Kamis, 09 Februari 2017 | By: SahabatRiau

Sederhanakah Bahagia?

Bagian 2

Mereka yang berbahagia
Tidak sesederhana yang dibayangkan namun tidak pula sesulit apa yang dipikirkan. Kebahagian datang dan pergi seiring usia seorang manusia. Tidak ada penderitaan selamanya dan tidak pula bahagia untuk selamanya. Silih berganti bagikan siang dengan malam.

Adalah persepsi yang selalu terdepan untuk menyatakan tentang bahagia. Relatifitas menyebabkan aspek materi sulit digunakan untuk menakar kebahagian. Ketika hanya punya sepeda motor, seseorang akan merasa betapa bahagianya jika punya mobil. Namun ketika sudah punya mobil, lama kelaman tingkat kebahagiaan itu jadi menurun dan  berharap pula  untuk memiliki hal yang lain lagi.

Kenyataan diatas adalah satu dari beragam gambaran model kebahagiaan. Menikmati dunia, sangat mungkin menyebabkan orang menjadi bahagia. Namun mengikutkan kenikamatan dunia menyebabkan kita menjadi hanyut dalam arusnya yang tidak bertepi, karena kenikmatan dunia itu seperti meminum air laut yang semakin diminum semakin menambah dahaga.

Dengan demikian materi bukanlah instrumen utama kebahagian. Maka wajar jika ada pernyataan menarik seputar kebahagian yakni, "bukan sukses yang menyebabkan orang jadi bahagia, namun bahagialah yang menyebabkan seseorang menjadi sukses".  bersambung...



Minggu, 05 Februari 2017 | By: SahabatRiau

Sederhanakah bahagia?

Bagian 1

Banyak status pada medsos yang diawali dengan kalimat " bahagia itu sederhana" yang selanjutnya disambung dengan beragam kalimat lainnya. Fenomena itu menarik untuk diamati, paling tidak memunculkan dua pertanyaan. Pertama, betulkah bahagia itu sederhana. Kedua, Suasana apa yang mengilhami kalimat tersebut dituliskan.

Bahagia, adalah apa yang selalu diharapak oleh semua orang. Kebahagian itu adalah tentang rasa, sehingga dia bersifat subjektif. Bahagia sering pula disebut dengan well-being. Dalam konsep Islam, kebahagian dinyatakan dengan istilah assyaadah, al-falah, hasanaah atau istilah lainnya yang penulis belum sempat memahaminya.

Kebahagian tersimpan rapat diruang hati, sehingga  sang pemilik hati sajalah yang dapat mendefenisikan apakah ia sedang bahagia atau tidak, inilah yang disebut dengan subjektif. Pengamatan tentang kebahagiaan, lebih subjektif lagi bila dibandingkan dengan kebahagian itu, karena sang peneliti yang terbatas dengan alat ukur penelitiannya yang positifis, membuat kesimpulan tentang kebahagian. Padahal apa yang mereka simpulkan hanya bersandar pada kesan-kesan objektif (terukur) dari apa yang diekspresikan oleh sang responden, menyangkut menyangkut rasa. Pertanyaannya, dapatkah kita simpulkan bahwa mereka yang menuliskan di metsos, "bahagia itu sederhan", adalah orang yang sedang bahagia?

Mengukur sesuatu yang tidak pasti, boleh juga diistilahkan dengan "mendulang angin". Suasana kebagian memang memunculkan gejala lahiriah yang bersifat objektif. Sehingga akan sangat mungkin mengapresiasikan bahwa sesorang itu bahagia ketika melihat dari tampilan luarnya. Ketika ada orang yang berwajah murung kita pasti mengatakan dia kurang bahagia, atau ketika melihat orang dengan wajah yang ceria, maka sangat masuk akan untuk menyatakan bahwa dia sedang bahagia.

Tapi apakah kesimpulan itu benar, hanya orang itulah yang tahu. Barang kali inilah yang menyebabkan penelitian kebahgaian kini dilakukan dengan menanyakan langsung, apa yang ditanyakan adalah tentang kepuasan. Misalnya, apakah anda puas dengan pekerjaan yang sedang anda tekuni, serta pertanyaan lainnya. Pertanyaannya, Samakah puas dengan bahagia, atau samakah bahagia dengan senang, adalah wacana menarik untuk diperbincangkan. 

Maka mudahkah bahagia itu, yang pasti mengukurnya sulit. Jika mengukurnya sulit, bagaimana pula dengan menciptakannya? ....bersambung...

Sabtu, 04 Februari 2017 | By: SahabatRiau

Besar vs Banyak

Berkali-kali teriakan itu terdengar, gemuruh suara pekikan "perubahan". Masa berganti, rezim berubah. Entah itu instrumenya, yang pasti hanya disitu perubahan itu terjadi. Yang diganti keberatan untuk turun, yang ingin menggantikan dengan libido yang memuncak. Semua sekatan tak berarti, semua norma hanya cerita

Politik menjadi raja ditengah rimba raya yang tak bertepi. Semua larut dalam cengramannya. Tidak lengkap membahas sesuatu tampa kehadirannya. Bak sang primadona, dia mengambil semuanya dan menghabiskannya dalam kemaruk yang tak berkesudahan. Ilusi dan mimpi menjadi satu didalamnya. Serius atau candaan sama saja dalam dekapan sang penabur mimpi ini.

Tidak boleh jera atau bahkan memusuhinya, karena bukan disitu kesalahanya. Kolektifitas yang hampir homogen dalam cara yang sama, bukanlah kehendaknya. Tapi pilihan para pelaku politik itu sendiri yang letih memegang prinsif yang hanyud dalam godaan sang pesona dunia. Suguhan dunia yang  semakin mengasikan, adalah alasan fundamnetal mengapa semua terpleset ditempat yang nyaris itu-keitu saja.

Homogenitas adalah sekanario. Setingan dua arah yang selalu berlawanan, bak surga dan neraka. Yang kuat mengalahkan yang lemah. Kuat atau lemah tergantung pada semua posisi dan sumberdaya yang mengitarinya dan bagaimana iya memaknai dunianya. Demokrasi memang tetang suara terbesar, tapi banyak belum tentu menang, dan sedikit belum tentu kalah.

Besar agaknya berbeda dengan banyak. Besar, adalah tentang bobot dan banyak adalah tentang hitungan. Maka berbobot lebih diutamakan, karena dengan itu dia biasa meraih banyak. Bobot kekuasaan, modal dan sdm adalah instrumen kemenangan itu. Banyak akan terbenam dalam gemuruh yang tak pasti dan gegap gempita yang sulit diartikan.

Sebuah kontemplasi terbuka, Ahad, 5 Februari 2017