4 Perguruan Tinggi Agama Islam Se Kopertais Wil-XII Riau dan Kepulauan Riau pada tahun 2013. Tema yang diusung adalah “Pembangunan Ekonomi Masyarakat Pesisir Pantai Timur Sumatera”. Dan Rizal Akbar dipercayai sebagai ketua panitia penyelenggara acara tersebut.
Rizal Akbar menekankan bahwa sebagai kawasan awal nusantara yang mengilhami peradaban nusantra yang dicirikan oleh Islam dan Melayu. Pesisir Pantai Timur Sumatera harus terdepan diera MEA. Untuk itu, IAI Tafaqquh Fiddin Dumai harus mempersiapkan berbagai keunggulan.  Baik dalam bidang pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Keunggulan itu diarahkan pada kajian peradaban Islam dan Melayu, kajian dan pengembangan ekonomi yang berbasis pada struktur perdagangan, keuangan, industri, jasa dan kelautan, serta pengkajian sejarah, khazanah hukum serta  kearifan local, dalam epistimology tawhid.

Sebagai Ketua Yayasan Rizal Akbar telah meletakan fondasi awal peradaban tersebut. Bahkan untuk mensosialisasi keberadaan Intitut ini pada kancah internasional, Rizal Akbar dengan menggandeng pemerintah Daerah Kota Dumai dan Islamic Economic & Finance Universitas Trisakti Jakarta telah pula melaksanakan seminar internasional “Twelfth International Conference Tawhid 2015, dengan tema “Maqasid As-Shari’ah And Al-Wasatiyyah” di Dumai pada 19 Agustus 2015 yang lalu.

Wacana Akademik IAI Tafaqquh Fiddin "Terdepan di Kawasan Pesisir Selat Melaka"


Kawasan Pesisir Pantai  Timur Sumatera yang berada disepanjang  selat Melaka merupakan kawasan dengan segudang peristiwa dan sejarah yang mengilhami nusantara. Selat Malaka, yang merupakan kawasan perdagangan tersibuk dan tertua di dunia. Daerah ini pada mulanya dihuni oleh para pendatang dari India Selatan dan kemudian menjadi pusat pelayaran wilayah laut Kepulauan Indonesia, Laut Cina dan Samudera India. Pelayaran yang membawa serta masyarakat Melayu tersebut dapat dijumpai dibeberapa daerah bahagian barat dan tengah Kepulauan Indonesia dan daratan Malaysia. Budaya Melayu ini juga dapat ditemukan di selatan Filipina dan Madagaskar. Bahasa Melayu menjadi bahasa nasional Malaysia dan Indonesia serta merupakan bahasa resmi yang digunakan di Singapura. Masyarakat etnik Melayu dalam jumlah yang besar menetap di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu dan daerah pesisir Sumatera Utara dan sejumlah kecil masyarakat Melayu dapat dijumpai dibahagian barat dan tengah Indonesia, khasnya di beberapa kota pesisir.

Selain pesatnya perdagangan antar pulau, kawasan ini juga memiliki sejarah tentang penyebaran agama yang tidak kalah pentingnya. Pada abad ke 5 masehi pengaruh Hindu dan Budha sangat mewarnai kawasan ini, namun pada abad-abad berikutnya kawasan ini mengambil peran penting dalam proses penyebaran Agama Islam di dinusantara, yang tentunya mencatat begitu banyak rentetan ulama yang pernah berkiprah di kawasan ini. Selari dengan itu, perkembangan bahasa Melayu juga memiliki hubungan yang erat dengan proses islamisasi di kawasan ini. Pada akhir abad ke 13 masehi– sejak Islam disebarkan di kawasan ini, sehingga secara berangsur-angsur bahasa Melayu berperan juga sebagai salah satu wahana pengantar Agama Islam.
Selat Melaka yang merupakan basis dari pergerakan ekonomi kawasan pantai timur Sumatera akan semakin berkembang pesat selari dengan perkembangan ASEAN Community pada tahun 2015. Adalah pada Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN (Association of South East Asian Nations) ke-9 di Bali tahun 2003 telah mencanangkan pembangunan ASEAN Community yang terdiri dari tiga pilar, yaitu ASEAN Security Community, ASEAN Economic Community, dan ASEAN Socio-Cultural Community. Dalam konteks Economic Community ASEAN (Masyarakat Ekonomi ASEAN) ingin dicapai ASEAN 2015, yang akan menjadi pasar tunggal dan basis produksi dimana akan ada aliran barang jasa dan investasi yang bebas dan aliran modal lebih bebas sehingga menjadi lebih kuat, dinamis, dan kompetitif secara ekonomi dalam pasar global.
      Sebagai sebuah kawasan yang berada di jalur penting perekonomian dunia, kawasan pesisir pantai timur Sumatera sudah selayaknya mendapatkan perhatian khusus dalam kebijakan pembangunan nasional. Kawasan ini sudah semestinya menjadi kawasan utama dalam memacu pertumbuhan ekonomi nasional, menjadi pasar yang dapat menjamin produk-produk nasional untuk masuk ke dunia internasional. Disamping itu, kejayaan kawasan ini sebagai enteri point pengembangan peradaban di kawasan nusantara sebagaimana catatan sejarah di atas harus dapat dikembalikan lagi perannya sehingga kegalauan peradaban yang kita hadapi saat ini dapat teratasi.
Secara ekonomi harapan terhadap program MP3I (Master Plant Percepatan Peluasan Ekonomi Indonesia) yang telah dicanangkan pemerintah dalam mencapai visi Indonesia 2025 sangat besar dalam upaya mempotensikan kembali kawasan ini. Dimana program  MP3I  adalah sebuah program yang menyeting semua aspek perekonomian Indonesia yang diharapkan dapat mengubah perekonomian Indonesia menjadi lebih maju dan berkembang. Kawasan pantai timur sumatera merupakan salah satu koridor pengembangan ekonomi nasional dengan tema pembangunan ekonomi sebagai “Sentra Produksi dan Pengolahan Hasil Bumi dan Lumbung Energi Nasional”.


