Sabtu, 16 April 2016 | By: SahabatRiau

PARADIGMA BARU SEJARAH KOTA DUMAI

Penyerahan Naskah  Orasi Paradigma Baru Sejarah Kota
Dumai Kepada Wali Kota Dumai
Pendahuluan                                                      
Putri Tujuh merupakan catatan yang selalu diketengahkan tatkala mengawali sejarah Kota Dumai. Legenda ini telah memberikan banyak inspirasi dalam kehidupan masyarakat di kota Dumai. Namun sampai saat ini, belum ditemukan sejarah yang terang tentang kawasan Dumai. Legenda Putri Tujuh, jelas bukan merupakan sebuah rentetan sejarah tentang kawasan Dumai. Karena legenda itu selain tidak dapat dibuktikan secara outentik, memiliki objek yang bersifat mistik serta tidak memiliki priodeisasi yang jelas.

Penuturan sejarah satu kawasan, hendaklah memenuhi kaidah dalam konteks ilmu kesejarahan. Dalam bahasa Inggris, kata Sejarah berasal dari kata historia yang berarti masa lampau; masa lampau umat Manusia. Dalam bahasa Arab sejarah disebut dengan sajaratun (syajaroh) yang berarti pohon dan keturunan, maksudnya disaat kita membaca silsilah raja-raja akan tampak pohon dari yang terkecil sampai berkembang menjadi besar, maka hal tersebut sejarah diartikan sebagai silsilah keturunan raja-raja yang berarti peristiwa pemerintahan keluarga raja di masa lampau. Dapat dikatakan, bahwa sejarah bukanlah hanya sebuah cerita tentang masa lalu. Namun cerita itu harus dapat dibuktikan secara ilmiah, serta memiliki ketersambungan dengan kisah-kisah lainnya.

Sejarah kota Dumai masih misteri hingga saat ini. Legenda Putri Tujuh, selalu dianggap sebagai sejarah kota Dumai. Padahal, tidak terdapat benang mereh diantara legeda tersebut dengan sejarah kerajaan mana pun dikawasan ini, Sumatera apalagi nusantara. Kerajaan yang paling mungkin di hubungkan dengan kawasan ini adalah kerajaan Siak Sri Indra Pura yang bermula diabat ke 18 M, di Sungai Jantan Siak dan berakhir di Kota Siak sekarang pada abad 20 M. Namun dalam catatan sejarah kerajaan Siak, tidak terdapat satu pun bukti sejarah tentang legenda Putri Tujuh maupun kawasan ini kecuali menyangkut pemberian gran tanah kepada Datuk Laksemana Bukit Batu untuk perkebunan ubi dan industri tapioka di kawasan Bukit Datuk, dan itu pun terjadi pada abad ke 19M.
Pengurus Persekutuan Masyarakat Dumai Melakukan Kunjungan Makam Datuk Kedondong pada acara Ekpedisi dari Makam Datuk  Kedondong Menuju Paradiga  Baru Sejarah Dumai terlihat Dr. H. M. Rizal Akbar, Achtar Ewo dan Agoes S. Alam, 17/04/2016

Bertutur tentang legenda Putri Tujuh, maka akan tersebutlah kerajaan Aceh kedalam cerita tersebut. Diceritakan bahwa seorang putra Raja Aceh yang ingin mempersunting putri tujuh serta hadirnya sosok“Umai” dari bangsa Jin yang menjadi ending cerita telah membunuh putra kerajaan Aceh tersebut dengan senjata buah bakau, maka tersebutlah kawasan itu dengan “Dumai”. Alur cerita ini tidak jauh berbeda dengan penuturan legenda Kerajaan Gasib, di Kota Gasib Siak dengan Putrinya yang bernama Putri Kaca Mayang. Legenda itu juga menceritakan prihal yang sama tentang lamaran Putra Mahkota Kerajaan Aceh, yang berakhir dengan konflik dan perperangan.

Wallah hua’lam, kedua kisah ini belum mampu terintegrasi dalam bingkai sejarah yang ada sampai dengan saat ini. Akan tetapi apa yang menarik adalah bahwa kedua legenda telah menuturkan tentang wujudnya kerajaan Aceh. Artinya secara ilmiah dapat disimpulkan bahwa pembawa kisah telah mendengar akan wujudnya sebuah kerajaan besar yang bernama Aceh. Ini membuktikan bahwa ada pengaruh Kerajaan Aceh dalam kesejarahan di kawasan Dumai.

