Senin, 28 November 2016 | By: SahabatRiau

Bandar Bakau (bagian 1)

Berada diujung jalan Nelayan Laut kelurahan Pangkalan Sesai Kota Dumai. Kawasan seluas 12 Hetar itu ditumbuhi oleh berbagai jenis Mangrov. Istilah Mangrov sepertinya baru dekade belekangan in dikenal oleh masyarakat dikawasan ini. Karena dulu mereka lebih akrab menyebutnya dengan Bakau, Perepat, Kedabu, Nipah dan sebagainya. Dan kawasan tempat tumbuhnya tubuhan-tumbuhan itu selalu di sebut dengan Baghan. Tempat itu sekarang bernama Bandar Bakau.

Bandar Bakau dikelola oleh sebuah kelompok  Pecinta Alam Bahari (PAB). Kelompok ini dinakhodai oleh seorang figur pejuang lingkungan yang juga pernah berkeliling Indonesia dengan berjalan kaki, yakni Darwis Mohamad Saleh. Sosok sederhana yang selalu mengenakan kaos itu, seakan menyatu dengan kawasan Badar Bakau ini, karene keseharian beliau berada disini dan bermastautin di tempat ini.

Darwis telah merubah kawasan yang dulunya menakutkan, kini menjadi kawasan kunjungan. Sebelumnya, tidak banyak masyarakat  bersahabat dengan hutan Bakau, kecuali para nelayan dan suku-suku terbelakang seperti akit, orang utan dan suku laut. Bagi mereka hutan bakau adalah sumber kehidupan mereka. Namun bagi masyarakat sekitar yang sudah maju hutan bakau jarang dikunjungi karena memang sukar untuk memasuki kawasan ini sebab terdiri dari hamparan lumpur yang ditumbuhi oleh akar-akar kayu yang menonjol, sehingga sangat tidak mungkin untuk memasukinya jika tidak dengan tujuan-tujuan tertentu yang sangat penting. Ditambah lagi biasanya kawasan ini dipersepsikan angker, tempat bermukimnya segala makhluk-makhluk halus, serta yang lebih menakutkan lagi bahwa ditempat ini terdapat sejenis ular dengan ukuran yang kecil dan pendek, yang sangat ditakuti karena bisa nya dapat menyebabkan kematian, ular ini dinamakan "ular bakau".

Pada pertengahan oktober 2016, Tim LP2M IAI Tafaqquh Fiddin Dumai, berkesempatan mewawancarai Saudara Darwis Mohamad Saleh di kediamaannya di kawasan Bandar Bakau. Wawancara seputar PAB dan Bandar Bakau itu juga dihadiri oleh Pak Udin yang juga salah seorang pengurus PAB. Pada kesempatan itu dengan ekspresi yang berat bang Wes, panggilan akrab untuk Darwis Mohammad Saleh. banyak menjelaskan tetang konsidi PAB dan pengelolaan Bandar Bakau saat ini.

Dalam setiap doa, saya selalu berharap kiranya datangkanlah orang-orang yang punya kemampuan untuk mengurus kawasan ini, yakni ikut berfikir.  Saya juga berfikir  namun lebih kepada magrov dan hal-hal lainnya. Sementara bagaimana memodernkan kawasan ini dengan segala manajerialnya memerlukan orang-orang  yang memiliki ketaqwaan kepada Allah SWT, tutur bang Wes. Kesimpulan bang Wes bahwa ketaqwaan menjadi ukuran utama bagi personil pengelola yang dia harapkan untuk Bandar Bakau tentu menarik perhatian.

Sangat beralasan mengapa bang Wes menuturkan persoalan ini. Dengan nada yang meninggi dia sempat menyatakan, "di PAB pengurus tidak semestinya hanya mengambil jabatan. Kalau orientasinya hanya itu, masih banyak  jabatan-jabantan ditempat yang lain memiliki potensi dan bergengsi. Sementara disini kita perlu pengabdian dan kecintaan kepada lingkungan terutama Bandar Bakau ini", tegasnya sambil memandang kearah hamparan pepohonan bakau yang tubuh tersusun rapi.

Bang Wes menegaskan bahwa PAB memiliki arah langkah yang jelas untuk mengembangkan kawasan Bandar Bakau. Namun menurutnya, kelemahan utama PAB ada pada faktor menejerial. selain itu dia juga mengaku memang saat ini ada masaalah dengan penataan personil di kepengurusan PAB. "Saat ini saya mulai tegas dalam penataan personil di PAB", ungkap bang Wes. Dia juga mengakui bahwa manajemen yang berjalan saat ini sangat lemah. Tidak ada standar oprasional pengelolaan, sehingga Dia menyebutnya dengan "manajemen sorang-sorang, atau standar kampung".

Darwis mengharapkan kawasan ini mendapat hibah dari pemerintah pusat menjadi kawasan pengembangan budaya dan konservasi mangrov. Dia menuturkan bahwa menteri kehutanan pada waktu itu Zulkifli Hasan, pernah menyampaikan kepada mereka suapaya pemerintah kota Dumai dapat mengusulkan hibah kawasan ini kepada pemerintah pusat untuk tujuan tersebut.

Secara legalitas dalam pengelolaan Bandar Bakau, Darwis menjelaskan bahwa sampai saat ini mereka telah mengantongi akte notaris dan surat terdaftar dari Kesbangpol kota Dumai. Selain itu mereka juga memiliki dokumen-dokumen penghargaan atas kerja-kerja pengelolaan kawasan Bandar Bakau ini baik dari pemerintah Kota Dumai, provinsi sampailah tingkat nasional.