Studi Kelayakan Institut

pendekatan SWOT analisis. Kekuatan dan kelemahan sebagai potensi internal, peluang serta tantangan sebagai potensi ekternal akan di dianalisis secara terpisah dan secara kombinasi.
          Berawal dari isu strategis yang berkembang di wilayah pesisir pantai timur sumatera, Segala potensi coba digali sehingga dapat ditemukan peluang yang memungkinkan untuk lebih unggul dimasa depan. Institusi pendidikan tinggi agama Islam di kawasan pesisir pantai timur Sumatera dimasa depan berpeluang memainkan peranan penting ditengah masyarakat. Hal tersebut dimungkinkan karena dimasa depan arus globalisasi menghendaki bahwa kehidupan yang serba kompleks, sehingga peran agama menjadi sangat menentukan. Integrasi keilmua adalah tema yang harus dikedepankan. Kurikulum pendidikan dasar 2013 yang dijalankan di Indonesia saat ini merupakan langkah awal yang peduli terhadap integrasi keilmuan tersebut.  Integrasi ilmu keislaman dalam khazanah pengetahuan umum  akan semakin berkembang pesat bilaman pengajian agama dapat secara maksimal memanfaatkan perkembangan teknologi informasi. Inilah yang menjadi matlamat hadirnya institut ini.
  Perkembangan kajian agama yang memiliki potensi cukup besar dimasa depan itu, malangnya belum direspon secara positif oleh masyarakat muslim dikawasan pesisir pantai timur Sumatera. Sehingga institusi perguruan tinggi agama Islam yang ada masih menyimpan banyak kelemahan. Dengan daya saing yang masih bersifat lokalitas, keunggulan yang semu serta pasilitas yang belum memadai adalah masalah utama yang masih dihadapi oleh STAI Tafaqquh Fiddin Dumai .
 Namun semua kenyataan itu dapat kita perbaiki, bilamana pembenahan dilakukan secara cepat dan terencana. Yayasan Tafaqquh Fiddin menyadari bahwa perubahan itu harus dimulai melalui proses percepatan yakni meningkatkan status dari se kolah tinggi agama Islam menjadi institut agama Islam.

Potensi Calon Mahasiswa

Mayoritas masyarakat Provinsi Riau adalah muslim, dari sejumlah 5.538.367 jiwa penduduk provini Riau sesuai data BPS (2010) sejumlah 87,98% beragama Islam,  Kristen 8,76%, Buddha 2,06%, Katolik 0,80%, Konghucu 0,07%, Hindu 0,02%, dan lain-lain 0,04%. Data tersebut melampaui persentase masyarakat muslim secara nasional yakni 85%. Dengan demikian dapat terlihat bahwa basisi potensi calon mahasiswa dari keluarga muslim memberikan peluang yang sangat siknifikan di kawasan ini.
Dilihat dari angka kelulusan siswa SMA dan SMK seprovinsi Riau, juga memberikan harapan yang menjanjikan. Data kelulusan siswa SMA dan SMK tahun 2013 menunjukan terdapat 47.838 siswa yang bakal lulus SMA dan SMK  di Provinsi Riau. Dari jumlah tersebut sebaran untuk Kabupaten/Kota yang  berdekatan   dengan  Institut  ini juga cukup  besar,  dengan   sebaran   sebagai  berikut :  Kota   Dumai, 3.620  orang,   Kabupaten  Bengkalis 6.029  orang,  Kabupaten Siak  Sri  Indrapura,  6.345   orang,  Kabupaten   Rokan  Hilir, 7.873 orang dan Kabupaten Meranti, 2.700 orang.
Melihat dari potensi calon mahasiswa tersebut bila
dibandingkan dengan kebutuhan maksimal mahaiswa sebagaimana grand plenning  institut untuk sepuluh tahun kedepan, secara bertahap kebutuhan mahasiswa pada anggka optimis adalah sebanyak 1.200 orang pertahun, atau sama dengan 2,51% dari potensi calon mahasiswa di provinsi Riau dan 33,15% potensi ketersedian calon mahasiswa di Kota Dumai. Angka ini menunjukan bahwa keberadaan institut masih sangat memungkinkan, bila mempertimbangkan potensi dasar yakni kebutuhan pendidikan tinggi masyarakat pada tataran local Dumai dan Provinsi Riau. Padahal keberadaan institut agama Islam ini sangat memungkinkan diakses oleh calon mahasiswa baik secara nasional maupun internasional, seperti kawasan semenanjung Malaysia.  ***