Makam Datuk Kedondong & Sejarah Kota Dumai

Situs makam Datuk Kedondong terletak di kawasan pelabuhan Dock Yard Kelurahan Pangkalan Sesai Kota Dumai. Konon disebut makam Datuk Kedondong, karena didekat makam ini pernah tumbuh sebuah pohon kedondong besar. Tidak banyak catatan yang membahas tentang situs ini. Namun makam Datuk Kedondong sudah sangat lama dikenali oleh masyarakat sebagai makam keramat.


Apa yang menarik dari situs makam Datuk Kedondong adalah batu nisan pada makam tersebut. Batu nisan makam Datuk Kedondong setelah diteliti dari sisi bentuknya merupakan batu nisan Aceh. Dalam kajian tentang batu nisan Aceh, dijelaskan bahwa batu ini berkembang pada abad 15 sd 18 M. Dan batu tersebut merupakan tradisi kesenian yang telah tersebar dari wilayah Pattani (selatan Thailand), ke Malaysia, Indonesia, dan Brunei. Di Indonesia, jumlah “batu Aceh” mungkin lebih dari lima ribu buah. Di Semenanjung Melayu sendiri, sekitar 400 makam orang Islam yang ditandai dengan “batu Aceh” dapat ditemukan hingga sekarang. Diselatan Thailand dan di Brunei, jumlahnya beberapa puluhan buah (Otman Moh Yatim, 2009).

Adat kematian orang biasa tidak disebut dalam sumber-sumber lokal. Terdapat informasi ringkas dalam beberapa sumber Cina seperti Hai yĆ¼ (1537), di mana tentang Melaka disebut bahwa orang miskin membakar mayat, juga demikian orang kaya tetapi sebelumnya jenazahnya diletakkan di dalam sebuah peti bersama kapur Barus (Groeneveldt, 1880: 128). Satu lagi sumber Cina, dari akhir abad ke-16 atau awal ke-17, juga mencatat bahwa semua mayat dibakar (ibid.: 135; Han Wai Toon, 1948: 31). John Davis, seorang pelaut yang berada di Aceh pada tahun 1599 mencatatkan bahwa orang biasa dikebumikan (Purchas (ed.), 1905: 321-322).

Teks Bustan al-Salatin juga memberikan beberapa perincian menarik tentang adat pemakaman raja dan tercatat di dalamnya bahwa sewaktu memerintah di Aceh, Sultan Iskandar Thani memutuskan mengirim batu nisan ke Pahang untuk makam-makam kerabat baginda. Selain itu, terdapat juga beberapa informasi mengenai batu nisan sesudah kemangkatan Sultan Iskandar Thani di Aceh pada tahun 1641, termasuk perhiasan berbentuk lapisan emas dan batu permata (Nuruddin al-Raniri, 1992: 45-46). Bustan al-Salatin siap tertulis oleh Nuruddin al-Raniri pada tahun 1640 (1050 H.)( ibid.: xiv) yaitu 139 tahun sebelum teks Adat Raja-raja Melayu.

Dari catatan sejarah nisan aceh diatas, menyangkut makam Datuk Kedondong bila terbukti bahwa nisan pada makam tersebyt  adalah batu Aceh, sebagaimana bentuknya, maka paling tidak dapat ditarik dua kesimpulan. Pertama, bahwa orang yang ada didalam makam tersebut adalah orang-orang besar baik dari kalangan raja-raja, alim ulama, keluarga dan keturunannya. Kedua, bahwa makam tersebut ada pada rentang abad ke 15 sd 18 M.

Kerajaan Aceh dan Sejarah Kota Dumai
Dr. H. M. Rizal Akbar, S.Si M.Phil Menyampaikan Orasi
Paradigma Baru Sejarah Kota Dumai
Bila kita kaitkan diantara legenda Putri Tujuh dan Situs Makam Datuk Kedondong sebagaimana diatas, maka sebuah kesimpulan yang yang dapat ditarik adalah adanya pengaruh kerajaan Aceh, dalam kedua kisah tersebut. Pertanyaannya adalah, ada apa dengan kerajaan Aceh dan sejauh mana iyanya memberikan akar sejarah untuk kawasan di Kota Dumai.