Bersambung.....






Sabtu, 19 November 2016 | By: SahabatRiau

"Kota Industri itu bernama Dumai"

Dumai, demikianlah kota itu bernama. Tidak ada cerita yang pasti mengapa nama itu diberikan pada kota ini. Namun konon itu disebabkan ada sosok makhluk Jin yang bernama Umai yang membunuh siangkaramurka putra raja Aceh yang ingin mengambil paksa salah satu dari tujuh putri jelita, dengan senjata yang fenomenal yakni buah bakau belukap.

Namun terdapat pula cerita lainnya,  yang menceritakan bahwa penamaan itu berawal dari sebuah pangkalan atau pelabuhan kecil yang berada di Sungai Sembilan. Dimana pelabuhan itu, pemiliknya bernama Umai. Umai selalu dipanggil masyarakat disana dengan De Umai. De adalah panggilan Melayu, yang awalnya adalah Ude atau Abang. Sehingga sangking seringnya pangkalan itu disebut De Umai maka lambat laun berubah menjadi Dumai.

Namun yang meraik adalah ketika memperkenalkan Dumai kepada orang yang belum pernah berkunjung ke kota ini. Biasanya, mereka selalu memplesetkan Dumai dengan "Dunia Maya" dan ada pula yang menyamakannya dengan "Dubai". Tidak ada masalah dengan plesetan tersebut karena bernilai positif . Ketika Dumai diplesetkan dengan dunia maya, ada harapan akan peningkatan kiranya kota ini disuatu masa nanti menjadi  cyber city. Begitu juga ketika dia diplesetkan dengan Dubai, diharapkan dimasa depan kota ini akan berkembang peset setara dengan perkembangan kota Dubai yang berada di Timur Tengah saat ini.

Sebagai sebuah kota yang berada di bagian pinggang pulau Sumatera, posisi kota ini sangat strategis berhadapan langsung dengan selat Melaka. Dimana Selat ini merupakan selat dengan kepadatan pelayaran perniagaan dunia. Dengan letaknya yang strategis itu, Dumai berkembang sebagai kawasan pelabuhan, industri dan perdagangan. Terdapat banyak pelabuhan di kota ini baik yang dikelola oleh PT. Pelindo, pelabuhan khusus serta pelabuhan rakyat. Demikian juga dengan industri, telah berdiri industri pengolahan  seperti bahan bakar minyak oleh PT Pertamina, pengolahan crude palm oil (CPO) serta pengolahan lainnya.

Kehadiran industri-industri itu telah merubah kota ini. Berawal dari sebuah kampung nelayan dengan penduduk asli Melayu yang beragama Islam, kini Dumai menjadi sebuah kota yang heterogen. terdapat berbagai suku dan agama yang hidup di kota ini. Selain suku Melayu, di kota ini juga terdapat suku Minang, Batak, Jawa, Bugis, Banjar, Madura serta suku-suku lainnya, serta juga tidak sedikit terdapat masyarakat China. Demikian pula dengan agama, selain Islam sebagai agama mayoritas, di kota ini juga terdapat agama Kristen, Katolik, Budha dan Hindu. Kepelbagain itu disebabkan oleh proses migrasi penduduk akibat daya tarik industri yang berkembang di kota ini.

Kehadiran industri di kota Dumai bukan saja berdampak pada heterogenitas penduk. Namun lebih jauh dari itu, industri di kota Duma juga menyebabkan pergeseran-pergesran dalam sosio budaya masyarakatnya. Struktur masyarak buruh pabrik, pelabuhan dan pengangkutan, merupakan struktur dominan masyarakat. Sementara para pemilik modal serta petinggi perusahaan berada di Jakarta, Medan bahkan Singapura, Malaysia dan kota-kota besar lainnya.  Dengan demikian kota ini lebih dominan diwarnai oleh budaya dan psikologi buruh.

Dengan struktur sosial semacam itu menyebabkan perkembangan kota ini menjadi lamban dari sisi kebudayaan dan peradaban. Kemajuan peradaban dan budaya selalu diplopori oleh masyarakat lokal, dengan identitas budaya Melayu dan Tamaddun Islam. Namun malangnya pada kesempatan yang sama masyarakat lokal selalu kalah dengan persaingan ekonomi, sehingga sumberdaya ekonomi tidak dapat mereka kuasai, bahkan akibat keterpaksaan hidup, kini banyak aset-aset masyarakat lokal yang sudah berpindah tangan terutama pada pemilikan tanah dan properti.

Bagi masyarakat lokal perkembangan ekonomi kota Dumai tidak membahagiakan. Keadaan itu direspon secara sadar oleh masyarakat,  bahkan pemerintah kota Dumai  melalui perda kota Dumai nomor 10 tahun 2004 tentang porsi tenaga kerja lokal dan luar yakni berbanding 70 : 30, tujuh puluh persen untuk tempatan dan tiga puluh persen untuk tenaga kerja luar yang bekerja di kota Dumai. Perda itu tidak pernah terrealisasi. Namun ia menjadi saksi  bahwa ekonomi kota ini tidak berada ditangan masyarakatnya. Sehingga untuk menjadi pekerja pada industri yang ada ditempat mereka harus mengemis dan perlu dorongan politis lokal melalui perda tersebut.