Potensi Strategis Kawasan

Salah satu komoditas yang memberikan peranan yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Riau adalahkomoditas kelapa sawit. Hal ini tidak terlepas dari luasnya lahan perkebunan kelapa sawit di Provinsi Riau yang  mencapai 1,68 juta hektar atau sekitar 27% dari total luas perkebunan sawit di Indonesia. Luas areal perkebunan kelapa sawit terbesar adalah terdapat di Kabupaten Rokan Hulu, Kota Dumai dan Kabupaten Kuantan Singingi yang masing-masing tercatat seluas 127,81 ribu hektar, 110,92 ribu hektar dan 102,86 ribu hektar.
Selain dengan potensi sawit, Dumai, juga dikenal sebagai kota minyak. Tiga industri yang minyak nasional yang berada di Dumai PT. CPI (ChevronPacific Indonesia) yang bergerak mayoritas dalam bidang pertambangan dan ekspor minyak dan gas bumi, kemudian PT. Pertamina yang bergerak dalam bidang pengolahan dan pendistribusian minyak dan gas bumi dalam negeri serta disusul oleh industri pengolahan minyak sawit (CPO) PT. BKR (Bukit Kapur Reksa). Selain itu, Kota Dumai memiliki lima kawasan Industri yang strategis yaitu Kawasan Industri Dumai (KID) di Pelintung yang dikuasai oleh Wilmar Group, Kawasan Industri Lubuk Gaung, Kawasan Industri Dock Yard yang dikembangkan oleh PT Patraniaga , Kawasan Industi Bukit Kapur dan Kawasan Industri di Bukit Timah.
Kota Dumai memiliki keunggulan sebagai salah satu Kota di Provinsi Riau yang berpeluang untuk memanfaatkan potensi pengembangan pelabuhan laut, dimana Dumai berada pada posisi lintas perdagangan internasional Selat Melaka yang dikelola oleh PELINDO dan beberapa pelabuhan rakyat. Pelabuhan di Dumai telah dibangun sebagai pelabuhan penghubung untuk kegiatan ekspor impor, begitu juga para penumpang yang ingin menuju ke Malaka – Malaysia. Sepanjang daerah pantai Dumai terdapat beberapa pabrik minyak dan pengolahan minyak dengan kapasitas 170.000 barrel per hari dan dapat menampung 850.000 barrel minyak per hari.
Kondisi diatas menggabarkan betapa besarnya peluang pendidikan tinggi dibutuhkan di Kota ini. Hapir semua sector ekonomi madren ada di kota Dumai, baik industry, jasa, perdagangan, pelabuhan maupun terasportasi. Kesemuanya memerlukan sumberdaya manusia professional yang dilahirkan oleh perguruan tinggi. Dengan demikian, kehadiran institut ini menjadi penting dalam menyediakan tenaga kerja professional yang handal dan kompetitif. ***