Sejarah menyangkut kerajaan Aceh sangat panjang, karena kerajaan ini merupakan salah satu epayer terbesar di nusantara. Tidak ada catatan yang membuktikan bahwa Aceh pernah berkuasa pada kawasan-kawasan di pantai timur Sumatera, karena dikawasan ini terdapat sebuah kerajaan besar yakni kerajaan Haru di Sumatera utara, serta sejarah juga mencatat bahwa kawasan pantai timur Sumatera dikawal oleh empayer Johor.

Namun hubungannya dengan keberadaan kawasan Dumai akan sangat masuk akal bila dikaitkan dengan gencarnya Aceh Menyerang Malaka pada (tahun 1537, 1547, 1568, 1573, 1575, 1582, 1587, 1606). Penyerangan Aceh terhadap Melaka pada tahun tersebut berawal dari jatuhnya kerajaan Melaka ke tangan Portugis pada tahun 1511. Banyak sejarawan yang menyimpulkan gigihnya Aceh dalam menyerang Melaka hanya disebabkan oleh penguasaan perdagangan di kawasan Selat Melaka.
Namun mengapa perang tersebut terjadi setelah Portugis meguasai Melaka. Sehingga menarik untuk diamati, boleh jadi ada dorongan lain yang menyebabkan Aceh begitu gencar melakukan penyerangan terhadap Malaka yang dikuasai oleh Portugis tersebut. Hipotesa sejarah yang boleh dimunculkan bahwa perang tersebut dilatarbelakangi oleh fahaman agama. Dimana Aceh dengan Islam yang kental mencoba menghambat gerakan misionaris Kristen oleh Portugis pada waktu itu. Hipotesa ini memerlukan banyak kajian sejarah untuk membuktikannya.

Terlepas dari itu, apa yang menarik adalah bahwa serangan Aceh terhadap Portugis di Malaka dilakukan dalam jarak waktu yang sangat rapat. Dengan jarak georafis Aceh ke Malaka yang sangat jauh, sudah banyak tentu Tentara-tentara Laut Aceh memerlukan kawasan berdekatan untuk membuat pangkalan-pangkalan sementara atau bangsal. Jika dilihat dari sisi geografis maka kawasan yang paling mungkin dan tidak berhadapan langsung dengan kawasan Malaka itu adalah kawasan Dumai. Jika hipotesis ini benar, maka sangat memungkinkan untuk mengaitkan kejadian sejarah ini dengan penamaan beberapa kawasan di kota Dumai, seperti Pangkalan Sesai dan Bangsal Aceh.

Artinya boleh jadi kawasan-kawasan ini pada waktu itu dijadikan sebagai pangkalan sementara oleh Pasukan Aceh ketika mereka dipukul mundur oleh Portugis. Sangat masuk akal, dengan jarak waktu penyerangan yang sempit seperti itu dan dengan jarak tempuh Aceh-Malaka yang cukup jauh dengan kondisi sarana transportasi laut saat itu, mereka tidak kembali kenegerinya di Aceh, namun melakukan persiapan-persiapan dan pemulihan kekuatan tentaranya di kawasan Dumai. Sejarah memang belum pernah melakukan pencatatan tentang ini namun wujudnya nama kawasan Bangsal Aceh, Pangkalan Sesai serta Makam Datuk Kedondong merupakan bukti-bukti awal yang sangat berkonstribusi dalam menyingkap sejarah kawasan Dumai diabad 15 sd 18 M yang lalu.

Kesimpulan

 Legenda Putri Tujuh telah banyak mengilhami sejarah dan peradaban di Kota Dumai. Legenda tersebut memiliki makna tersendiri, namun tidak dapat beralih menjadi sejarah kota Dumai. Akan tetapi, penurunan legenda itu memberikan pesan sejarah bahwa terdapat pengaruh Kerajaan Aceh dalam Akar sejarah di Kawasan ini.

2.           
Batu Nisan pada situs makam Datuk Kedondong dapat dikesankan bahwa merupakan batu nisan yang berasal dari Kerajaan Aceh. Bila ini terbukti, maka paling tidak dapat ditarik dua kesimpulan. Pertama, bahwa orang yang ada didalam makam tersebut adalah orang-orang besar baik dari kalangan raja-raja, alim ulama, keluarga dan keturunannya. Kedua, bahwa makam tersebut ada pada rentang abad ke 15 sd 18 M.