Senin, 07 Maret 2016 | By: SahabatRiau

Alumni PTAI Dimata Masyarakat Pengguna

Oleh : Dr. Mastuki, HS

Ketika ada pertanyaan kepada alumni yang baru diwisuda, di mana alumni PTAI itu bekerja, jawaban spontan yang muncul adalah ‘di mana-mana’. Pengertian ‘di mana-mana’ itu minimal ada dua pengertian. Pertama, ketidakjelasan dari pengguna PTAI. Selama ini pengguna utama dari alumni itu orang tua dan Departemen Agama. Untuk pengguna orang tua itu bersifat umum, tidak bisa dibedakan antara PTAI dengan PTU. Sedangkan Departemen Agama yang selama ini menjadi pengguna utama dari PTAI sepertinya sudah jenuh. Departemen Agama itu seperti ‘hanya lubang’ kecil bagi alumni PTAI. Lalu ke mana alumni PTAI? Inilah kekurang-jelasan dari apa yang dikatakan oleh masyarakat dengan ‘di mana-mana’.
Kedua, ‘di mana-mana’ berarti sangat luas. Realitas menunjukkan bahwa alumni PTAI bukan hanya bekerja di lembaga di Departemen agama saja, tetapi juga bisa ditemukan di Departemen non-depag, misalnya Pemkot/ Pemkab, Pemprov, Dinas, BKKBN, dan sebagainya. Meskipun harus diakui bahwa di depag sangat dominan. Lembaga di bawah naungan depag seperti Kanwil Depag, Kandepag,  madrasah, PA, PTA, KUA, mayoritas pegawainya berasal dari PTAI. Di samping itu, alumni PTAI juga banyak dijumpai di pesanten, takmir masjid, ormas keagamaan seperti NU, Muhammadiyah, TPQ/TPA, madrasah diniyah, madrasah swasta dan sebagainya. Bisa dibayangkan siapa yang akan mengurus TPQ/TPA, Madrasah dan sebagainya jika tidak ada alumni PTAI. Hal tersebut disebabkan karena substansi materi yang diajarkan di PTAI tersebut adalah Islamic Studies (kajian Islam). Maka wajar kalau lembaga sosial-keagamaan itu membutuhkan alumni PTAI.
Seperti disebut pada bagian terdahulu, alumni PTAI mulai merambah ruang mobilitas yang relatif ‘meluas’ dan bahkan ‘menyempal’, tidak ada hubungan secara langsung dengan ilmu agama Islam sebagai core curriculum PTAI. Penilaian secara jujur juga sering dikemukakan oleh dosen dari perguruan tinggi umum bahwa IAIN sekarang semakin menunjukkan potensinya untuk berperan di masyarakat.
Meskipun PTAI bisa bekerja ‘di mana-mana’, pertanyaan kuantitatif yang menggoda adalah berapa persen dari total alumni yang bekerja di tempat ‘agama’ dan berapa persen yang bekerja di ‘non-agama’. Berapa daya serap dari institusi itu dalam menampung alumni PTAI. Hal ini penting untuk dilakukan, sebaik apapun kompetensinya jika hanya menampung sebagian kecil saja, maka yang diciptakan oleh PTAI bukan lagi ‘sarjana kompeten’, tetapi ‘sarjana pengangguran’. Berapa sarjana yang hasilkan oleh PTAI dalam 5 tahun, dan berapa persen dari alumni itu yang telah mendapatkan tempat oleh masyarakat pengguna, baik institusi agama maupun non-agama, berapa di antara mereka yang bekerja di luar bidangnya, misalnya di pabrik kayu, garment, asuransi, mebel, berdagang sendiri, sebagai makelar, distributor MLM, penerbitan, jurnalis, penulis buku dan sebagai, dan berapa dari mereka yang belum bekerja. Data mengenai hal ini susah sekali dilacak, tetapi yang jelas di tempat itu ada juga alumni PTAI.
Penelusuran alumni IAIN sudah pernah dilakukan oleh Prof. Mastuhu dengan mengambil sampel tiga IAIN, yakni IAIN Syarif Hidayatullah (sekarang UIN), IAIN Sunan Kalijaga (sekarang UIN), serta IAIN Sunan Ampel Surabaya. Hasil temuannya yang paling utama adalah bahwa ternyata profil alumni IAIN sangat didominasi dengan profesi pendidikan yang melebihi 73.3% responden menyatakan profesi ini, kemudian disusul pegawai baik negeri maupun swasta dan pedagang-wiraswasta (Mastuhu 1999). Hasil survei Prof. Mastuhu telah memberikan gambaran umum tentang profil alumni IAIN – alumni IAIN itu ke mana dan seperti apa. Hanya saja, kompetensi alumni IAIN yang sungguh-sungguh diharapkan oleh masyarakat berada di luar jangkauan penelitiannya.

Kompetensi Lulusan PTAI
Secara umum masyarakat pengguna menyatakan bahwa alumni PTAI masih memiliki kompetensi profesional pengetahuan agama Islam. Hal ini bisa dilihat dari persoalan agama di banyak kantor masih diserahkan kepada alumni PTAI. Hal yang sama juga terjadi di masyarakat bahwa alumni PTAI pasti menjadi motor kegiatan keagamaan seperti khutbah jum’at, pengelolaan zakat, pengurusan jenazah, menjadi pemimpin tahlil dan sebagainya. Sebagian sangat ‘substantif-kontekstual’ di dalam menjelaskan agama Islam. Hal ini merupakan kelebihan yang dimiliki oleh PTAI – model pengkajian Islam yang moderat. Namun jumlah yang seperti ini masih terbatas, dan mereka yang dapat memerankan profil ini biasanya tinggal di perkotaan.
Tidak semua alumni PTAI memiliki pengetahuan yang ‘matang’ soal agama. Kritik masyarakat terhadap alumni PTAI misalnya sok ilmiah, sombong, bahasanya sulit dimengerti dan sebagainya adalah penanda bahwa masih ada problem dengan kompetensi alumni PTAI. Hal ini bisa didengarkan dari khutbah yang dilakukan oleh alumni PTAI yang masih baru. Orang sering memberikan label kepada alumni ini dengan ‘intelektual tanggung’.
Kalangan pesantren menganggap bahwa alumni PTAI tidak bisa disejajarkan dengan pesantren. Mereka hanya tahu kulit saja, kemampuan untuk mendalami agama masih kurang atau minimal. Hal ini bisa dibuktikan dari lemahnya alumni PTAI yang tidak memilik basis pendidikan pesantren. Mereka tidak banyak tahu tentang agama, tetapi mereka sok tahu bicara agama Islam. Sementara orang pesantren memiliki bekal yang cukup untuk mengetahui persoalan agama, meskipun secara metodologis tidak mampu menyampaikannya.
Penelitian Abdurrahman Mas’ud (2003) di Semarang menyebut beberapa indikasi kompetensi yang dimiliki alumni PTAI baik secara personal dan sosial. Menurut Mas’ud, pengetahuan selain agama yang paling menonjol dari alumni PTAI adalah pengetahuan sosial. Beberapa kalangan mempertanyakan kurikulum yang diajarkan kepada mahasiswa PTAI karena dinilai memiliki kelebihan di dalam masalah sosial, komitmen, kepekaan dan advokasi masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Hal ini ditunjukkan oleh banyaknya civitas akademika IAIN yang menulis di koran, menjadi aktivis sosial, atau melakukan pendampingan terhadap masyarakat, dan kegiatan sosial lainnya.
Beberapa hidden curriculum memang bisa diperoleh mahasiswa selama kuliah di PTAI, misalnya kepemimpinan, karena mahasiswa dikelompokkan ke dalam banyak kegiatan, baik intra kampus maupun ekstra kampus sehingga mereka memiliki kesempatan besar untuk menjadi pemimpin suatu organisasi sesuai dengan levelnya. Mereka juga banyak diajarkan kegiatan menulis. Semua fakultas memiliki majalah yang dikelola mahasiswa, dan di tingkat institut juga ada koran yang terbit secara berkala.
Skill lain yang bisa diperoleh di PTAI adalah kemampuan berbicara. Kuliah sudah banyak yang menggunakan model tutorial, siapa yang aktif berbicara di kelas juga akan mendapatkan perhatian khusus dari dosen. Di samping itu kegiatan seminar juga banyak ditemukan di kampus. Oleh karena itu bagi aktifis mahasiswa mereka sebagian besar bisa menulis, mengemukakan gagasan, khutbah, dan juga skill kepemimpinan. Ketiga skill tersebut tidak ditemukan di dalam kurikulum pengajaran, tetapi bisa diperoleh di dalam kegiatan mahasiswa. Oleh karena itu tidak aneh kalau kemudian alumni PTAI banyak yang terjun ke dunia politik, ke jurnalis menjadi wartawan, menjadi mubaligh karena mereka telah terbiasa di kegiatan kampus. Mereka mendapatkan itu mungkin di organisasi, atau kemauan pribadi, atau dari tempat lain. Namun mereka sebagian besar lemah dalam ilmu penunjang di bidang komputer, akuntansi dan sebagainya.
Kompetensi personal misalnya sikap jujur, amanah, disiplin, atau bertanggung jawab sulit diukur apakah hal ini sebagai akibat pendidikan di PTAI atau hasil pendidikan sebelumnya. Kompetensi ini berkaitan dengan model pendidikan yang diterapkan di PTAI apakah kejujuran akademik, misalnya terbangun sehingga tampak pada semua civitas  akademika. Amanah dan tanggung jawab apakah menjadi ‘kebiasaan’ yang riil atau tidak. Ketika ujian berapa orang yang cenderung melanggar, ketika membuat makalah berapa yang cenderung melakukan plagiasi, ketika laporan SPJ berapa di antara mereka yang cenderung fiktif dan sebagainya. Kondisi demikian ini bisa menjadi ukuran meskipun tidak sepenuhnya sama dan valid.
Pengajaran agama di PTAI bukan semata mengajarkan akhlaq atau meningkatkan kualitas iman, tetapi menggunakan pendekatan rasional, menganalisis pemikiran ulama, menganalisis fenomena sosial. Keluaran PTAI adalah sarjana agama diajarkan untuk mendalami pengetahuan agama dengan pendekatan rasional, bukan menjadi kyai yang bertugas mengembangkan risalah Islamiyah, pelayan umat, dan berperilaku serta menjunjung tinggi nilai ajaran agama. Sebagian besar mereka mengatakan bahwa ethos kerja mereka professional dibidangnya masing-masing. Mereka kerja bukan sekedar untuk mendapatkan uang, tetapi kerja yang bisa bernilai ibadah.