3.  Terdapat banyak bukti yang dapat dikemukakan bahwa keberadaan kawasan Dumai memiliki hubungan dengan peristiwa penyerangan Aceh terhadap Malaka pada (tahun 1537, 1547, 1568, 1573, 1575, 1582, 1587, 1606). Karena sangat masuk akal, dengan jarak waktu penyerangan yang sempit seperti itu dan dengan jarak tempuh Aceh-Malaka yang cukup jauh dengan kondisi sarana transportasi laut saat itu, mereka tidak kembali kenegerinya di Aceh, namun melakukan persiapan-persiapan dan pemulihan kekuatan tentaranya di kawasan Dumai. Sejarah memang belum pernah melakukan pencatatan tentang kenyataan ini, namun wujudnya nama kawasan Bangsal Aceh, Pangkalan Sesai serta Makam Datuk Kedondong merupakan bukti-bukti awal yang sangat berkonstribusi dalam menyingkap sejarah kawasan Dumai diabad 15 sd 18 M yang lalu.

Dicuri Sang Kapitalis

Gambar: animasi diambil dari http://indoprogress.com/
Semua sistem ekonomi menawarkan kesejahteraan dan kebahagian. Sistem ekonomi sosialis memandang kebahagian itu adalah kebersamaan dengan selogan "satu untuk semua semua untuk satu", sehingga tidak perlu ada kepemilikan pribadi dan kebesaan pasar, karena hal itu hanya akan melahirkan ketidak adilan dalam berekonomi. Berbeda dengan itu, kebahgian atau kepuasan hanya dapat terlahir dari kebebasan dengan memberikan kedaulatan yang penuh kepada pasar, hak-hak individu harus diutamakan, merupakan argumentasi dari sistem ekonomi kapitalis.

Kedua sistem itu merupakan arus besar dalam pertentangan idiologi Dunia, meskipun pada akhirnya pertentangan itu dimenangkan oleh kapitalis. Kapitalis telah merubah corak dunia melalu berbagai intrumen pendukungnya. Berawal dari sistem moneter yang berbasis bunga dan ilusi dengan Bank sebagai institusinya, kapitalis mencuri semua sisi kehidupan baik yang bersifat kolektif maupun individual.

Awalnya, kapitalis mencuri ayah dari anak-anak mereka, suami dari istri-istri mereka. Hal itu terjadi karena motivasi pertumbuhan yang tinggi dan budaya konsumsi yang besar, memaksa buruh untuk mengalokasikan waktu yang lebih ditempat kerja untuk meningkatkan petumbuhan dan pendapatan bagi sang buruh. Dengan demikian tentulah para buruh-buruh tersebut harus mengorbankan waktu untuk keluarga.

Ternyata itu saja belum cukup, kapitalis memaksa pula para wanita juga harus keluar bekerja guna kepentingan pertumbuhan itu dan memenuhi kebutuhan keluarga yang semakin hari semakin bergeser akibat tawaran kepuasan yang ditawarkan oleh sang kapitalis (hedonism). Pada kondisi ini dapat dikatakan bahwa keluarga sebaga entitas terkecil suatu bangsa sudah pula dicuri oleh kapitalis, sehingga wajar terjadi fenomena yang linier diantara tingkat pertumbuhan ekonomi dan perceraian rumah tangga.

Pencurian itu terjadi secara sistimik, meresap bagaikan api dalam sekam. Dia bergerak sangat cepat dan sangat lembut, meluluh lantakkan semua tatanan. Dengan tawaran kepuasan (utility) dia bergerak menghancurkan tatanan yang selama ini menyangga institusi sosial seperti keluarga, masyarakat dan agama.  Dia memang tidak mempersoalkan agama sebagai candu masyarakat sebagaimana sosialis komunis. "Namun dia pelan-pelan mencuri banyak orang dari agamanya, dan bahkan mencuri agama dari pemeluknya".

Sang pencuri itu sedang beroprasi terus disaat kita sedang tidur dan terjaga. Tinggal kini, kita yang harus menyadari apakah bagi kita Dia adalah pencuri atau, bagi sebagian orang merupakan motivasi meskipun dalam waktu yang panjang pada gilirannya bereka yang diuntungkan secara materi dari system itu akhirnya tersentak bahwa ternyata mereka kehilangan sesuatu yang lebih berharga dari materi yang mereka kumpulkan itu yakni “kebahagiaan”. (@RA.16/04/2016)
Kamis, 14 April 2016 | By: SahabatRiau

Kusut Masai

Orang Melayu memiliki padanan kata yang banyak untuk mendefenisikan berbagai peristiwa. Peritilahan yang digunakan memiliki ruh tersendiri yang cukup kuat untuk menyentak rasa. Tidak jarang  ungkapan-ungkapan itu terkesan hiperbola, atau penekanan bunyi dengan ekspresi tertentu.