STAI jadi Institut Bagai Gayung Bersambut

Keinginan STAI Tafaqquh Fiddin Dumai untuk berubah menjadi Institut pada tahun 2020 seperti gayung bersambut. Untuk menuju kearah tersebut, langkah paling awal yang harus dilakukan STAI Tafaqquh Fiddin Dumai adalah mempersiapkan pembukaan program studi (prodi) baru. Demikian disampaikan oleh DR. H. Mastuki HS, M.Ag Kasubdit Akademik dan Kemahasiswaan Direktur Pendidikan Tinggi Islam Kementerian Agama RI pada temu ramah bersama sivitas akademika STAI Tafaqquh Fiddin Dumai pada tanggal 15 Juli 2010 di hotel Grand Zuri Dumai.
Menurutnya, Pembangunan Masyarakat Islam Pesisir (PMIP) dan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) adalah dua prodi yang layak dikembangkan di STAI Tafaqquh Fiddin Dumai ke depan. Untuk mengembangkan prodi tersebut beliau menganjurkan supaya banyak belajar dari pengalaman beberapa Perguruan Tinggi Agama Islam lainnya di pulau Jawa.
Cita-cita untuk STAI Tafaqquh Fiddin Dumai berubah menjadi institut ini tidak lain adalah dalam rangka merespon perkembangan kota Dumai yang semakin hari semakin berkembang dan menjadi lokomotif pembangunan, terutama untuk kawasan Riau pesisir.  Perkembangan pembangunan kota yang begitu pesat tentu harus sejalan dengan peningkatan sumberdaya manusia masyarakat terutama pada aspek sosial keagamaan. Untuk itu, hanya institusi STAI lah yang diharapkan dapat membekalkan para intelektual yang dapat menyelaraskan diantara kebutuhan akan materialisme dan mental spritual. Fenomena bahwa pembangunan industri dan perdagangan yang meningkat pesat namun disatu sisi moralitas agama masih terhenti pada institusi-institusi ustadz dan ustadzah yang pendidikan agamanya didapat dari kampung, mengakibatkan perkembangan kedua sisi ini tidak singkron. Pemikiran inilah yang menjadi pondasi mengapa STAI perlu mengembangkan diri untuk menjadi institut. Demikian dinyatakan Rizal Akbar  Ketua Yayasan Tafaqquh Fiddin.
Selain untuk merespon pembangunan, pengembangan STAI menjadi Institut diharapkan untuk dapat menangkap peluang strategis daerah dimana letak Kota Dumai yang sangat strategis baik dipandang dari sudut pesisir sumatera maupun dari perbatasan antar negara. “Kami bermaksud dengan perubahan ini dapat merekrut mahasiswa bukan saja dari kota Dumai namun dari pesisir timur Sumatera dan kawasan Semenanjung Malaysia, kata Rozai Akbar Ketua STAI Tafaqquh Fididin Dumai.
  Namun cita-cita itu bukanlah sesuatu yang mudah untuk diraih oleh STAI Tafaqquh Fiddin Dumai. Untuk sampai ketujuan tersebut,   STAI perlu memiliki minimal 3 (tiga) fakultas dan masing masing fakultas memiliki masing-masing dua jurusan dan masing-masing jurusan memiliki paling tidak dua program studi. Dan tentu juga harus didukung oleh fasilitas yang memadai, hal tersebut dinyatakan oleh Drs. Abu Bakar Sekretaris Kopertais Wilayah XII Riau dan kepulauan Riau. Namun pihaknya tetap mendukung cita-cita STAI Tafaqquh Fiddin Dumai tersebut. (Bf)

Selayang Pandang STAI Tafaqquh Fiddin Dumai

Pentingnya Pendidikan Tinggi Islam di kota Dumai mendorong pembentukan Sekolah Tinggi Agama Islam Tafaqquh Fiddin Dumai di bawah naungan Yayasan Tafaqquh Fiddin pada tahun 1999. Dengan dipertegas oleh Surat Keputusan Koordinator KOPERTASI Wilayah XII Nomor : 05/XII/K/2000 Tentang IZIN OPERASIONAL, Tanggal 1 April 2000. Setelah berjalan dua tahun, STAI Tafaqquh Fiddin memperoleh Status Terdaftar dengan SK Menteri Agama Nomor : DJ.II/264/2002, 12 Juli 2002.
Kemauan besar para pendiri sekolah ini untuk merealisasikan suatu pendidikan agama yang profesional di kota Dumai, menyebabkan segala upaya dilakukan. Pada priode pertama. pihak yayasan bersama pengurus STAI berjuang bertungkuslumus untuk mendapatkan izin serta membangun kampus. Dalam usaha mendapatkan perizinan, perjuangan panjang yang dilakukan sejak tahun 1999, baru membuahkan hasil yakni dengan dikeluarkannya izin operasional oleh KOPERTAIS Wilayah XII pada tahun 2000. Izin operasional itu ternyata belum cukup untuk menunjukan eksistensi STAI, sehingga pada tahun 2002 pihak yayasan kembali melakukan usaha-usaha untuk mendapatkan izin terdaftar. Akhirnya pada tahun tersebut izin terdaftar dari Menteri Agama Republik Indonesia dapat dikantongi STAI Tafaqquh Fiddin.
Keluarnya izin terdaftar tersebut belum dapat menenangkan hati dan perasaan baik pihak yayasan mahupun pengurus STAI. Keadaan perkuliahan yang selalu berpindah-pindah mulai dari Asrama haji Jalan Pattimura, ke Rumah Toko Pak T. Said Rahman di Jalan Sukajadi sampailah ke MDA Al-Bahri Kompleks PELINDO, sangat memilukan dan sulit untuk terlupakan. Keadaan itu menjadi sedikit terobati manakala akhirnya yayasan berhasil meloloskan bantuan pembangunan gedung kampus STAI Tafaqquh Fiddin pada APBD Provinsi Riau tahun 2003. Sementara itu pihak pengurus berhasil pula  mendapatkan hibah lahan kampus dari Pemerintah Kota Dumai seluas 10.000 m2.
Keadaan yang sangat melegakan hati para pendiri sekolah ini adalah manakala pada tanggal 20 Juli 2004 bertempat di Hotel Patra Dumai STAI Tafaqquh Fiddin melaksanakan wisuda perdana yang diikuti 40 orang wisudawan. Dimana sebelumnya pihak pengurus telah melakukan dua kali munaqasyah yakni kali pertama di Wisma Mella Pekanbaru pada 8 April 2003 dan kali kedua di Hotel Tasia Ratu Dumai pada 8 Januari 2004.
Kini Sekolah Tinggi Agama Islam Tafaqquh Fiddin Dumai akan terus berkembang dan melanjutkan perjuangan baik membenahi kualitas pelayanan kepada mahasiswa, melakukan inovasi-inovasi guna keperluan pembangunan dan kemasyarakatan. Karena STAI Tafaqquh Fiddin Hadir sebagai jawaban atas kebutuhan keberagamaan ditengah masyarakat plural transisi dan metropolis.