Citarasa kata dalam ungkapan melayu akan bergeser, sesuai dengan bagaimana iayanya diungkapkan, sebagi contoh kata anjing hanya menunjukan seekor binatang yang bernama anjing namun bila diungkapkan dengan “hanjing”, maka ini menandakan bahwa sang penutur sedang dalam emosi kemarahan yang memuncak.

Begitu pula halnya dengan ungkapan kusut. Jika ungkapan ini ditambah dengan masai, “kusut masai”, maka iya merupakan personifikasi atas satu kesulitan yang nyaris tak dapat diungkai lagi. Tidak mungkin menemukan punca dan pangkal persoalan, itulah “kusut masai”. Orang Melayu menggunakan ungkapan ini pada kondisi yang teramat sukar. Awalnya ungkapan ini dikenakan pada rambut yang berantakan. Namun berkembang menjadi ungkapan yang bersifat umum untuk menggambarkan berbagai fenomena sosial.

“Kusut masai” sangat kontrofersial dengan ungkapan “ bagaikan menarik rambut di dalam tepung”. Karena tidak mungkin lagi mengharapkan rambut yang  tidak putus dan tepung yang tidak berserakan dalam kondisi yang kusut masai. Sehingga ungkapan lain yang sepadan dengannya adalah “bercelaru, lintang pukang atau carut marut.

Dalam konteks sosiologi kusut masai dalam filologi Melayu itu, dapat juga disandingkan dengan kata “krisis”. Karena krisis merupakan bagian dari konflik atau pertentangan diantara das sain and das sollen.  Namun krisis merupakan bentuk konflik tertinggi setelah problematik dan dilemmatik. Pendekatan sosiologi menyangkut krisis, hanya menganjurkan upaya yang bersifat radikal dalam mengatasi krisis. Karena krisis dianalogikan seperti  kangker ganas yang menyerang organ tubuh sehingga  penanganannya perlu dengan amputasi.

Barangkali kita sedang berada ditengah kusut masi itu. Ketika sangat sukar untuk merasionalisasikan kehidupan, yang seharusnya rasional.  Banyak pristiwa yang kadang-kadang diluar akal sehat kita terjadi. Banyak keputusan yang tidak masuk akal, diputuskan. Rasionalitas kini harus digeser kepada doktrinitas. Maka kini bermunculanlah dokrit politik, doktrin ekonomi dan dokrin pendidikan.

Agama yang seyokyanya menjadi agen doktrin kini mulai ditinggalkan. Karena sosialisasi doktrin agama kalah hebat dengan doktrin-doktrin diatas. Mereka mengunakan segala sarana komunikasi untuk mengumandangkan doktrin-doktrin itu. Dan yang sangat menarik adalah bahwa masyarakat percaya dengan doktrin itu, terbukti dengan begitu banyak keputusan masyarakat melalui keputusan demokrasi, secara mayoritas dimenangkan oleh sesuatu yang tidak rasional, meskipun pada akhirnya mereka sendiri yang menerima akibat atas keputusan itu.

Kusut masai itu adalah ketika berkali-kali kesalahan itu terjadi, namun berkali-kali pula masyarakat tidak dapat memahami apa yang sesungguhnya terjadi, sehingga terjadilah kesalahan yang berulang-ulang, dan pada gilirannya keslahan-kesalahan bergeser pula menjadi suatu kewajaran karena tanpa disadari akhirnya masyarakat memaklumi kesalahan itu dan telah beradaptasi dengan kesalahan-keslahan tersebut.


“kusut masai”…. Maka benarlah sebuah ungkapan yang menyatakan “ Kesalahan yang dibiarkan, suatu saat akan berubah menjadi kejahatan”. 14/04/2016
Sabtu, 09 April 2016 | By: SahabatRiau

“Menoho” : Kemunduran Pendidikan Agama

Terminologi lama yang mengganggu pikiran belakangan ini adalah “ menoho”. Orang Melayu kaya dengan ungkapan. Karena ungkapan itu memiliki citarasa tersendiri, meskipun dia punya padanan dengan istilah lain. Namun sebuah istilah selalu tepat untuk satu keadaan atau suasana.