Ekonomi Islam Sebuah Solusi

WACANA tentang Ekonomi Islam kini sedang marak diperbincangkan. Wacana itu didukung oleh fenomena wujudnya praktek perbankan syariah yang semakin hari semakin berkembang. Praktek perbankan syariah yang pada awalnya hanya dijalankan oleh Bank Muamalah, kini sudah menyebar kesemua bank konvensional di Indonesia. Bank-bank konvensional itupun kini telah membuka layanan-layanan syariah.
              Selain perbankan, praktek Ekonomi Islam juga dijalankan pada sektor asuransi, dan penjaminan. Selain itu, Ekonomi Islam hanya bergulat pada masalah zakat, infaq, waqaf dan sedekah yang dikelola oleh Badan Amil Zakat (BAZ), Lembaga Amil Zakat (LAZ) serta Unit Pengumpulan Zakat (UPZ) yang tersebar baik di masjid maupun mushala dan instansi-instansi pemerintah maupun swasta.
Permasalahannya adalah apakah Ekonomi Islam hanya terhenti pada sektor keuangan saja, berikut ini disajikan wawancara khusus dengan Bapak H. M. Rizal Akbar, M.Phil pengamat Ekonomi Islam, Dosen Muamalah  dan Ketua Yayasan STAI Tafaqquh Fiddin Dumai, tentang seputar masalah Ekonomi Islam.

Assalamu’alaikum Bapak...! Menurut Bapak  apa yang membedakan antara Ekonomi Islam dengan ekonomi yang kita jalankan saat ini.

Wa’alaikumsalam, Wr. Wb. Baik, ekonomi yang kita jalankan saat ini dapat disebut dengan ekonomi konvensional, nah dalam konteks perbedaan diantara Ekonomi Islam dengan Ekonomi konvensional itu, saya sependapat dengan beberapa pakar Ekonomi Islam yang menyatakan bahwa perbedaannya terletak pada masalah falsafah ekonominya, meskipun ada sebahagian yang lain menyebutkan perbedaannya terletak pada praktek dalam berekonomi. Ekonomi Islam secara philosofi berorientasi pada falah (kebahagian) sementara Ekonomi konvensional berorientasi pada materi (kebendaan). Selain itu, dari aspek keadilan dalam berekonomi juga terjadi perbedaan. Bila kita simak Surat Al-Baqarah ayat 275, di sana Allah SWT Menyatakan bahwa, ” Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Bila kita pahami ayat ini, maka dalam peraktek Ekonomi Islam secara philosofi tidak boleh adanya ketidak adilan ekonomi (pengzholiman) dan falah sebagai orientasi Ekonomi Islam hanya dapat diraih dengan jalan ”diusahakan” atau dengan kata lain tidak boleh ada prinsip ”uang mencari uang tanpa kerja ”. Bila dalam konteks jual-beli, nilai lebih atau yang disebut keuntungan adalah hasil dari  usaha. Beberapa ulama terdahulu mendefenisikan keuntungan ini dengan ”konpensasi”. Sementara riba’, juga berorientasi pada nilai lebih namun bedanya adalah nilai lebih itu lazim disebut dengan ”bunga”. Bunga, tidak dapat disamakan dengan konpensasi, karena ianya dihutung pada masa awal dan sang kreditur tidak memiliki resiko atas kerugian usaha yang diderita oleh sang peminjam. Sementara dalam Ekonomi Islam harus berlaku prinsip profit-loss Sharing atau bagi hasil (Mudharobah)

Tadi Bapak menyebutkan tentang falah (kebahagian) bisa dijelaskan lebih rinci tentang hal tersebut?