“Menoho”, adalah ungkapan yang sepadan dengan pembiaran, tidak peduli atau tidak acuh dengan satu keadaan. Istilah ini lebih dari hanya sikap apatis, karena apatis bersifat proaktif sementara “menoho” bersifat proaktif karena selalunya dibelakangnya selalu ada ungkapan, “kan dah aku cakap dah”.

“Menoho” merupakan ungkapan yang sarat dengan beban phisikologi. Ada beban kemarahan, kedengkian atau hasat buruk. Namun istilah ini selalu tersembunyi dibalik hati seseorang yang sesungguhnya dia memiliki potensi untuk terlibat dan berkonstribusi terhadap sebuah persoalan yang sedang dihadapi.

Banyak persoalan yang sedangan “ditoho” saat ini. Masalah pendidikan agama sedang “ditoho”. Seolah-olah para “penoho” mengungkapkan bahwa: “mike hendak, mike tanggong sorang lah”. Apakah mereka tidak risau dengan  persoalan tersebut? Saya sangat yakin mereka juga berfikir dengan masalah ketika pendidikan agama semakin menunjukan sisi gelap baik dasar menengah dan tinggi, yang ditandai dengan banyangya fenomena sosial yang mencemaskan saat ini seperti moralitas remaja, pergaulan bebas, narkoba, criminal dan sebagainya. Nnamun bagi mereka para “penoho”. Permasalahan itu sudah ada yang ngurus, dan urusan mereka lebih penting dari hanya urusan tersebut.

Mereka yang menoho itu bukan hanya dari kalangan rendahan, namun mereka yang berada dipuncak-puncak kejayaan, Para politisi, birokrat, pengusaha dan teknokrat. Mereka memiliki banyak kesempatan sesungguhnya berkonstribusi nyata dalam kemajuan agama, namun bagi kalangan ini, tema yang menarik bagi mereka adalah mempersoalkan ketidak becusan institusi dan orang-orang yang bekerja disektor pendidikan agama, selalunya mereka memandang rendah dengan anggapan bahwa yang bekerja disektor itu adalah dari kalangan scand class, yang tidak punya pilihan pekerjaan lainnya.

Pandangan itu saja sudah cukup membuat pendidikan agama menjadi lemah lunglai. Belum lagi pada sebuah kenyataan bahwa disana memang tidak tersedia kesejahteraan yang layak apalagi dibandingkan dengan kehidupan mereka para penoho itu. Maka sangat wajar jika saat ini tidak banyak pilihan masyarakat kepada pendidikan agama.

Para "penoho" memilik pena kekuasan, pedang kekuasan, memiliki banyak sumberdaya politik dan ekonomi, namun tetap saja bagi mereka, diskursus kesalahan yang menyerang titik lemah institusi dan orang-orang yang bergerak disektor itu menjadi kostribusi tersbesar mereka. Padahal jauh lebih baik bagi mereka mengalokasikan sumberdaya yang ada pada mereka  untuk kemajuan pendidikan agama.

Sepertinya para penggiat agama dan yang bekerja disektor agama harus dapat menyadari persoalan ini. Akan tetapi ini merupakan cambuk buat kita semua, jangan gentar dan gagap dengan para penoho itu. Biarlah mereka dengan kebanggaan mereka, dan keperkarsaan mereka sehingga tidak pernah percaya dengan kita. Tapi yakinlah bahwa mereka pasti memiliki kesamaan dengan kita percaya bahwa dunia bukanlah akhir dari segalanya. Dan cukuplah Allah sebagai penolong kita, jangan pernah gentar, teruslah berjuang dengan kempuan yang tersisa, jadikan ikhlas sebagai bahan bakarnya dan kesabaran sebagai senjata kita. Karena kejayaan itu, harus direncanakan dengan pengetahuan, digerakan dengan keikhlasan dan dimenangkan dengan keberanian.


Ini bukan persoalan Surga atau Neraka, karena itu adalah urusan Allah SWT. Namun ini menyangkut dialegtik tentang ada apa dengan kebuntuan pendidikan agama kita. Apakah pendidikan agama di kota ini bisa tumbuh berkembang tanpa dukungan masyarakat dan pemerintah? Sudah cukupkah bagi kita agama hanya dalam sprit-prit doa bersama istiqosyah, pawai-pawai atau mengirimkan jamaah umrah? Atau kita sesungguhnya tidak berpotensi apa-apa untuk agama, karena tidak memiliki kemapuan apa-pun, kecuali hanya untuk melayani diri dan keluarga.