Falah (Kebahagiaan) merupakan orientasi dari Ekonomi Islam, jadi sesungguhnya kita masyarakat Muslim ini adalah orang-orang yang berbahagia. Bayangkan saja setiap kali adzan dikumandangkan, maka muadzin pasti  melantunkan ”hay ya’alal falah” (mari menuju kebahagiaan). Namun kebahagiaan yang telah digariskan di dalam ajaran kita adalah kebahagian di dunia untuk menuju kebahagiaan di akhirat. Sehingga untuk mencapai kebahagiaan itu, kita tidak boleh hanya terhenti pada materi (kebendaan) semata. Nah, disinilah letak perbedaannya, bila ekonomi konvesional hanya terbatas pada materi sementara Ekonomi Islam jauh melampauinya dengan falah (kebahagian). Artinya dalam konsep Ekonomi Islam materi yang diperoleh harus dapat menyelamatkan dan materi yang dapat menimbulkan kemudharatan dan menyengsarakan harus dijauhi dan dihindari. 

Kembali pada pokok masalahnya, Bagaimana menurut bapak tentang praktek Ekonomi Islam saat ini?

Ya, praktek Ekonomi Islam sampai saat ini masih berkutat pada sektor keuangan. Perbankan, Asuransi, Penjaminan dan sektor klasik, zakat, sedekah, infaq dan waqaf. Sementara ruang-ruang ekonomi lainnya masih dalam konteks wacana keilmuan seperti : Ekonomi Pembangunan Islam, Ekonomi Makro dan Mikro Islam, Akuntansi Syari’ah dan sebagainya. Pada hal bila wacana ilmu ini dapat dipraktekkan saya yakin bahwa ianya dapat merubah corak perekonomian dunia saat ini. Saat ini kita dapat melihat perekonomian dunia semakin hari semakin parah. Kapitalisme ternyata gagal memakmurkan penduduk bumi, malah sebaliknya melahirkan bencana yang berkepanjangan. Namun sayangnya disaat orang hampir sepakat bahwa kapitalisme gagal, ilmuan Islam belum sepenuhnya dapat menampilkan konsep Ekonomi Islam sebagai solusi, disebabkan kurang diminatinya bidang ilmu ini pada masa-masa lalu.

Selanjutnya menurut Bapak, apakah praktek perbankan syari’ah saat ini sudah sesuai dengan prinsip-prinsipnya?

Menyangkut sudah sesuai atau tidaknya praktek perbankan dengan prinsip-prinsip syari’ah sesungguhnya secara formal sudah diatur oleh Dewan Syari’ah. Selagi praktek perbankan syari’ah itu mengikuti fatwa-fatwa Dewan Syari’ah tersebut secara formal ya sudah sesuai. Namun saya berharap masyarakat juga harus cerdas dalam bermuamalah. Sesunggunya benar-tidaknya praktek muamalah itu, masyarakat sendirilah  yang menilainya. Untuk itu memahami ilmu muamalah adalah kewajiban bagi setiap muslim.

Mungkin sedikit perlu Bapak jalaskan perbedaan diantara Ekonomi Islam dengan Muamalah?

Diantara Muamalah dan Ekonomi Islam sebenarnya sama saja. Muamalah ya ekonomi Islam. Tapi karena saat ini terjadi pengelompokan Ilmu, akhirnya ada Ekonomi Islam dan ada Muamalah (Hukum Ekonomi Islam). Padahal prinsip Ekonomi Islam itu adalah tidak memisahkan diantara positif ekonomi (praktek ekonomi) dengan normatif ekonomi (hukum berekonomi).

Terakhir, Apa yang menjadi harapan Bapak terhadap pengembangan Ekonomi Islam dimasa dapan?

Harapan saya Ekonomi Islam harus dikembangkan oleh semua kalangan. Hari ini Ekonomi Islam lebih terkonsentrasi di Lembaga Pendidikan Tinggi Islam. Dan Sarjana Ekonomi Islam di Indonesia hari ini, lebih banyak yang berlatar belakang pendidikan agama. Padahal pemahaman Ekonomi Islam harus didukung oleh pengetahuan-pengetahuan umum lainnya seperti matematika, ekonometrika, statistik dan ekonomi konvensional.
Di samping itu, saya berharap pemerintah harus memberikan dukungan terutama dalam pengembangan program studi ini ke depan, yaitu dengan  memberikan porsi kepada para Sarjana Muamalah ini pada jabatan-jabatan yang ada di pemerintahan. Mereka para Sarjana Muamalah sesungguhnya bukan hanya menguasai Ekonomi Islam tapi juga memahami Ekonomi Konvensional dan Hukum Bisnis sekaligus. Sehingga tidak ada salahnya pemerintah memberikan kesempatan kepada mereka baik di bidang perencanaan, administrasi, ekonomi, pembangunan dan bahkan dengan kompetensi dasar sebagai ulama mereka juga mampu menyangga persoalan sosial dan keagamaan. (frd)